menu

pandangan islam tentang nilai-nilai budaya lokal di jawa

Pandangan Islam tentang nilai-nilai budaya lokal di Jawa

Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan berbagai bentuknya maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi dan budaya Jawa tersebut dalam pandangan Islam. Sebelum mengkaji permasalahan ini lebih jauh, perlu dijelaskan secara singkat karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna, komprehensif, dan dinamis.

Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat keseluruhan ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu dan memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun. Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan tempat. Secara umum, ajaran-ajaran dasar Islam yang bersumberkan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah menyangkut ajaran-ajaran tentang keyakinan atau keimanan; syariah menyangkut ajaran-ajaran tentang hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf (orang Islam yang sudah dewasa); dan akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang luhur (akhlak mulia).

Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam ajaran-ajaran yang terkait dengan hukum Islam (syariah). Hukum Islam mengatur dua bentuk hubungan, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antara manusia dengan sesamanya (muamalah). Dalam bidang ibadah Allah dan Rasulullah sudah memberikan petunjuk yang rinci, sehingga dalam bidang ini tidak bisa ditambah-tambah atau dikurangi, sementara dalam bidang muamalah Allah dan Rasulullah hanya memberikan aturan yang global dan umum yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh dan lebih rinci. Pada bidang yang terakhir inilah dimungkinkan adanya pembaruan dan dinamika yang tinggi.

Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa masalah tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang aqidah dan syariah.. Untuk melihat apakah tradisi dan budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jawa itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, maka hal itu dapat dikaji dengan mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan bidang aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya Jawa seperti yang dijelaskan di atas menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara.

Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan tersebut. Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). 

Ada juga yang meyakini benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang tertentu (dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki kekuatan ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika mereka melakukan sesuatu. 

Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang abangan ini bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan meyakini Allah Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Swt. Orang yang meyakini ada tuhan (yang seperti tuhan) selain Allah maka termasuk golongan orang-orang musyrik yang sangat dibenci oleh Allah dan di akhirat kelak mereka diharamkan masuk ke surga dan tempatnya yang paling layak adalah di neraka (QS. al-Maidah (5): 72). Perbuatan seperti itu dinamakan perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa’ (4): 166).

Tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang lain yang perlu dikaji di sini adalah yang terkait dengan perilaku-perilaku ritual mereka seperti yang telah diuraikan di atas. Masyarakat Jawa yang abangan atau kejawen juga memiliki tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu dengan tujuan untuk mencari berkah atau memohon kepada para ruh leluhur atau orang yang dihormati agar memberikan dan mengabulkan apa yang mereka minta. Mereka juga memiliki tradisi melakukan upacara-upacara keagamaan (ritus) sebagai ungkapan persembahan mereka kepada Tuhan. 

Di antara tradisi yang terkait dengan ritus ini adalah upacara labuhan di pantai Parang Kusuma, upacara ruwatan, upacara kelahiran hingga kematian seseorang, upacara menyambut tahun baru Jawa yang sama dengan tahun baru Islam, dan bentuk-bentuk upacara ritual lainnya. Acara-acara ritual yang mereka lakukan seperti itu meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam. Mereka meminta berkah atau rizki kepada Tuhan tidak secara langsung, tetapi melalui perantara dan memakai sesaji. Meminta berkah atau rizki kepada selain Allah jelas dilarang dan bertentangan dengan al-Quran, karena tidak ada yang dapat memberikan berkah atau rizki kepada siapa pun selain Allah (QS. al-Zumar (39): 52). 

Syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi. Tatacara ibadah kepada Allah ditetapkan dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji yang didasari dengan iman (kesaksian akan adanya Allah yang satu dan Muhammad sebagai Rasulullah). Semua bentuk ibadah ini sudah diatur tatacaranya dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Segala bentuk amalan yang bertentangan dengan cara-cara ibadah yang ditetapkan oleh al-Quran atau hadis disebut bid’ah yang dilarang. Dengan demikian, apa yang selama ini dilakuan oleh masyarakat Jawa, khususnya dalam masalah-masalah ritual seperti itu, jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, hal ini sebenarnya harus diupayakan untuk ditinggalkan atau diluruskan tata caranya sehingga tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam.

