menu

ATURAN PENULISAN MAKALAH


assalamualaikum,,. oke langsung ja, pada postingaan saya kali ini akan sedikit memaparkan tentang ATURAN PENULISAN MAKALAH,, monggo di simak lurd..........................................

1. Kertas
Menggunakan kertas A4
2. COVER
a. Margin
1). Atas : 1,96”
2). Kanan : 0,98”
3). Bawah : 1,96”       
4). Kiri : 1,50”
b. Huruf
1). Jenis : Times New Roman
2). Bentuk : HURUF BESAR (UPPER CASE)
3). Attribut : Tebal ( bold )
4). Ukuran : 14 pt
5). Warna : Hitam

3. Margin
a. Atas : 1.18 inch
b. Kanan : 0.98 inch
c. Kiri : 1.5 inch
d. Bawah : 0.98 inch
4. Huruf dan Spasi
a. Jenis huruf : Times New Roman
b. Ukuran : 12 point
c. Mengunakan jarak spasi 1.5 spasi
5. Judul BAB
a. Judul BAB termasuk BAB menggunakan huruf besar atau UPPERCASE
    dan ditebalkan atau BOLD serta berasa ditengah antara garis pinggir kiri dan  
    garis pinggir kanan.
b. Penomoran BAB menggunakan angka arab 1,2,3,4,5,.....
Contoh :
BAB 1

PENDAHULUAN


c. Terdapat jarak 2 (dua) baris spasi dalam jarak 1,5 spasi antara tulisan BAB 1 
    dan margin atas (batas atas). Antara tulisan BAB 1 dan PENDAHULUAN
terdapat 1 (satu) baris spasi dalam 1,5 spasi. Lihat lampiran 2.
 6. Judul Subbab
a. Judul subbab menggunakan format Title Case serta tebal (bold). Format
Title Case artinya huruf pada setiap awal kata dari judul menggunakan huruf  besar kecuali kata dan, atau, kepada, dari dsb.
b. Penomoran subbab menggunakan format : nomor bab, titik, nomor subbab,  
    dan judul subbab 


c. Nomor subbab berjarak 3 (tiga) baris spasi (dalam 1,5 spasi dari judul bab.
    Lihat lampiran 2.

7. Judul Bagian BAB
a. Menggunakan format Sentence case dan bold. Sentence case artinya huruf
besar hanya diberikan untuk huruf pertama judul dan kata kata selanjutnya tidak perlu diberi huruf besar.
b. Penomoran bagian subbab menggunaknan format : bab, titik, nomor subbab,  
    titik, nomor bagian subbab.
Contoh :
Kita sekarang berada pada bab 2 dan subbab 3. maka penomoran untuk
bagian subbab selanjutnya adalah :
2.3.1 Judul bagian subbab

2.3.1.1 Judul bagian dari bagian subbab
2.3.1.2


8. Penomoran Selain Judul
a. Untuk penomoran selain judul bab, subbab dan bagian dari subbab 
menggunakan huruf besar, huruf kecil atau angka kembali ke bentuk tuggal  dan tidak terikat oleh penomoran bab, subbab atau bagian subbab.
b. Penggunaan bullet seperti garis, titik, tanda panah dsb tidak dibenarkan.
c. Jarak antar satu senarai dengan senarai lainnya menggunakan jarak 1 baris
    spasi bila senarai tersebut lebih dari dua baris, namun bila hanya terdiri dari
    satu baris tidak perlu diberi jarak baris spasi antara dua bagian.

a. Untuk penomoran selain judul bab, subbab dan bagian dari subbab
    menggunakan huruf besar, huruf kecil atau angka kembali ke bentuk
    tuggal dan tidak terikat oleh penomoran bab, subbab atau bagian subbab.
b. Penggunaan bullet seperti garis, titik, tanda panah dsb tidak dibenarkan.
c. Jarak antar satu senarai dengan senarai lainnya menggunakan jarak 1
baris spasi bila senarai tersebut lebih dari dua baris, namun bila hanya terdiri dari satu baris tidak perlu diberi jarak baris spasi antara dua bagian.


