A.
Pendahuluan
Ketika sesorang sudah merasa dekat ajalnya, biasanya ia baru menyadari
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya dan saat itulah ia baru insaf dan
mempunyai keinginan untuk berbuat kebaikan. Oleh karena itulah islam mensyariatkan
wasiat sebagai wadah untuk beramal shaleh walaupun ajalnya telah dekat.
Di awal permulaan islam, islam belum mengatur masalah syariat kemudian
secara bertahap melakukan perubahan, yang awalnya perempuan tidak mempunyai hak
waris bahkan bisa diwarisi kemudian menggantinya dengan syariat wasiatuntuk
orang tua, kerabat dekat, istri (untuk nafkah
masa iddahnya selama satu tahun).
Kemudian menggantinya yang lebih baik lagi dengan adanya ayat mawaris dimana Allah
teah menentukan secara terperinci jatah warisan untuk setiap orang. Di makalah
kami ini kami akan membahas tentang hadits-hadits tentang wasiat dan
kontekstualisasinya dalam hukum di indonesia.
B.
Pengertian
wasiat
Wasiat dalam bahasa di ambil dari ْ وَصَيْتُ الشَّيْءَ, وَصَلْتُهُ وَأَوْصَيْتُ إِلَيْهِ بِمَالٍ
جَعَلْتُهُ لَهُ. (saya mewasiatkan sesuatu, saya menyampaikan kepadanya dan saya
berwasiat untuknya dengan darta yang saya jadikan untuknya. Kata wasiat juga
lumrah digunakan untuk menyebut sesuatu yang diwasiatkan.
Adapun wasiat dengan
harta secara istilah adalah
تَمْلِيكٌ مُضَافٌ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ
بِطَرِيقِ التَّبَرُّعِ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الأَْعْيَانِ أَوْ فِي
الْمَنَافِع
Kepemilikan sesuatu dengan cara tabarru’ yang disandarkan
atas kematian, baik berupa benda atau manfaat.[1]
C.
Istilah-istilah
wasiat dalam bahasa arab
1. al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat
2. al-musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3. al-musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu)
4. al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
5. wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat.[2]
1. al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat
2. al-musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3. al-musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu)
4. al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
5. wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat.[2]
D.
syarat-syarat wasiat
perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah islam adalah sbb:
i. Syarat benda yang diwasiatkan
(a) wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
(b) wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
(c) boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
(d) boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
(e) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Ii. Syarat pewasiat / pemberi wasiat (al-washi)
(a) akil baligh,
(b) berakal sehat
(c) atas kemauan sendiri.
(d) boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.[3]
perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah islam adalah sbb:
i. Syarat benda yang diwasiatkan
(a) wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
(b) wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
(c) boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
(d) boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
(e) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Ii. Syarat pewasiat / pemberi wasiat (al-washi)
(a) akil baligh,
(b) berakal sehat
(c) atas kemauan sendiri.
(d) boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.[3]
E.
Dalil-dalil disyariatkannya wasiat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.
Kata خَيْرًا bermakna harta, maka para ulama berbeda pendapat
tentang berapa kadarnya. Diriwayatkan dari abi malikah dari aisyah, abi malikah
berkata pada aisyah “saya ingin berwasiat”, aisyah menjawab “berapa hartamu?”
abi malikah menjawab “tiga ribu” aisyah: “berapa keluargamu?” jawabnya “empat”
aisyah berkata “Allah berfirman إِنْ تَرَكَ خَيْرًا dan hartamu ini sedikit, tinggalkanlah untuk
keluargamu ini lebih utama bagimu.