Menurut Nurcholis Madjid, untuk kembali kepada ajaran yang benar, harus diusahakan penataan kembali, sedikit demi sedikit, susunan dan hirarki nilai dalam agama sejingga yang primer tetap primer, dan yang sekunder tetap sekunder, begitu seterusnya. Ini bukan berarti kita harus merombak, mengubah, dan menukar ajaran dan nilai agama (dan budaya), karena, sepanjang mengenai agama, manusia tidak berhak melakukan suatu perubahan apa pun yang datang dari Tuhan. Tetapi, karena persepsi dan pemahaman terhadap agama ada dalam lingkungan budaya ciptaan manusia, maka adalah suatu hal yang mustahil bahwa persepsi dan pemahaman itu tidak terpengaruhi oleh kerangka dan sistem budaya ciptaan manusia itu. Maka, yang diperlukan di sini adalah sekedar penyusunan kembali urutan hirarki nilai-nilai itu secara proporsional.

Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Katakanlah, 'Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak(pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita." (QS. Al-An'am : 71).

nilai-nilai budaya lokal masyarkat jawa

Nilai-nilai Budaya Lokal Masyarakat Jawa

Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.

Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.

Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan.

Di antara nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan dan dilestarikan masyarakat Jawa sampai saat ini antara lain:

             1. Sekaten
Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut ‘Srada Agung’ itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.

Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut Sekaten dari kata ‘Sekati’. Pendapat lainnya menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Inti dari acara perayaan ini adalah berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.

             2. Grebeg
Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam seahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal dari bahasa Jawa ‘Grebeg’ yang berarti ‘diiringi para pengikut’. Karena perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut Grebebg. Pengertian Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.

Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti:
a. Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
b. Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar (Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya Idul Adha (Qurban).
c. Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Mulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Pada setiap upacara grebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng besar) sehingga desebut gunungan. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan berkah dari gunungan itu.

             3. Labuhan
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan adalah labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat.

Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta berharap semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai sejahtera.

Di samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja sebelumnya terutama raja pendiri dinasti Mataram (Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu dianggap membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Kraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta.

             4. Slametan
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”

Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan, kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan.

Dengan pernyataan senada, Nurcholish Madjid mengatakan, kaum santri menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih dipertahankan kaum santri dan yang paling banyak menjadi target kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan selamatan di sini adalah acara makan-makan untuk mendoa’kan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun (pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan tersebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang meninggal ini bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat ‘laa ilaaha illallah,’ dengan maksud berdo’a untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang lebih controversial lagi (di mata kaum reformis) adalah ‘mengirimkan pahala wirid’ itu kepada arwah yang meninggal.

Tetap lestarinya slametan ini memberikan makna bahwa hubungan sosial masyarakat tetap kokoh. Masyarakat merasa diperlakukan sama satu dengan lainnya. Kalau mereka sudah duduk bersama, tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi. Slametan menimbulkan efek psikologi dalam bentuk keseimbangan emosional dan mereka meyakini bakal selamat, tidak terkena musibah atau tertimpa malapetaka setelah mereka melakukan kegiatan ini.

             5. Ruwatan
Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan membebaskan seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti upacara ini sebenarnya adalah do’a, memohon perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, juga do’a memohon pengampunan, dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan bencana. Upacara ini berasal dari ajaran budaya Jawa kuno yang bersifat sinkretis, namun sekarang diadaptasikan dengan ajaran agama. Ruwatan bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan orang atau barang atau desa dari ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini sebenarnya untuk tolak bala’. Upacara ini berasal dari cerita Batara Kala, yaitu raksasa yang suka makan manusia. Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat.

Lebih lanjut menurut Baedhowi, dalam ruwatan harus dilengkapi dengan berbagai sesajen yang dulunya masih sederhana dan hanya terdiri dari beberapa macam sesajen saja, namun sekarang sesajen itu sudah banyak macamnya. Sesajen-sesajen ini terdiri dari berbagai macam makanan, lauk pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan digantungkan sepanjang batang bamboo melintang di atas panggung bagian depan dan dengan layar di sisi atas. Sesajen ini sebenarnya merupakan perlambang antara harapan dan rasa syukur. Dari berbagai ragam ruwatan yang dilakukan orang Jawa tampak sekali pusaran tradisi pada pembebasan sukerta dari mangsa Batara Kala.

             6. Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.

Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).

Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.

             7. Tirakat
Salah satu tradisi atau budaya yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.

Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya.

Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.