Dilarang menggunakan penomoran :
a. Tanda titik padat maupun kosong,
b. Menggunakan chek list,
c. Menggunakan tanda lain.


9. Rataan
Menggunakan rataan justify kecuali pada halaman –halaman khusus yang sudah
ditentukan.
10. Penulisan Alinea
a. Alinea pertama dari setiap judul, subbab dan bagian subbab harus dimulai dengan  
    rataan kiri sesuai dengan penomoran.
b. Untuk memulai alinea pada judul bab harus diberi jarak tiga baris (dalam 1,5 spasi)
    dari judul bab.
c. Untuk memulai alinea pada subbab, bagian subbab dan seterusnaya, diberikan jarak
   1 baris (dalam jarak spasi 1.5).
d. Alinea kedua dan seterusnya setelah alinea pertama dimuali dari posisi 0,5” atau 
   disebut 1 (satu) tab.
e. Jarak antara baris terakhir dan judul dari subbab atau sub dari subbab berikutnya  
    adalah 2 (dua) baris spasi (dalam 1,5 spasi) atau dua baris kosong. Lihat lampiran 2.
11. Penomoran Halaman
a. Berada di sudut kanan atas
b. Menggunakan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point.
c. Halaman pertama judul suatu bab tidak diatmpilkan naum tetap diperhitungkan dalam
    penomoran. Lihat lampiran 2.
12. Aturan Tambahan
a. Alinea terakhir dalam suatu halaman harus mengandung sedikitnya dua baris teks
    terketik. Jika tidak, maka alinea tersebut harus dipindahkan ke halaman selanjutnya
    sebagai alinea baru.
b. Perkataan terakhir dari suatu baris tidak boleh menggunakan tanda sempang
    penghubung).
c. Suatu halaman baru harus mengandung minimal satu baris teks.
d. Semua istilah baik istilah dianggap baru dalam bahasa indonesia maupun isitlah asing
    yang dicantumkan untuk memperjelas harus diketik miring (italic)



sekian .............semoga bermanfaat ..

Memasang Scroll Pada Popular Post

post saya kali ini adalah tentanng bagaimana cara Memasang Scroll Pada Popular Post,blog archive dan label bertujuan untuk mendapatkan tampilan blog yang ringkas dan enak untuk dipandang jadi kelihatan rapi dan menghemat tempat pastinya.Blog akan kelihatan profesionall dangan memakai scroll.Untuk membuat scroll ini sangat mudah dan gampang sekali.

Untuk membuatnya simak langkah-langkah berikut ini ;

  1. Login ke akun blogger sobat 
  2. Pilih Template >Edit HTML
  3. Cari kode " ]]>< /b:skin >  " untuk mempercepat pencarian gunakan ctrl+f pada keyboard
  4. Jika sudah ketemu copy dan pastekan kode di bawah ini tepat diatas kode ]]>< /b:skin >


#PopularPosts1 .widget-content{

height:170px;
width:auto;
overflow:auto;
}

Kode diatas juga berlaku untuk pemasangan scroll  pada Blog Archive ,Label dan Categori blog.Sobat bisa mengganti tulisan PopularPost1 dengan kata-kata yang lain sesuai dengan widget sidebar blog sobat.Untuk mendapatkan ukuran scroll yang diinginkan sobat bisa mengganti tulisan warna biru dengan ukuran yang sobat inginkan.

