menu

Showing posts with label hukum islam (indonesia). Show all posts
Showing posts with label hukum islam (indonesia). Show all posts

Wasiat Wajibah Dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris. Pewaris yang meninggal dunia tidak secara langsung menghapuskan seluruh kewajiban yang ditinggalkannya. Dalam sistem kewarisan Islam, terdapat utang dan zakat yang wajib dilaksanakan oleh ahli waris setelah meninggalnya pewaris. Setelah pelaksanaan kewajiban semasa hidupnya, pewaris secara Islam juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian dan/atau peralihan harta peninggalannya kepada ahli waris.
Dalam sistem kewarisan Islam diatur tentang pembagian dan/atau peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan dalam hukum Islam tidak hanya dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta peninggalan pewaris tapi juga perihal yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris.
Selain pembagian harta peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat. Perihal wasiat dalam Al-Quran antara lain diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang menyatakan bahwa kalau kamu meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik. Dilanjutkan masih dalam ayat tersebut bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang bertakwa kepada-Nya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga dinyatakan bahwa orang yang meninggalkan isteri/isteri-isteri hendaklah berwasiat  bagi isteri/isteri-isterinya berupa nafkah selama setahun dan tidak boleh dikeluarkan dari rumah tempat tinggalnya selama ini[1][1].
Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan dalam surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat An-Nisaa ayat 11 dan ayat 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan perwaris kepada anak/anak-anak, duda, janda/janda-janda dan saudara/saudara-saudara pewaris. Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya.
Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wasiat hanya diatur Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut wasiat wajibah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dikaji dan diteliti dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan wasiat wajibah?
2.      Bagaimana kedudukan anak dan orang tua angkat dalam hal kewarisan?
3.      Siapa saja penerima wasiat wajibah?   

C.    Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
1.      Untuk lebih mengetahui pengertian dari wasiat wajibah
2.      Untuk mengetahui lebih detail seperti apa pengaturannya (wasiat wajibah) dalam hukum kewarisan Islam yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Wasiat Wajibah
Istilah “wasiat” diambil dari washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung sesuatu). Dalam syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat[2][2].
Menurut asal hukum, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya, tak ada dalam syari’at islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim[3][3].
Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu[4][4]. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’[5][5]. Menurut Suparman, Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.[6][6]
Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan QS: Al-Baqarah :180

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَ كُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَ صِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ بالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْن
.Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya  secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang yang bertaqwa (Q.S. al-Baqarah: 180)
 Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan. Sedang sebagian lain berpendapat karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah di nasakh, baik oleh Al-Qur’an maupun al-Hadits.
 Dalam kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang dianut dalam pelaksanaan kewarisan[7][7], tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat
Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara
Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris
Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya[8][8]. Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat.
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka. Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin[9][9], bahwa apabila tidak dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat  yang tidak mendapatkan harta pusaka, maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam bentuk wasiat yang wajib.
Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash [10] sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.” Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik.”
Hadits ini menjadi acuan bagi Mesir yang pertama mengundangkan tentang wasiat wajibah dalam Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946. Sejak 01 Agustus 1946, orang Mesir yang tidak membuat wasiat sebelum meninggalnya, maka kepada keturunannya dari anak pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu daripada pewaris diberikan wasiat wajib tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.  Hal ini diadopsi oleh Indonesia dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
B.     Kedudukan Anak dan Orang Tua Angkat dalam Kewarisan
Menurut hukum waris Islam, ada tiga hal yang menyebabkan seseorang itu mendapat warisan, yaitu : hubungan darah, pernikahan dan wala (budak yang dimerdekakan). Di luar tiga sebab di atas tidak termasuk dalam hak kewarisan, oleh karena itu anak angkat bukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Dalam kenyataan dan praktek-praktek sehari-hari, tidak dapat disangkal bahwa hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya erat sekali baik dalam suasana suka maupun duka.
Akan tetapi anak angkat tidak boleh disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya.
Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
C.    Pihak Yang Menerima Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah ini mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah berjasa besar kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta pewaris. Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama, yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit. Tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua, orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
Dan jika di telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,maka wajiblah disempurnakan wasiat itu. Apabila wasiat itu lebih dari sepertiga harta, maka wasiat itu hanya berlaku sejumlah sepertiga harta tanpa perlu persetujuan seseorang, sedang yang lebih dari sepertiga harta, memerlukan persetujuan para waris.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wasiat wajibah pada prinsipnya merupakan wasiat yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaa tertentu oleh negara melalui jalur yudikatif. Pengaturan wasiat wajibah secara sempit diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat dan hakim memiliki kewenangan ijtihad untuk memperluas wasiat wajibah. Ijtihad hakim pada umumnya diperluas dengan bersandar pada asas keadilan dan keseimbangan. Putusan-putusan tentang wasiat wajibah sekiranya dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan seluruh masyarakat.
B.     Saran
Demikian makalah ini kami buat, guna melengkapi tugas kelompok dan semoga berguna bagi mahasiswa/mahasiswi lain sebagai pacuan materi pembelajaran. Apabila terdapat kekurangan dalam materi ataupun penyusunan materi dalam makalah ini kami mohon maaf. Dan juga kami mohon agar bapak dosen yang bersangkutan berkenan memberikan kritik dan saran dengan tujuan agar kedepannya pembuatan makalah bisa menjadi lebih baik.