             8. Ziarah makam
Kebiasaan datang ke makam-makam tertentu adalah umum sekali di kalangan Islam Santri yang masih terpengaruh dengan kejawen. Hanya saja menurut Nurcholish Madjid, hal ini tidak jelas, apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme atau jawanisme. Sebab, sebelum Islam datang, agama yang ada adalah Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Dan makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha dan lain-lain. Di Jombang, makam yang paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam Jum’at beratus orang berziarah, dan pada malam Jum’at Legi jumlah itu dapat mencapai ribuan.

             9. Wayang
Wayang merupakan salah sastu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sementara pembuatan wayang dari kulit kerbau,dimulai oleh Sunan Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan wayang yang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief Candi Panataran di daerah Blitar. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan syara. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah lukisan yang menghadap (Jawa: methok) menjadi miring. Selain itu, atas saran para wali yang lain, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan yang lucu.

Menurut Endraswara seperti yang dikutip oleh Purwadi, bahwa penamaan punakawan tersebut memiliki makna filosofis. Semar dari kata bahasa Arab Simaar atau ismarun artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni ismaya, yang memiliki makna kemantapan dan keteguhan. Karena itu ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar, Nala Gareng dari kata naala qorin yang artinya memperoleh banyak teman. Seuai dengan tujuan dakwah yaitu memperbanyak teman dan sahabat dalam beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek. Dan Bagong berasal dari kata bagho yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah.

Lebih lanjut, sebagai sarana dakwah, dalam wayng terdapat lakon Jimat Kalimasada yang merupakan lambang dari dua kalimah syahadat. Cerita Jimat Kalimasada tidak ada dalam epos asli Mahabarata. Lakon tersebut yang paling sering dipentaskan oleh Sunan Kalijaga. Haparannya untuk mengajak orang-orang Jawa di pedesaan maupun di kota kaprajan daerah mana pun untuk mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk masuk agama Islam.

Masih banyak lagi nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang tidak dicantumkan dalam makalah ini, namun dari contoh di atas semoga dapat mewakili nilai-nilai budaya lokal yang lain. Keragaman budaya tersebut merupakan bukti bahwa Jawa memiliki banyak budaya lokal. Sebagian tetap bertahan keasliannya dan sebagian telah berintegrasi dengan nilai-nilai keislaman.

kebudayaan jawa dan kehidupan beragamanya


Kebudayaan Jawa dan kehidupan beragamanya


Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindu atau Budha, dan sebagian yang lain menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni (sering disebut Islam Santri) dan golongan yang menganut Islam Kejawen (sering disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam Abangan). Masyarakat Jawa yang menganut Islam Santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain, sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.

Dalam penelitiannya Clifford Geertz, seperti yang dikutip oleh Mark R. Woodwark, mengatakan bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan keratin. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.

Hasil temuan Geerstz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagaman masyarakat Jawa, khususnya masyarakat muslimnya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap keberagaman masyarakatnya. Sikap keberagaman seperti ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga di kalangan masyarakat kota, terutama di kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan Yogayakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya.

Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.

Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi kejawen adalah ‘Manunggaling Kawulo Gusti’ (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam santri dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.

Mengenai sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.

Dalam tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan istilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.

Sedangkan berkaitan dengan budaya khas yang dimiliki masyarakat yang terkait dengan kehidupan beragamanya, menurut Simuh, ada tiga karakteristik:

            1. Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

             2. Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindu-Budha lebih mempersubur kepercayaan animism dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai ornag-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.

             3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang mendapat gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animism-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.

Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.

Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.

Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.

Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.

Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.

Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.

Pengertian warisan anak zina di indonesia

A.    PENDAHULUAN
Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab dengan ayahnya. Dalam hukum fiqih, ketentuan nasab menjadi salah satu alasan untuk saling mewarisi. Anak yang tidak memiliki status yang jelas akan bermasalah dalam kewarisan. Hukum waris menduduki tempat penting dalam Islam. Al-Qur’an dan Hadits mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Fiqih sebagai hasil ijtihad para fukaha masih diperlukan terhadap hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul. Kewarisan baru terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Serta tidak mengesampingkan prinsip-prinsip hukum waris dalam Islam dan asas-asas kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.[1]
Hukum waris ialah hukum yang mengatur peralihan kepemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan. Secara umum, hukum kewarisan Islam pada dasarnya tetap berlaku di hampir atau bahkan di seluruh dunia Islam. Baik yang mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang maupun yang belum (tidak) mengaturnya dalam bentuk undang-undang.
Diantara negara Islam atau negara berpenduduk muslim yang telah mengatur hukum kewarisan Islam dalam bentuk undang-undang ialah Indonesia, Mesir, Kuwait dan Yaman Utara. Di Indonesia, hukum kewarisan Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sedangkan Mesir diatur dalam al-Qanun Nomor 77 Tahun 1943 tentang kewarisan. Adapun Kuwait dan Yaman Utara, masing-masing telah memiliki Inheritance Law Reform 1971 and Further Legislation dan Inheritance and Family Law 1976-1978.[2]