O iya jangan lupa setelah meletakkan kode diatas lakukan pratijau untuk melihat pemasangan kode diatas sudah benar apa belum.Kalau sudah berhasil klik Simpan Template

Mudah bukan Cara Buat Scroll pada blog......??

makalah Pengadilan Agama Pada Masa Orde Reformasi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tugas  makalah Peradilan Agamadi Indonesia dengan judul Pengadilan Agama Pada Masa Orde Reformasi dapat terselesaikan tepat waktu.
Dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke pangkuan Baginda Nabi Agung Muhammad SAW yang kitanantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah nanti, Amiin.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata Peradilan Agama di Indonesia. Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam mempelajari Peradilan Agama di Indonesia dan memberikan manfaat bagi pembacanya.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kesalahan dan  kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah berikutnya.


Jepara,  17 Oktober 2013

Penyusun

Kelompok 4


BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG

Peradilan agama adalah kekuasan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat,  hibah, wakaf, dan shodaqah diantara orang-orang  islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama  pada Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara tertinggi. 
Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukan kepada umat islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula,baik perkaranya ataupun para pencari keadilannya (justiciabel).

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Penataan Peradilan Agama Pada Masa Reformasi ?
2.      Apa Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama ?
3.      Bagaimana Kedudukan Peradilan Agama dalam UUD 1945, UU Nomor 35 Tahun  1999 dan UU Nomor 4   Tahun 2004 ?
4.      Bagaimana Eksistensi Peradilan Agama  Pasca Penyatuatapan ke MA ?
C.    TUJUAN
1.      Mengidentifikasi dan memahami Peradilan Agama di Indonesia pada era reformasi.
2.      Mengidentifikasi dan memahami perkembangan Peradilan Agama di Indonesia pasca Penyatuatapan ke Mahkamah Agung.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penataan dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Reformasi
Konsekuensi dari diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 diletakkan kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap dibawah Mahkamah Agung. Dengan adanya kebijakan ini, maka lembaga-lembaga peradilan yang ada di Indonesia segera dialihkan ke Mahkamah Agung RI. Kebijakan ini dilakukan untuk memisahkan kekuasaan eksekutif dengan yudikatif dengan tujuan untuk memantapkan posisi lembaga peradilan pada segi-segi hukum formal dan teknis peradilan.
Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya. Dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan Peradilan Agama kemudian dilepaskan dari bayang-bayang eksekutif yakni Departemen Agama untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof system) dibawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan lainnya. Misalnya menyangkut sengketa keperdataan-antara orang islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum, melainkan sudah bisa memutuskan secara langsung.
Dari segi kewenangannya pun, Peradilan Agama di era reformasi mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah. Khusus mengenai kewenangan di bidang ekonomi syariah, peradilan agama menghadapi permasalahan dan yang jauh lebih berat adalah menyangkut hukum materiil bidang ekonomi syariah.[1]
Perubahan signifikan menyangkut kewenangan peradilan agama, secara konstitusional diperoleh melalui UU No. 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang disetujui DPR tanggal 21 Februari 2006. UU ini muncul sebagai konsekuensi adanya UU No.4 Tahun 2004. Pada Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tersebut ditegaskan bahwa, peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu.
B.     Kedudukan Pengadilan Agama dalam UUD 1945
UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
C.    Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 35 Tahun  1999   
Pada tahun 1999 akhirnya diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tanggal 31 Agustus 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai realisasi awal dari semangat supremasi hukum yang dikumandangkan dalam gerakan reformasi secara total dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Pertimbangan penting pengubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah karena UU ini dinilai telah menyimpang dari UUD 1945 dimana telah memunculkan dualisme pembinaan peradilan oleh dua kekuasaan yang berbeda, yaitu kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif.
            Pembinaan peradilan pada waktu itu dipisahkan menjadi dua, yaitu Pertama: pembinaan teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung yang merupakan pelaksana kekuasaanyudikatif dan kedua: pembinaan administrasi, organisasi dan finansial berada di bawah Departemen-departemen yang merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif di bawah Presiden. UU No. 35 Tahun 1999 ini merupakan koreksi atas UU No. 14 Tahun 1970 dan sebagai jembatan yang mengantarkan penyatuatapan semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, baik secara teknis yudisial maupun secara adminstrasi, organisasi dan finansial, keluar dari masing-masing Departemennya semula dan masuk ke Mahkamah Agung.
            Perkembangan penting dalam UU No. 35 Tahun 1999 ini berkaitan dengan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan sebagai berikut:
1.      Pembinaan organisasi, administrasi dan finansial semua badan peradilan yang semula berada di bawah departemen masing-masing dialihkan ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat 1).
2.      Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengalihan tersebut diatur lebih lanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing (Pasal 11 ayat 2).
3.      Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan tersebut dilakukan secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak UU ini mulai berlaku (Pasal 11 A ayat 1).
4.      Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan (Pasal 11 A ayat 2).
5.      Pelaksanaan pengalihan secara bertahap ditetapkan dengan Keputusan  Presiden.