[1][1] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, hlm. 97-99
[2][2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.  jilid 4, hlm. 523
[3][3] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. hlm. 273
[4][4] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 63.
[5][5] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000), Jilid 6, hlm.1930.
4Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hlm.163
[7][7] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 1998, hlm. 281-289
[8][8] Destri Budi Nugraheni dkk, Pengaturan dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, Juni 2010, hlm. 312
[9][9] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982, hlm. 78

Pengertian Hukum Perbankan Syari'ah (tujuan, fungsi dan prinsip-prinsipnya)


A.           Pengertian
Hukum Perbankan adalah segala sesuatu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perbankan. Hukum Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perbankan syariah.
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio mendefinisikan Bank Islam sebagai berikut: “Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.”
Warkum Sumitro mendefinisikan Bank Islam sebagai berikut: “Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamallah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Al-Hadits.”

B.           Pengertian Perbankan Syariah
Pengertian bank syariah menurut UU No 21 tahun 2008 pasal 1 poin 7 :
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
a.    Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 poin 8)
b.    Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 poin 9)
c.    Sedangkan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. (pasal 1 poin 12)


C.           Tujuan Perbankan Syariah
Menurut UU 21/2008 pasal 3, Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

D.           Fungsi Perbankan Syariah
Berdasarkan UU 21/2008 pasal 4 fungsi perbankan syariah sebagai berikut :
-       menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
-       fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
-       menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

E.            Prinsip-prinsip Perbankan Syariah
Operasional Bank Islam didasarkan kepada prinsip jual beli dan bagi hasil sesuai dengan syariah Islam.

    1.        Adapun prinsip bagi hasil ( Profit Sharing ) sebagai berikut:
v  Al – Wadiah
Yaitu perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpan (termasuk bank) di mana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan atau uang yang dititipkan kepadanya.
Terdapat dua jenis al-Wadiah: (Al-Wadiah Amanah dan Al-Wadiah Dhamanah)
v  Al–Mudharabah
Yaitu perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha (enterpreneur). Dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek/usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang dibiayai mengalami kerugia, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena penyelewangan atau penyalahgunaan oleh pengusaha.
Syarat – syarat mudharabah: (Modal dan Keuntungan)
v  Al-Musyarakah
Yaitu perjanjian kerja sama antara dua belah pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai persetujuan antara pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa modal masing-masing pihak. Dalam hal terjadi kerugian, maka pembagian kerugian dilakukan sesuai pangsa modal masing-masing.
Menurut fiqih ada 2 bentuk musyarakah, yaitu :
1.         terjadinya secara otomatis disebut syarikah Amlak
2.         terjadinya atas dasar kontrak disebut syarikah Uqud
v  Al-Murabahah dan Al-Bai’u Bithaman Aji
Al-Murabahah yaitu persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran ditangguhkan 1 bulan sampai 1 tahun. Persetujuan tersebut juga meliputi car a pembayaran sekaligus.
Sedangkan al-Bai’u Bithaman Ajil yaitu persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran.
v  Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri
Al-Ijarah yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan dikembalikkan kepada pemilik.
Sedangkan Al-Tajiri yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah berakhir masa sewa, maka pemilik barang menjual barang tersebut kepada penyewa dengan harga yang disetujui kedua belah pihak.
v  Al-Qardahul Hasan
Al-Qardahul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, di mana peminjam tidak kerkewajiban untuk mengembalikan apa pun kecuali pinjaman dan biaya administrasi.
Untuk menghindarkan diri dari riba, biaya administrasi pada pinjaman Al-Qardahul Hasan :
a) Harus dinyatakan dalam nominal bukan presentase
b) Sifatnya harus nyata,jelas dan pasti serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk terjadinya kontrak.

    2.        Dan untuk prinsip Jual Beli ( Al – Buyu ) yaitu :
1.    Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli antara dua belah pihak,di mana pembeli dan penjual menyepakati harga jual, yang terdiri atas harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual.
2.    Salam
Salam, yaitu pembelian barang dengan pembayaran di muka dan barang diserahkan kemudian. Salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada,sehingga barang yang menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh.
3.    Istisna
Istisna adalah pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan di muka sekaligus atau secara bertahap.
4.    Ijarah (Sewa)
Ijarah adalah kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa. Secara prinsip, ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat.
5.    Wakalah
Wakalah adalah transaksi, dimana pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi.
6.    Kafalah (Garansi Bank)
Kafalah adalah transaksi dimana pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kejadian yang dilakukan oleh pihak kedua, sepanjang sesuai dengan diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa komisi atau fee.
7.    Sharf (Jual beli valuta asing)
Sharf adalah pertukaran/ jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.
8.    Hawalah
Hawalah adalah transaksi pengalihan utang-piutang
9.    Rahn (Gadai)
Rahn adalah transaksi gadai dimana seseorang yang membutuhkan dan dapat menggadaikan barang yang dimilikinya kepada bank syariah dan atas izin bank syariah, orang tersebut dapat menggunakan barang yang digadaikan tersebut,dengan syarat harus dipelihara dengan baik.
10.  Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi Qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal,yaitu sebagai pinjaman talangan haji.

Menurut Pasal 2 UU 21 Tahun 2008, perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekokomi, dan prinsip kehati-hatian. Dalam penjelasan Pasal 2 dikemukakan kegiatan usaha yang berasaskan berikut ini:
1. Prinsip syariah, antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,kuantitas, dan waktu penyerahan ( fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu ( nasi’ah )
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak memiliki, tidak diketahui keberadaanya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah
e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
2. Demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan.
3. Prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Konsep Wakaf Dalam Al-Qur'an dan Hadits


1.    Menurut Al quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain: 
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267).
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92) .
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
2.    Menurut Hadis
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
 Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.