B.     Pengertian warisan anak zina
Anak zina adalah anak yang dikandung dan lahir oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara’.[3] Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang sah (kecuali dalam bentuk syubhat) meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah; dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain.[4]
Para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan. Sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan ialah enam bulan. Ini berarti jika ada anak yang lahir tiga bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.[5]
Meskipun anak zina mempunyai status hukum yang sama dengan anak li’an yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan diantara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami, sedangkan anak li’an lahir dari perempuan yang bersuami, namun tidak diakui anak tersebut oleh suaminya dan menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah  berzina   dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.[6]Untuk mengelakkan hukum menuduh zina, suami harus disumpah li’an, istri akan bebas dari hubungan zina apabila diapun menyatakan sumpah li’an. Sumpah li’an di atur dalam al-Qur’an surah an-Nuur ayat enam sampai sembilan dan harus dilakukan dihadapan hakim.
Apabila suami li’an telah selesai dilakukan, suami istri wajib diceraikan tidak boleh rujuk untuk selamanya dan anaknya tidak bernasab kepada suami, tetapi bernasab kepada ibunya. Hal ini berakibat bahwa antara ibu dan anak terjadi waris mewarisi, tetapi antara anak dan ayah tidak waris mewarisi karena terputusnya hubungan nasab setelah sumpah li’an.[7] Anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir. Ini pendapat jumhur. Dalam hal ini anak zina sama dengan anak li’an.[8] Sebagaimana hadits:[9]
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ الْحَسَنِ قَالَ ابْنُ الْمُلَاعَنَةِ مِثْلُ وَلَدِ الزِّنَا تَرِثُهُ أُمُّهُ وَوَرَثَتُهُ وَرَثَةُ أُمِّهِ
Anak seorang wanita yg terkena li'an sama dgn anak zina. Ibunya dapat mewarisinya & ahli warisnya adl ahli waris ibunya. (HR. Darimi).
Adapun hadits status nasab anak zina adalah:[10]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ عُتْبَةُ عَهِدَ إِلَى أَخِيهِ سَعْدٍ أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ مِنِّي فَاقْبِضْهُ إِلَيْكَ فَلَمَّا كَانَ عَامَ الْفَتْحِ أَخَذَهُ سَعْدٌ فَقَالَ ابْنُ أَخِي عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ فَقَامَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فَقَالَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَتَسَاوَقَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي قَدْ كَانَ عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ فَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ثُمَّ قَالَ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ احْتَجِبِي مِنْهُ لِمَا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ بِعُتْبَةَ فَمَا رَآهَا حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ (أخرجه البخاري ومسلم وأبو داود والنسائي)
Daripada Aisyah r.a katanya: ‘Utbah (Utbah bin Abi Waqqash) berpesan kepada saudaranya Saad (Saad bin Abi Waqqash r.a) : “Anak lelaki Zam’ah dengan sahayanya adalah anakku maka engkaulah ambillah dia”. Pada tahun pembukaan Makkah, Saad mengambil budak tersebut dan berkata: “dia ini anak saudaraku, dia berpesan supaya aku menjaganya (budak tersebut iaitulah Abdul Rahman bin Zam’ah)”. Kemudian berkata pula Abdun bin Zam’ah r.a: “Dia ini (Abdul Rahman) adalah saudaraku, anak sahaya bapaku, dilahirkan atas hamparannya”. Maka Nabi shalallahu 'alaihi wasallam kemudian memtuskan hukum dengan sabda baginda: “sesungguhnya dia ini adalah bagi kamuu wahai Abdun bin Zam’ah kerana anak itu milik hamparan (wanita) dan bagi penzina adalah batu (tidak mendapat apa-apa hak)” kemudian baginda bersabda pula kepada Saudah binti Zam’ah r.a (isteri baginda): “Berhijablah kamu di hadapan dia (Abdul Rahman)” dan perkara ini berlaku Nabi s.a.w melihat adanya persamaan (Abdul Rahman) dengan ‘Utbah, maka Saudah tidak pernah berjumpa dengannya sehingga dia wafat. (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai).
Hadits diatas menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan dari hasil zina, maka jalur nasabnya dihubungkan dengan pihak perempuan. Dari uraian-uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa  anak zina tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, akan tetapi mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya saja.[11]
Mazhab empat sepakat bahwa anak zina sama hukumnya dengan anak hasil mula’anah dalam kaitannya dengan masalah hak waris mewarisi antara dirinya dengan ayahnya. Syi’ah Imamiyah mengatakan, tidak ada hak waris mewarisi antara anak zina dengan ibu zinanya, sebagaimana halnya dengan dia dan ayah zinanya. Sebab, faktor penyebab dari keduanya adalah sama, yaitu perzinaan.[12]Akan tetapi jika anak li’an, menurut Syi’ah Imamiyyah masih dapat memperoleh warisan dari ibunya, karena menurut mereka boleh jadi pengakuan salah satu dari ayah atau ibunya adalah bohong, sehingga tindak kriminal dalam hal ini pengakuan bohong menjadi penyebab peniadaan hubungan nasab.[13]
Ada pendapat lain yang dikemukakan sebagian ulama mazhab Hambali, termasuk Ibnu Taimiyah, yang mengatakan bahwa anak zina apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan jelas diakuinya pula berasal dari hubungan zina, tetapi ibunya tidak dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau tidak dalam ‘iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi ayahnya, dan terjadi hubungan waris mewarisi juga. Berbeda halnya apabila ibunya dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau sedang menjalani ‘iddah dari suami lain. Maka anak yang dilahirkan adalah anak sah dari bekas suami.[14]
C.    Teks-teks dan Kandungan Hukum Hadits Warisan Anak Zina
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " لَامُسَاعَاةَ فِي الْاِسْلَامِ, مَنْ سَاعَى فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ أَلْحَقْتُهُ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِرِشْدَةٍ فَلَا يَرِثُ وَلَايُوْرَثُ(رَوَاهُ أحْمَد وأبو داود)
Dan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallambersabda, “Tidak ada perzinaan dalam islam, barang siapa berzina dalam masa Jahiliyah maka kuhubungkan dia dengan ‘ashabahnya, dan barangsiapa mengakui seorang anak tanpa bukti maka anak tersebut tidak dapat menjadi hak warisnya dan dia pun tidak dapat dijadikan hak waris bagi anak tersebut”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