D.    Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 4 Tahun 2004
            Pertimbangan penting pengubahan UU Kekuasaan Kehakiman melalui UU No. 4 Tahun 2004 ini adalah untuk merealisasikan amanat dari UU No. 35 Tahun 1999, yakni mengalihkan semua pengadilan dari masing-masing Departemennya menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung untuk menjamin kemerdekaannya dari campur tangan eksekutif dan menguatkan kedudukan pengadilan. Perkembangan penting dengan diundangkannya UU ini maka kedudukan, peran dan fungsi yang diberikan kepada Peradilan Agama semakin luas dan mantap dengan perkembangan kemajuan yang sangat mendasar, yakni:
1.      Perubahan fungsi pengadilan dari sebagai pelaksana  kekuasaan kehakiman[2] menjadi pelaku kekuasaan kehakiman[3]. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Peradilann Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Pembentuk UU tidak menjelaskan apa perbedaan antara dua kata dimaksud. Barangkali istilah ‘pelaku’ ini bersumber dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung ....dst”. konsisten dengan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 menggunakan kata ‘dilakukan’. Kata ‘pelaksana’ adalah subjek yang mengerjakan sesuatu atas inisiatif, perintah atau ide pihak lain. Sedang ‘pelaku’ adalah subjek yang memiliki ide, kewenangan dan kemampuan untuk melaksanakan idenya sendiri.
2.      Terdapat penegasan larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Penegasan larangan campur tangan ini tidak ada dalam UU sebelumnya[4].
3.      Dialihkannya pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dari empat lingkungan peradilan dari Departemen masing-masing ke Mahkamah Agung. Dengan demikian campur tangan eksekutif terhadap pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan tidak ada lagi dan kemandirian serta kemerdekaan hakim diharapkan lebih terjamin.
4.      Dialihkannya tata cara sumpah hakim dari praktik “diambil sumpah” oleh atasannya menjadi “mengucapkan sumpah” dihadapan pimpinannya[5].
5.      Kedudukan Peradilan Agama sebagai sebuah lingkungan peradilan telah disejajarkan dengan Peradilan Umum sehingga tidak ada lagi istilah Peradilan Khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 sebelumnya. Dan dengan demikian dimungkinkan dibentuknya pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.
6.      Dilibatkannya Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal guna menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, dan pengangkatan hakim agung.[6] Hal ini tidak pernah ada sebelumnya.
7.      Diakuinya Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.
8.      UU ini disamping memantapkan kedudukan Peradilan Agama, namun tanpa mengubah fungsi khusus Peradilan Agama sebagai peradilan syariah Islam, pertama, dari sudut kedudukan dan kelembagaan, maka Peradilan Agama telah sejajar dengan Badan Peradilan Umum, yakni sebagai Pengadilan Negara dibawah Mahkamah Agung. Kedua, dari sudut fungsi yang diembannya, maka Peradilan Agama tetap merupakan peradilan khusus (spesifik), yakni sebagai Peradilan Syariah Islam.

