menu

Pengertian dan Syarat Wasiat Wajibah - Hadits Ahkam


A.    Pendahuluan
Ketika sesorang sudah merasa dekat ajalnya, biasanya ia baru menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya dan saat itulah ia baru insaf dan mempunyai keinginan untuk berbuat kebaikan. Oleh karena itulah islam mensyariatkan wasiat sebagai wadah untuk beramal shaleh walaupun ajalnya telah dekat.
Di awal permulaan islam, islam belum mengatur masalah syariat kemudian secara bertahap melakukan perubahan, yang awalnya perempuan tidak mempunyai hak waris bahkan bisa diwarisi kemudian menggantinya dengan syariat wasiatuntuk orang tua, kerabat dekat, istri (untuk nafkah  masa iddahnya  selama satu tahun). Kemudian menggantinya yang lebih baik lagi dengan adanya ayat mawaris dimana Allah teah menentukan secara terperinci jatah warisan untuk setiap orang. Di makalah kami ini kami akan membahas tentang hadits-hadits tentang wasiat dan kontekstualisasinya dalam hukum di indonesia.
B.     Pengertian wasiat
Wasiat dalam bahasa di ambil dari ْ وَصَيْتُ الشَّيْءَ, وَصَلْتُهُ وَأَوْصَيْتُ إِلَيْهِ بِمَالٍ جَعَلْتُهُ لَهُ. (saya mewasiatkan sesuatu, saya menyampaikan kepadanya dan saya berwasiat untuknya dengan darta yang saya jadikan untuknya. Kata wasiat juga lumrah digunakan untuk menyebut sesuatu yang diwasiatkan.

Adapun wasiat dengan harta secara istilah adalah
 تَمْلِيكٌ مُضَافٌ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ بِطَرِيقِ التَّبَرُّعِ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الأَْعْيَانِ أَوْ فِي الْمَنَافِع
Kepemilikan sesuatu dengan cara tabarru’ yang disandarkan atas kematian, baik berupa benda atau manfaat.[1]

C.     Istilah-istilah wasiat dalam bahasa arab

1.  al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat
2. al-musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3. al-musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu)
4. al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
5.  wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat.[2]
D.    syarat-syarat wasiat

perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah islam adalah sbb:

i. Syarat benda yang diwasiatkan

(a) wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga).
Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
(b) wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
(c) boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
(d) boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
(e) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

Ii. Syarat pewasiat / pemberi wasiat (al-washi)

(a) akil baligh,
(b) berakal sehat
(c) atas kemauan sendiri.
(d) boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.
[3]

E.     Dalil-dalil disyariatkannya wasiat

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. 
Kata خَيْرًا bermakna harta, maka para ulama berbeda pendapat tentang berapa kadarnya. Diriwayatkan dari abi malikah dari aisyah, abi malikah berkata pada aisyah “saya ingin berwasiat”, aisyah menjawab “berapa hartamu?” abi malikah menjawab “tiga ribu” aisyah: “berapa keluargamu?” jawabnya “empat” aisyah berkata “Allah berfirman  إِنْ تَرَكَ خَيْرًا dan hartamu ini sedikit, tinggalkanlah untuk keluargamu ini lebih utama bagimu.
Aban bin ibrahim an-nakha’i pernah berkata tentang إِنْ تَرَكَ خَيْرًا bahwa khair adalah 500 sampai 1000 dirham.Sesungguhnya ada seorang lelaki ingin berwasiat tetapi dia mempunyai banyak anak dan dia meninggalkan 400 dinar, aisyah berkata “saya tak melihatnya sebagai sebuah kelebihan (fadhl)”[4]
Para ulama berbeda pendapat  tentang ketentuan untuk membedakan harta yang banyak dan sedikit Ibnu Abbas berkata “jika meninggalkan 700 dirham maka jangan berwasiat, jika meninggalkan 800 dirham berwasiatlah”. Qatadah berkata “1000 dirham”. [5]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berwasiat dengan harta, jumhur ulama yaitu mazhab hanafi, maliki, syafii, dan hanbali berpendapat bahwa wasiat tidaklah wajib. Pendapat inilah yang juga dipakai oleh asy-sya’bi, an-nakha’i, dan ats-tsauri. Mereka beristidlal bahwa kebanyakan shahabat Rasulullah saw. Tidak diriwayatkan dari mereka pernah berwasiat, dan tidak pula ada riwayat yang menentang mereka. Andaikan wajib tentu tentu ada riwayat yang jelas. Wasiat adalah suatu pemberian sebagaimana pemberian yang lain yang pemberian itu tidak wajib disaat masih hidup, maka tidak wajib seetelah mati.