Aban bin ibrahim an-nakha’i pernah berkata tentang إِنْ تَرَكَ خَيْرًا bahwa khair adalah 500 sampai 1000
dirham.Sesungguhnya ada seorang lelaki ingin berwasiat tetapi dia mempunyai banyak
anak dan dia meninggalkan 400 dinar, aisyah berkata “saya tak melihatnya
sebagai sebuah kelebihan (fadhl)”[4]
Para
ulama berbeda pendapat tentang ketentuan
untuk membedakan harta yang banyak dan sedikit Ibnu Abbas berkata “jika
meninggalkan 700 dirham maka jangan berwasiat, jika meninggalkan 800 dirham
berwasiatlah”. Qatadah berkata “1000 dirham”. [5]
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum berwasiat dengan harta, jumhur ulama yaitu
mazhab hanafi, maliki, syafii, dan hanbali berpendapat bahwa wasiat tidaklah
wajib. Pendapat inilah yang juga dipakai oleh asy-sya’bi, an-nakha’i, dan
ats-tsauri. Mereka beristidlal bahwa kebanyakan shahabat Rasulullah saw. Tidak
diriwayatkan dari mereka pernah berwasiat, dan tidak pula ada riwayat yang
menentang mereka. Andaikan wajib tentu tentu ada riwayat yang jelas. Wasiat
adalah suatu pemberian sebagaimana pemberian yang lain yang pemberian itu tidak
wajib disaat masih hidup, maka tidak wajib seetelah mati.
Kemudian
mereka berkata bahwa wasiat itu disunnahkan dengan sebagian harta bagi orang
yang meninggalkan harta yang banyak, karena allah berfirman (QS.
Al-Baqarah:180)
Maka
dinasakhlah kewajibannya dan yang masih tetap adalah kesunnahan wasiat untuk
diberikan kepada orang yang tidak mendapat warisan.[6]
F. Hadits Dianjurkannya Berwasiat
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ;
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ
لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا
وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari
ibn umar (r.a), bahwa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “hak seorang muslim yang
memiliki sesuatu lalu ingin berwasiat dan sudah berlalu dua malam, maka
wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.”(muttafaq ‘alaihi).
Allah
telah bersedekah kepada orang-orang muslim di mana mereka diberikan hak untuk
membelanjakan dan mewasiatkan 1/3 hartanya walaupun setelah mereka meninggal
dunia, bahkan mereka diberi ganjaran pahala di atas kesediaannya berbuat
demikian. [7]
Apakah wasiat mesti mempunyai
saksi? Menurut sebahagian ulama mazhab syafi’i, saksi dikhususkan kepada
wasiat, tetapi boleh berpegang dengan apa yang tertulis walaupun tanpa saksi.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “maka wasiatnya mesti sudah
ditulis di sisinya.”
Menurut jumhur ulama, maksud “ditulis”
dalam hadits ini adalah saksi. Dalilnya adalah firman Allah:
“wahai
orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang di antara kamu hampir mati,
ketika (ia mahu) berwasiat, hendaklah wasiatnya itu disaksikan oleh dua orang
yang adil di antara kamu, atau dua orang lain (yang bukan seagama) dengan kamu, jika kamu dalam pelayaran di muka bumi
lalu kamu ditimpa bencana sakit yang membawa maut…” (Surah Al-Ma’idah: 106)
Ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah
(s.a.w) pernah berwasiat? Pendapat yang benar menegaskan Rasulullah (s.a.w)
pernah berwasiat dan ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah (s.a.w) tidak
pernah berwasiat, maka orang itu
memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Rasulullah (s.a.w).
Dalam satu hadits sahih riwayat
muslim dari ibn abbas bahwa Rasulullah (s.a.w) berwasiat dengan tiga perkara…
dalam riwayat Imam Ahmad, Al-Nasa’i dan Ibn Sa’id dari hadits anas bahwa wasiat
Rasulullah (s.a.w) ketika menjelang wafatnya adalah jagalah solat dan hamba
kamu.[8]
G. Hadits Tentang Bagian Dari Harta Yang Di Wasiatkan
َوَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه
قَالَ : قُلْتُ : ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي
إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ : لَا
قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ
بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ
وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ
اَلنَّاسَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari
sa’ad bin abu waqqash (r.a), beliau berkata: “saya bertanya: “wahai Rasulullah, saya
seorang hartawan dan pewarisnya hanyalah seorang anak perempuan saya. Bolehkah
saya menyedekahkan 2/3 harta saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.”
Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/2 harta milik saya?” Rasulullah
saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/3?”
Rasulullah saw. Menjawab: “1/3, dan itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan
ahli warismu kaya raya lebih baik dari kamu tinggalkan mereka fakir miskin
meminta-minta kepada orang lain.” (muttafaq alaihi: 986).[9]
Ketika
seseorang dibolehkan berwasiat, maka harus ditetapkan batas jumlah wasiat yang
dibolehkan supaya hartanya tidak habis untuk orang lain. Selain itu, ia
bertujuan agar tidak menjadikan ahli warisa terhalang dari menerima haknya,
karena setiap orang memiliki hak yang sama termasuk ahli waris.
Itulah
sebabnya dalam hadits ini wasiat dibatasi hanya 1/3 dari jumlah keseluruhan
harta, bahkan hadits ini menganjurkan bahwa apa yang terbaik adalah tidak
sampai mengeluarkan wasiat 1/3 dari jumlah harta.
Diriwayatkan dari abu bakar as-shiddiq dan ali bin abi thalib sesungguhnya
beliau berkata “saya lebih menyukai berwasiat adengan seperlima harta saya
sebagaimana allah meridhai bagian tersebut untuk ghanimah”. Ibnu
Qudamah berkata bahwa riwayat inilah yang merupakan mayoritas pendapat ulama
salaf adan ulama bashrah. Ibnu abbas dan sebagian orang menyukai berwasiat
dengan seperempat. Ishaq berkata “yang sunnah adalah seperempat, kecuali jika
seseorang mengetahui hartanya tercampur dengan yang haram dan syubhat maka
baginya sepertiga. Qadhi abu al-khattab dari hanabilah berkata “jika pewasiat
kaya maka dianjurkan baginya sepertiga”
Sunnahnya
berwasiat -menurut kesepakatan ulama- adalah jika para ahli waris adalah orang
orang kaya dan harta peninggalan banyak. Adapun jika harta peninggalan sedikit
sedangkan ahli waris membutuhkan, ulama hanafi dan hanabilah menjelaskan bahwa
orang fakir yang mempunyai ahli waris yang membutuhkan tidak disunnahkan
baginya berwasiat.
Ali bin abi thalib berkata pada seseorang
yang hendak berwasiat “kamu tak meninggalkan harta banyak, kamu hanya
meninggalkan harta yang sedikit maka tinggalkanlah untuk ahli warismu.
Asy-sya’bi berkata ” tidak ada harta yang lebih besar pahalanya selain harta
yang ditinggalkan seseorang untuk anaknya sehingga tidak membebani orang lain”.
Wasiat dalam keadaan ini akan menyambung kerabat jauh tetapi meninggalkannya
akan menyambung kerabat dekat, maka hal ini lebih utama. Jika harta seseorang
banyak sedangkan para ahli warisnya miskin, maka yang lebih utama adalah
berwasiat lebih sedikit dari sepertiga dan meninggalkan hartanya untuk ahli
warisnya.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa wasiat itu hukumnya wajib. Diriwayatkan dari az-zuhri
bahwa beliau berkata “allah menjadikan wasiat sebagian suatu hak baik dari
harta yang sedikit maupun banyak. Dikatakan kepada abi mijlaz “apakah setiap orang wajib berwasiat ?”
Jawabnya “jika meninggalkan harta yang banyak (khair)”. Ibnu abu bakar berkata
“wasiat itu wajib bagi kerabat yang tidak mendapat warisan”. Pendapat tentang
wajibnya wasiat juga diriwayatkan dari masruq, thowus, iyas, qatadah, dan ibnu
jarir. Dan mereka berhujjah dengan firman allah surat al baqarah ayat
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه
سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ
أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا
النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ
خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Dari abu umamah al-bahili (r.a), beliau berkata: “saya pernah
mendengar Rasulullah (s.a.w) bersabda: “sesungguhnya Allah telah memberi hak
kepada setiap orang yang berhak ke atasnya. Oleh itu, tidak sah wasiat kepada
ahli waris.” (diriwayatkan oleh imam ahmad dan al- arba’ah selain al-nasa’i,
dinilai hasan oleh imam ahmad dan al-tirmidhi, dinilai kuat oleh ibn khuzaimah dan
ibn al-jarud).[10]
َوَرَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ
عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- , وَزَادَ فِي آخِرِهِ : ( إِلَّا أَنْ
يَشَاءَ اَلْوَرَثَةُ ) وَإِسْنَادُهُ
حَسَنٌ
Hadits
ini turut diriwayatkan oleh al-daruquthni dari hadits ibn abbas (r.a) dan pada
bahagian akhir ditambahkan: “… kecuali ahli waris bersetuju dengannya (wasiat
itu).” (sanadnya hasan).
