menu

pengertian Ijtihad Intiqa’i dan Ijtihad Insya’i


  • Ijtihad Intiqa’i/Tarjih

Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan
hukum. Qardhawi tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kita boleh berpegang pada pendapat dalam bidang fikih (pemahaman) karena sikap itu merupakan taqlid
tanpa dibarengi argumentasi. Seharusnya diadakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar
pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih, seperti mempunyai relevansi dengan
kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan kelemahlembutan dan kasih sayang kepada manusia, pendapat itu mendekati kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam, pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud syara, kemaslahatan manusia, dan menolak marabahaya. Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa
kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang
tugas pokoknya adalah menye leksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih
berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran sunni atau tidak. Jadi, sifatnya lintas madzhab

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan zaman.

Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang
tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang
digunakan adalah orang tua lebih tahu tentang kemaslahatan anak gadisnya.
Cara yang demikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis yang belum mengenal sedikitpun tentang kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di zaman
modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari ijtihad tarjih ini adalah
mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan persetujuan dan izinnya.

Contoh lain dari ijtihad intiqa’i adalah tentang kekayaan yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-amwal, yakni segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk melikinya.

Menurut Ibnu Asyir, kekayaan pada mulanya adalah emas dan perak tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi sesuatu yang disimpan dan dimiliki. Menurut madzhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasan. Kekayaan dapat
disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat tersebut, seperti tanah, binatang, barang-barang, perlengkapan dan uang. Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki
seperti ikan di laut, binatang di hutan dan burung di udara adalah termasuk kekayaan. Sebaliknya sesuatu yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak mungkin dimiliki seperti cahaya dan
panas matahari, tidak termasuk kekayaan., begitu juga sesuatu yang secara nyata dapat dimiliki tetapi tidak dapat dimanfaatkan seperti sebutir beras, segenggam tanah, setetes air dan
sebagainya.

Menurut madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali, yang dimaksud dengan kekayaan adalah termasuk segala manfaat yang dapat dikuasai dengan cara menguasai tempat dan sumbernya.
Ibnu Najim berpendapat bahwa kekayaan, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fikih adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan, Setelah memperhatikan dan mempelajari berbagai pendapat tadi, maka Qardhawi menyimpulkan bahwa yang paling tepat adalah pendapat madzhab Hanafi. Alasannya adalah pengertian tersebut lebih dekat pengertiannya dalam kamus kamus Arab dan dapat diterapkan pengertiannya melalui nash nash tentang zakat. Dengan demikian maka yang dimaksud
dengan kekayaan adalah sesuatu yang berwujud dan dapat dimiliki, itulah yang dapat dibebani kewajiban untuk mengeluarkan zakat.


  • Ijtihad Insya’i

Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu, yang belum ditemukan didalam pendapat ulama salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka. Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai ijtihad insya’i ini, Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme
dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.

Sebagai contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada zaman moderen ini berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah, dan sebagainya yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khalaf dan Abdurrahman Hasan, Qardhawi sangat mendukung pendapat tersebut dengan pembahasan yang lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.

Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan sewa berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur hukumnya boleh, maka siapakah yang berkewajiban membayar zakatnya, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah? Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah. Berdasarkan ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa, tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman.
Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’I , Malik, Syafii, al –Tsauri, Ibn al-Mubarak dan Jumhur
ulama Fikih berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian dan buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibnu Rusyd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut
merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya.

Al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil tanaman. Sedangkan Al-Rafii berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan membayar zakat. Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka Qardhawi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu masing-masing sesuai dengan
perolehannya
Jadi pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian
disebut ijtihan insya’i. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan dizaman sekarang.


  •  Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i

Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.

Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di Kuwait mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang dibolehkan dan yang diharamkan. Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala peralatan teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik/biologis dan psikis pada kehidupan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku di alam ini.

Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah genap 120 hari, kecuali untuk
menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah. Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan abortos kecuali dalam dua kondisi berikut ini:
a. Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan bahaya bagi sang ibu dan bahaya itu akan berlangsung terus menerus sampai sehabis melahirkan.
b. Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat disembuhkan.

SEJARAH TERBENTUKNYA KUH PERDATA (BW) DI INDONESIA


SEJARAH TERBENTUKNYA KUH PERDATA (BW) DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam
                                    Fakultas Syari’ah semester  V B
Pengampu: Drs. H. Suharto, MH

Description: C:\Users\ACER4739\Documents\unisnu.jpg

Disusun oleh:
Muhammad Nasikul Khalim           (1211040)



UNIVERSITAS  ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
2013 / 2014


KATA PENGANTAR

           Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tugas kolektif yang berbentuk makalah dengan judul “sejarah hokum  perdata” dapat selesai tepat waktu. Dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke pangkuan Baginda Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah nanti, Amin.
          Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata kuliah hokum perdata.
        Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita semua dan memberikan manfaat bagi pembacanya. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kesalahan dan  kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah berikutnya.