Kemudian mereka berkata bahwa wasiat itu disunnahkan dengan sebagian harta bagi orang yang meninggalkan harta yang banyak, karena allah berfirman (QS. Al-Baqarah:180)
Maka dinasakhlah kewajibannya dan yang masih tetap adalah kesunnahan wasiat untuk diberikan kepada orang yang tidak mendapat warisan.[6]

F.     Hadits Dianjurkannya Berwasiat
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ibn umar (r.a), bahwa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “hak seorang muslim yang memiliki sesuatu lalu ingin berwasiat dan sudah berlalu dua malam, maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.”(muttafaq ‘alaihi).
     Allah telah bersedekah kepada orang-orang muslim di mana mereka diberikan hak untuk membelanjakan dan mewasiatkan 1/3 hartanya walaupun setelah mereka meninggal dunia, bahkan mereka diberi ganjaran pahala di atas kesediaannya berbuat demikian. [7]
Apakah wasiat mesti mempunyai saksi? Menurut sebahagian ulama mazhab syafi’i, saksi dikhususkan kepada wasiat, tetapi boleh berpegang dengan apa yang tertulis walaupun tanpa saksi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.
Menurut jumhur ulama, maksud “ditulis” dalam hadits ini adalah saksi. Dalilnya adalah firman Allah:
 wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang di antara kamu hampir mati, ketika (ia mahu) berwasiat, hendaklah wasiatnya itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang lain (yang bukan seagama) dengan kamu, jika kamu dalam pelayaran di muka bumi lalu kamu ditimpa bencana sakit yang membawa maut…” (Surah Al-Ma’idah: 106)
Ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah (s.a.w) pernah berwasiat? Pendapat yang benar menegaskan Rasulullah (s.a.w) pernah berwasiat dan ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah (s.a.w) tidak pernah  berwasiat, maka orang itu memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Rasulullah (s.a.w).
Dalam satu hadits sahih riwayat muslim dari ibn abbas bahwa Rasulullah (s.a.w) berwasiat dengan tiga perkara… dalam riwayat Imam Ahmad, Al-Nasa’i dan Ibn Sa’id dari hadits anas bahwa wasiat Rasulullah (s.a.w) ketika menjelang wafatnya adalah jagalah solat dan hamba kamu.[8]
G.      Hadits Tentang Bagian Dari Harta Yang Di Wasiatkan
َوَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ : قُلْتُ : ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari sa’ad bin abu waqqash (r.a), beliau berkata: “saya bertanya: wahai Rasulullah, saya seorang hartawan dan pewarisnya hanyalah seorang anak perempuan saya. Bolehkah saya menyedekahkan 2/3 harta saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/2 harta milik saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/3?” Rasulullah saw. Menjawab: 1/3, dan itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu kaya raya lebih baik dari kamu tinggalkan mereka fakir miskin meminta-minta kepada orang lain.” (muttafaq alaihi: 986).[9]
     Ketika seseorang dibolehkan berwasiat, maka harus ditetapkan batas jumlah wasiat yang dibolehkan supaya hartanya tidak habis untuk orang lain. Selain itu, ia bertujuan agar tidak menjadikan ahli warisa terhalang dari menerima haknya, karena setiap orang memiliki hak yang sama termasuk ahli waris.
     Itulah sebabnya dalam hadits ini wasiat dibatasi hanya 1/3 dari jumlah keseluruhan harta, bahkan hadits ini menganjurkan bahwa apa yang terbaik adalah tidak sampai mengeluarkan wasiat 1/3 dari jumlah harta.
Diriwayatkan dari abu bakar as-shiddiq dan ali bin abi thalib sesungguhnya beliau berkata “saya lebih menyukai berwasiat adengan seperlima harta saya sebagaimana allah meridhai bagian tersebut untuk ghanimah”. Ibnu Qudamah berkata bahwa riwayat inilah yang merupakan mayoritas pendapat ulama salaf adan ulama bashrah. Ibnu abbas dan sebagian orang menyukai berwasiat dengan seperempat. Ishaq berkata “yang sunnah adalah seperempat, kecuali jika seseorang mengetahui hartanya tercampur dengan yang haram dan syubhat maka baginya sepertiga. Qadhi abu al-khattab dari hanabilah berkata “jika pewasiat kaya maka dianjurkan baginya sepertiga”
Sunnahnya berwasiat -menurut kesepakatan ulama- adalah jika para ahli waris adalah orang orang kaya dan harta peninggalan banyak. Adapun jika harta peninggalan sedikit sedangkan ahli waris membutuhkan, ulama hanafi dan hanabilah menjelaskan bahwa orang fakir yang mempunyai ahli waris yang membutuhkan tidak disunnahkan baginya berwasiat.
Ali bin abi thalib berkata pada seseorang yang hendak berwasiat “kamu tak meninggalkan harta banyak, kamu hanya meninggalkan harta yang sedikit maka tinggalkanlah untuk ahli warismu. Asy-sya’bi berkata ” tidak ada harta yang lebih besar pahalanya selain harta yang ditinggalkan seseorang untuk anaknya sehingga tidak membebani orang lain”. Wasiat dalam keadaan ini akan menyambung kerabat jauh tetapi meninggalkannya akan menyambung kerabat dekat, maka hal ini lebih utama. Jika harta seseorang banyak sedangkan para ahli warisnya miskin, maka yang lebih utama adalah berwasiat lebih sedikit dari sepertiga dan meninggalkan hartanya untuk ahli warisnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat itu hukumnya wajib. Diriwayatkan dari az-zuhri bahwa beliau berkata “allah menjadikan wasiat sebagian suatu hak baik dari harta yang sedikit maupun banyak. Dikatakan kepada abi mijlaz  “apakah setiap orang wajib berwasiat ?” Jawabnya “jika meninggalkan harta yang banyak (khair)”. Ibnu abu bakar berkata “wasiat itu wajib bagi kerabat yang tidak mendapat warisan”. Pendapat tentang wajibnya wasiat juga diriwayatkan dari masruq, thowus, iyas, qatadah, dan ibnu jarir. Dan mereka berhujjah dengan firman allah surat al baqarah ayat