Ketika Allah menetapkan setiap
bahagian ahli waris, maka orang yang hendak meninggal dunia dilarang berwasiat
dengan memberikan harta warisan kepada ahli warisnya. Di sini islam datang
untuk menjelaskan permasalahan ini, di mana dilarang memberikan wasiat kepada
ahli waris.
1. Dilarang berwasiat kepada ahli
waris menurut jumhur ulama, meskipun ada sebahagian kecil yang mengingkari
pendapat ini.
2. Dibolehkan berwasiat kepada ahli
waris jika mereka mengizinkan berbuat demikian. Ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini, sementara imam al-syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini.
َوَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ :
قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ
بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ; زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari
mu’adz bin jabal (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) bersabda: [11]“sesungguhnya
Allah mengizinkan kepadamu untuk menyedekahkan 1/3 dari hartamu ketika kamu
hendak meninggal dunia untuk menambahkan lagi amal kebaikanmu.” (diriwayatkan
oleh al-daruquthni).
pada
awal bab ini dianjurkan untuk berwasiat, maka di sini disebutkan pula mengenai
keutamaannya.
1. Disyariatkan berwasiat 1/3 dari
jumlah keseluruhan harta, baik hartanya itu sedikit mahupun banyak.
2. Pembayaran hutang hendaklah
didahulukan, kemudian dikeluarkan 1/3 sisa hartanya sebagai wasiat. Dalilnya
adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “dengan 1/3 harta kamu.” Ini karena hutang
tidak termasuk harta yang berwasiat. Ini disokong oleh hadits daif dari ali di
mana al-tirmidhi berkata: “inilah pegangan ulama.”
Http://www.alkhoirot.net/2012/07/wasiat-dalam-islam.html
Http://www.alkhoirot.net/2012/07/wasiat-dalam-islam.html
Dalil dasar dan hukum wasiat
1. Quran surah al-baqarah 2:180
1. Quran surah al-baqarah 2:180
كتِبَ عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيراً
الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقاً على المتقين
Artinya:
2. Qs an-nisa' 4:11
3. Qs al-maidah 5:106
Hukum mencabut wasiat
menurut khi (kompilasi hukum islam) pewasiat dapat mencabut wasiatnya dengan cara sebagai berikut:
pasal 199
(1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
(4) bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte notaris.
Wasiat menurut khi (kompilasi hukum islam)
masalah wasiat dibahas secara khusus dalam khi buku ii bab v yang detailnya dapat dilihat di sini. Ringkasannya sebagai berikut:
pasal 194
(1) orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris.
(2) wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
Pasal 196
dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Selengkapnya...
2. Qs an-nisa' 4:11
3. Qs al-maidah 5:106
Hukum mencabut wasiat
menurut khi (kompilasi hukum islam) pewasiat dapat mencabut wasiatnya dengan cara sebagai berikut:
pasal 199
(1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
(4) bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte notaris.
Wasiat menurut khi (kompilasi hukum islam)
masalah wasiat dibahas secara khusus dalam khi buku ii bab v yang detailnya dapat dilihat di sini. Ringkasannya sebagai berikut:
pasal 194
(1) orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris.
(2) wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
Pasal 196
dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Selengkapnya...
عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن الرجل
[7] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah
Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010),
Jilid 3 Hal. 316
[9] [9] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy,
Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala
Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 319
No comments:
Post a Comment