                                                                                                  Jepara, oktober 2013
                                                                                                      
                                                                                                        Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Suatu negara pada hakekatnya harus mempunyai dasar-dasar hukum yang jelas dan pasti. Hukum juga merupakan salah satu faktor penting bagi negara agar terciptanya suatu sistem yang mampu berjalan dengan baik dan tertata. Dasar-dasar hukum tersebut nantinya harus bisa menjadi patokan terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara. Di Indonesia, salah satu hukum yang menjadi dasar acuan tersebut ialah Hukum Perdata yang memiliki peran dalam mengatur hubungan antara sesama warga negara.
Hukum Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) / BW. BW (Burgerlijk Wetbook) merupakan salah satu kodifikasi hukum peniggalan kolonial Belanda yang sampai sekarang masih tetap berlaku di Indonesia sebagai hukum Perdata bagi sebagian penduduk Indonesia. Tetap dipertahankannya BW berlaku di Indonesia adalah untuk menghindari kevakuman hukum yang bisa menimbulkan keitdakpastian hukum dalam masyarakat. Namun, tetap berlakunya BW itu sifatnya sementara, yaitu sementara belum ada hukum perdata nasional yang menggantikan seluruh ketentuan yang terkandung di dalamnya.

B.  Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata ?
2.  Apakah Pengertian Hukum Perdata di Indonesia ?


C.  Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui masa lalu/ sejarah terbentuknya hukum  perdata.
2. untuk mengetahui pengertian Hukum perdata yang ada di indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata
Sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda. Sedangkan sejarah terben­tuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil Perancis.
      Sejak tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Civil Perancis ini telah disesuaikan dengan keadaan di negeri Belanda berlaku sebagai kitab undang-undang yang resmi di negeri Belanda, karena pada waktu itu negeri Belanda berada di bawah jajahan Perancis.
      Di negeri Belanda setelah berakhir pendudukan Perancis tahun 1813, maka berdasarkan Undang-undang Dasar (Grond Wet) Negeri Belanda tahun 1814 (Pasal 100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata. Panitia ini diketuai Mr. J.M. Kemper.
      Undang-undang yang tadinya terpisah-pisah dihimpun dalam satu kitab undang-undang dan diberi nomor urut lalu diterbitkan. Berlakunya ditetapkan tanggal 1 Februari 1831. Pada waktu yang sama dinyatakan pula berlaku Wetboek van Koophandel (WvK), Burgerlijke Rechtsvordering (BRv). Sedangkan Wetboek van Strafrecht (WvS) menyusul kemudian.
      Titah Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 No. 1 itu terdiri dari 9 pasal dan isinya diumumkan seluruhnya di Hindia Belanda dengan Stb. 1847 No. 23. Dalam Pasal 1-nya antara lain dinyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk Hindia Belanda adalah:
1.      Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia.
2.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata
3.      Kitab Undang-undang Hukum Dagang
4.      Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi.
5.      Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar.
            Berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang terbentuknya Code Civil Perancis, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda dan Burgerlijk Wetboek yang diundangkan di atas ini, jelaslah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah menyerap atau mengambil alih secara tidak langsung asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno, hukum Belanda kuno, dan sudah tentu pula hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dimana dan di masa kodifikasi tersebut diciptakan yakni pada waktu ratusan tahun lebih yang silam.

2. Hukum Perdata di Indonesia
Yang  dimaksud  dengan Hukum  perdata Indonesia  adalah  hukum  perdata yang  berlaku bagi seluruh  Wilayah di Indonesia. Hukum  perdata  yang  berlaku di Indonesia adalah hukum  perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk  pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek (BW).
Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPerdata. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Kedudukan BW secara yuridis formil tetap sebagai undang-undang, sebab BW tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang. Namun pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat dikodifikasikan. Beberapa bagian daripadanya sudah tidak berlaku lagi, baik karena ada suatu peraturan perundang-undangan yang baru dan putusan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi yang menggantikannya karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang sudah sangat jauh berubah dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada saat BW dikodifikasikan.
BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri dambil dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu:
1.      Mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga,perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.      Mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi:
a)      Benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu)
b)      Benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak dan
c)      Benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria.
3.      Mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda) yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
4.      Mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggang waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sebagaimana disebutkan di atas, hukum keluarga di dalam BW dimasukkan pada bagian I tentang orang. Hal ini disebabkan oleh hubungan-hubungan keluarga berpengaruh besar terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk menggunakan hak-haknya itu. Hukum waris dimasukkan dalam bagian II tentang benda oleh karena pewarisan adalah meru­pakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik (eigendom). Selain itu, juga dikatakan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa hak waris adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan atas "boedel" dari orang yang meninggal dunia. Sedangkan pembuktian dan daluwarsa sebenarnya termasuk hukum acara perdata sehingga kurang tepat dimasukkan dalam BW yang pada asasnya mengatur hukum perdata materil. Akan tetapi, rupanya ada pendapat bahwa hukum acara perdata itu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu bagian materil dan bagian formil. Soal-soal pembuktian dan alat-alat bukti termasuk bagian materil, sehingga dapat juga dimasukkan dalam BW sebagai hukum perdata materil.


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
          Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi). Dalam penerapannya di Indonesia, yang menjadi acuan adalah BW (Burgelijk Wetboek) yaitu terjemahan Undang-Undang yang berasal dari negara Belanda yang juga merupakan hasil penyesuaian dari Code Civil Perancis. Seiring berjalannya waktu, tidak sedikit isi dari BW tersebut yang sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, dikarenakan keadaan zaman dan kondisi masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan aturan-aturan yang tercantum dalam BW tersebut.



B.     Penutup
Penulis menyadari kebenaran menyangkut makalah ini datangnya dari Allah semata, dan kekurangan atau kekeliruan disebabkan hanya karena kefakiran ilmu penulis. Sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki makalah ini. Demikian mudah-mudahan makalah kami  dapat bermanfaat bagi pembaca.




DAFTAR PUSTAKA


-      Syahrani,Riduan.2006.Seluk Beluk dan Asas Asas Hukum Perdata. Bandung:PT. Alumni.
-     Materi Kuliah Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Indonesia.