BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian adalah suatu
peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum berupa kewarisan yang
melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris. Pewaris yang
meninggal dunia tidak secara langsung menghapuskan seluruh kewajiban yang
ditinggalkannya. Dalam sistem kewarisan Islam, terdapat utang dan zakat yang
wajib dilaksanakan oleh ahli waris setelah meninggalnya pewaris. Setelah
pelaksanaan kewajiban semasa hidupnya, pewaris secara Islam juga memiliki
kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian dan/atau peralihan harta
peninggalannya kepada ahli waris.
Dalam sistem kewarisan
Islam diatur tentang pembagian dan/atau peralihan harta peninggalan pewaris
kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan dalam hukum Islam tidak hanya
dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta peninggalan pewaris
tapi juga perihal yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta
peninggalan pewaris.
Selain pembagian harta
peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan harta
peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta
peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat.
Perihal wasiat dalam Al-Quran antara lain diatur dalam surat Al-Baqarah ayat
180 yang menyatakan bahwa kalau kamu meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan
bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk berwasiat kepada
ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik. Dilanjutkan masih dalam ayat
tersebut bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga dinyatakan bahwa orang yang meninggalkan
isteri/isteri-isteri hendaklah berwasiat
bagi isteri/isteri-isterinya berupa nafkah selama setahun dan tidak
boleh dikeluarkan dari rumah tempat tinggalnya selama ini[1][1].
Wasiat begitu penting
dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan dalam surat
Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat An-Nisaa ayat 11 dan ayat
12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus diselesaikan
terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan perwaris kepada
anak/anak-anak, duda, janda/janda-janda dan saudara/saudara-saudara pewaris.
Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas
harta kekayaannya sesudah meninggalnya.
Wasiat dalam sistem
hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang
seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wasiat hanya
diatur Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209
Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 194 sampai dengan
pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa sedangkan dalam pasal 209 mengatur
tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat.
Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut wasiat wajibah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, rumusan masalah yang akan dikaji dan diteliti dalam makalah
ini adalah :
1. Apa yang
dimaksud dengan wasiat wajibah?
2. Bagaimana
kedudukan anak dan orang tua angkat dalam hal kewarisan?
3. Siapa
saja penerima wasiat wajibah?
C. Manfaat
Adapun manfaat dari
makalah ini adalah :
1. Untuk
lebih mengetahui pengertian dari wasiat wajibah
2. Untuk
mengetahui lebih detail seperti apa pengaturannya (wasiat wajibah) dalam hukum
kewarisan Islam yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wasiat Wajibah
Istilah “wasiat”
diambil dari washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung sesuatu). Dalam syari’at,
wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada
orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah
tersebut setelah kematian orang yang berwasiat[2][2].
Menurut asal hukum,
wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala
keadaan. Karenanya, tak ada dalam syari’at islam sesuatu wasiat yang wajib
dilakukan dengan jalan putusan hakim[3][3].
Wasiat wajibah
merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu[4][4]. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan
kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari
orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’[5][5]. Menurut Suparman, Wasiat wajibah adalah wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau
kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapkan
atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang
meninggal dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti
bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi
pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa
wasiat tersebut harus dilaksanakan.[6][6]
Ketentuan wasiat
wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan QS:
Al-Baqarah :180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَ كُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَ صِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَاْلأَقْرَبِيْنَ بالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْن
.Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
0rang-orang yang bertaqwa (Q.S. al-Baqarah: 180)
Sebagian ulama,
dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat
(kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun
kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat
wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian
(penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan. Sedang sebagian lain
berpendapat karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah di
nasakh, baik oleh Al-Qur’an maupun al-Hadits.
Dalam kewarisan
hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang dianut dalam pelaksanaan kewarisan[7][7], tidak ada definisi
secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia.
Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam
pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
Subjek hukumnya adalah
anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat
terhadap anak angkat
Tidak diberikan atau
dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh
negara
Bagian penerima wasiat
adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari
harta peninggalan pewaris
Wasiat wajibah dalam
pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara
pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan
orang tua angkatnya[8][8]. Di negara Islam di
daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah
dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan
cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu
dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh
negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian tempat.