E.     Penyatuatapan Peradilan Agama
Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumberdaya manusia, finansial, dan sarana prasarana, serta kewenangan dan hukum materialnya. Perubahan tersebut semakin mengukuhkan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independen.


1)      Status dan Kedudukan
Di era reformasi, eksistensi Peradilan Agama mencapai puncak kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR. Dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amendemen, secara eksplisit dinyatakan bahwa, lingkungan peradilan agama disebutkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Diawal tahun 2004, terjadi perubahan sangat signifikan yang berhubungan dengan eksistensi peradilan agama, yaitu disahkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas UU No. 35 Tahun 1999. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa, semua lingkungan peradilan, termasuk peradilan agama, pembinaan organisasi, administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah kepada Mahkamah Agung.
Hal terakhir yang menggembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 Tahun 2006, merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tersebut semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan peradilan agama. Hal lain yang penting dalam kedudukan peradilan agama di era reformasi adalah dalam hal pembinaan dan pengawasan.
2)      Struktur Organisasi, Tugas, dan Fungsi
Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, kemudian diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomer: MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah Agung RI.
Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdiri atas:[7]
a)      Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
b)      Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.
c)      Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.
d)     Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.

3)      Sumber Daya Manusia
Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru dimulai tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya hanya direktorat kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah berada di Mahkamah Agung. Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat eselonnya. Peningkatan ini disamping sebagai penopang pelaksanaan tugaas pokok dan fungsi organisasi, pada saat bersamaan juga membuka peluang bagi pengembangan karir pegawai.[8]
4)      Keadaan Finansial dan Sarana Prasarana
Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan dilingkungan Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan upaya peningkatan pelayana publik dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk lingkungan peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap, terutama sejak tahun 2005, 2006 dan 2007.[9]
5)      Kewenagan dan Hukum Materiil
Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006, melahirkan paradigma baru peradilan agama. Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi status peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006, landasan hukum positif penerapan hukum islam lebih kokoh, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan umum. Ada beberapa irisan dan titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan.[10]
6)      Asas-asas Hukum Peradilan Agama
Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari UU No. 3 Tahun 2006, adapun asas-asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya hampir sama dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum, yaitu antara lain:[11]
1.      Asas personalitas keislaman.
2.      Asas kebebasan.
3.      Asas tidak menolak hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
4.      Asas hakim wajib mendamaikan.
5.      Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
6.      Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak.
7.      Asas persidangan terbuka untuk umum.
8.      Asas hakim aktif memberi bantuan.
9.      Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis.
Abdullah Tri Wahyudi dalam bukunya peradilan agama di Indonesia menambahkan beberapa asas lagi yang itu juga tercamtum dalam UU No. 4 Tahun 2004 yaitu:[12]
1.      Asas pemeriksaan dalam dua tingkat.
2.      Asas kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik.
3.      Asas haikim bersifat menunggu (hakim pasif-nemo yudex sine acto).
4.      Asas bahwa ptusan pengadilan harus memuat pertimbangan.
5.      Asas beperkara dengan biaya.
6.      Asas Ne bis in Idem.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya yaitu terdapat dalam UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2006.
Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumberdaya manusia, finansial, dan sarana prasarana, serta kewenangan dan hukum materialnya. Perubahan tersebut semakin mengukuhkan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independen.
B.     Penutup
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusias dari pembaca yang telah sudi menelaah dan mengimplementasikan isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kelompok kita pada khususnya juga para pembaca yang dirahmati Allah Azza wa Jalla. Amiin




DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Arto, A Mukti. 2012. Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm.14-15
[2] Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006.
[3] Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2, 4 ayat (2), 10, dan 31 UU No. 4 Tahun 2004.
[4] Pasal 4 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 2004
[5] A Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.175
[6] Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2004.
[7] Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm. 316-326
[8] Ibid., hlm.327-337
[9] Ibid., hlm.337-342
[10] Ibid., hlm.344-348
[11] Ibid., hlm. 348-354
[12] Ibid., hlm. 355-356