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Dari abu umamah al-bahili (r.a), beliau berkata: “saya pernah mendengar Rasulullah (s.a.w) bersabda: “sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap orang yang berhak ke atasnya. Oleh itu, tidak sah wasiat kepada ahli waris.” (diriwayatkan oleh imam ahmad dan al- arba’ah selain al-nasa’i, dinilai hasan oleh imam ahmad dan al-tirmidhi, dinilai kuat oleh ibn khuzaimah dan ibn al-jarud).[10]
َوَرَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- , وَزَادَ فِي آخِرِهِ : ( إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اَلْوَرَثَةُ )  وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
Hadits ini turut diriwayatkan oleh al-daruquthni dari hadits ibn abbas (r.a) dan pada bahagian akhir ditambahkan: “… kecuali ahli waris bersetuju dengannya (wasiat itu).” (sanadnya hasan).
Ketika Allah menetapkan setiap bahagian ahli waris, maka orang yang hendak meninggal dunia dilarang berwasiat dengan memberikan harta warisan kepada ahli warisnya. Di sini islam datang untuk menjelaskan permasalahan ini, di mana dilarang memberikan wasiat kepada ahli waris.
1. Dilarang berwasiat kepada ahli waris menurut jumhur ulama, meskipun ada sebahagian kecil yang mengingkari pendapat ini.
2. Dibolehkan berwasiat kepada ahli waris jika mereka mengizinkan berbuat demikian. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sementara imam al-syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini.
َوَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ; زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ )  رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari mu’adz bin jabal (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) bersabda: [11]“sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu untuk menyedekahkan 1/3 dari hartamu ketika kamu hendak meninggal dunia untuk menambahkan lagi amal kebaikanmu.” (diriwayatkan oleh al-daruquthni).
     pada awal bab ini dianjurkan untuk berwasiat, maka di sini disebutkan pula mengenai keutamaannya.
1. Disyariatkan berwasiat 1/3 dari jumlah keseluruhan harta, baik hartanya itu sedikit mahupun banyak.
2. Pembayaran hutang hendaklah didahulukan, kemudian dikeluarkan 1/3 sisa hartanya sebagai wasiat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “dengan 1/3 harta kamu.” Ini karena hutang tidak termasuk harta yang berwasiat. Ini disokong oleh hadits daif dari ali di mana al-tirmidhi berkata: “inilah pegangan ulama.”
Http://www.alkhoirot.net/2012/07/wasiat-dalam-islam.html
Dalil dasar dan hukum wasiat

1. Quran surah al-baqarah 2:180
كتِبَ عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيراً الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقاً على المتقين
Artinya:

2. Qs an-nisa' 4:11
3. Qs al-maidah 5:106





Hukum mencabut wasiat

menurut khi (kompilasi hukum islam) pewasiat dapat mencabut wasiatnya dengan cara sebagai berikut:

pasal 199
(1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
(4) bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte notaris.


Wasiat menurut khi (kompilasi hukum islam)

masalah wasiat dibahas secara khusus dalam khi buku ii bab v yang detailnya dapat dilihat di sini. Ringkasannya sebagai berikut:

pasal 194
(1) orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris.
(2) wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
Pasal 196
dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Selengkapnya...



عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن الرجل


[1]  Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[4] Imam al-thabari, tafsir al-thabari, maktabah syamilah, tafsir surat al-baqarah ayat 180
[5] Syaikh wahbah zuhaili, tafsir al-munir, tafsir surat al-baqarah ayat 180
[6] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[7] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 316
[8] Ibid., hal. 318
[9] [9] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 319
Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 321
Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 322

No comments:

Post a Comment