Awalnya wasiat wajibah
dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang
meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim
Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang
tidak mendapatkan harta pusaka. Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin[9][9], bahwa apabila tidak
dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat
yang tidak mendapatkan harta pusaka, maka hakim harus bertindak sebagai
pewaris yang memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris kepada kerabat
yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam bentuk wasiat yang wajib.
Konsep 1/3 (satu
pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang
sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash [10] sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya,
“Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang
mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.” Rasulullah
menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan
“Jangan.” “Bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah
“Besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam
keadaan berkecukupan adalah lebih baik.”
Hadits ini menjadi
acuan bagi Mesir yang pertama mengundangkan tentang wasiat wajibah dalam
Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946. Sejak 01 Agustus 1946, orang Mesir yang
tidak membuat wasiat sebelum meninggalnya, maka kepada keturunannya dari anak
pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu daripada pewaris diberikan wasiat
wajib tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan
pewaris. Hal ini diadopsi oleh Indonesia
dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
B. Kedudukan Anak dan Orang Tua Angkat dalam
Kewarisan
Menurut hukum waris
Islam, ada tiga hal yang menyebabkan seseorang itu mendapat warisan, yaitu :
hubungan darah, pernikahan dan wala (budak yang dimerdekakan). Di luar tiga sebab
di atas tidak termasuk dalam hak kewarisan, oleh karena itu anak angkat bukan
sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Dalam kenyataan dan
praktek-praktek sehari-hari, tidak dapat disangkal bahwa hubungan anak angkat dengan
orang tua angkatnya erat sekali baik dalam suasana suka maupun duka.
Akan tetapi anak angkat
tidak boleh disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta
warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah
dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak
angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya,
demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak
angkatnya.
Namun, dalam Kompilasi
Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan
sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang
disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua
angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
C. Pihak Yang Menerima Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah ini
mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu orang tua angkat dan
anak angkat yang mungkin sudah berjasa besar kepada si pewaris tetapi tidak
diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapai
jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima
bagian dari harta pewaris. Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama, yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris. Kalau
dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit. Tidaklah wajib dibuat wasiat
untuknya.
Kedua, orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan
jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
Dan jika di telah
memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,maka wajiblah disempurnakan
wasiat itu. Apabila wasiat itu lebih dari sepertiga harta, maka wasiat itu
hanya berlaku sejumlah sepertiga harta tanpa perlu persetujuan seseorang,
sedang yang lebih dari sepertiga harta, memerlukan persetujuan para waris.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wasiat wajibah pada
prinsipnya merupakan wasiat yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaa
tertentu oleh negara melalui jalur yudikatif. Pengaturan wasiat wajibah secara
sempit diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu hanya untuk anak
angkat dan orang tua angkat dan hakim memiliki kewenangan ijtihad untuk
memperluas wasiat wajibah. Ijtihad hakim pada umumnya diperluas dengan
bersandar pada asas keadilan dan keseimbangan. Putusan-putusan tentang wasiat
wajibah sekiranya dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan seluruh
masyarakat.
B. Saran
Demikian makalah ini
kami buat, guna melengkapi tugas kelompok dan semoga berguna bagi
mahasiswa/mahasiswi lain sebagai pacuan materi pembelajaran. Apabila terdapat
kekurangan dalam materi ataupun penyusunan materi dalam makalah ini kami mohon
maaf. Dan juga kami mohon agar bapak dosen yang bersangkutan berkenan
memberikan kritik dan saran dengan tujuan agar kedepannya pembuatan makalah
bisa menjadi lebih baik.
[1][1]
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, 1981, hlm. 97-99
[3][3] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
hlm. 273
[4][4] Fatchur Rahman, Ilmu
Waris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 63.
[5][5] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi
Hukum Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000), Jilid 6, hlm.1930.
[7][7] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, 1998, hlm. 281-289
[8][8] Destri Budi Nugraheni dkk, Pengaturan
dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor
2, Juni 2010, hlm. 312
[9][9] Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam,
1982, hlm. 78
No comments:
Post a Comment