وَعَنْ عَمْرِوبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ حَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " أَنَّهُ جَعَلَ مِيْرَاثَ ابْنِ الْمُلَاعَنَةِ لِأُمِّهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بَعْدِهَا ( رواه الترمذي)

        Dan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallambersabda, “Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan merdeka atau hamba sahaya, maka anaknya itu adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi”. (HR. Tirmidzi).
Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa anak dari perempuan yang muala’anah (perempuan yang dilaknat oleh suaminya karena dituduh  berzina) itu tidak dapat menjadi ahli waris dari laki-laki yang melaknat maupun kerabatnya. Sebaliknya, mereka itu pun tidak dapat mewarisi dari anak yang ibunya dilaknat itu. Hukumnya sama dengan hukum yang berlaku bagi anak zina. Ini sudah menjadi ijma’. Warisannya jatuh ke tangan ibunya dan kerabat dari ibunya. Sedang ashabahnya adalah ashabah ibunya.[15]
Terdapat sandaran jumhur ulama dalam menetapkan terputusnya pertalian anak zina dan anak li’an dengan bapaknya dan sekaligus mereka tidak boleh mewarisi bapaknya, ialah hadits:[16]
عَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلاًلاَعَنَ امْرَأَتَهُ فِى زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَافَفَرَّقَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُمَاواَلْحَقَ الْوَلَدَبِالْمَرْأَةِ  (رَوَهُ البخارى وَابودود)
“Warta dari Ibnu Umar r.a yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki me-li’an istrinya pada zaman Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallamdan mengingkari anak istri tersebut, maka Nabi Muhammad menceraikan antar keduanya dan mempertemukan nasabnya anak kepada ibunya”. (Rw. Bukhari dan Abu Dawud)
            Jelas kiranya bahwa tindakan Nabi shalallahu 'alaihi wasallammenghubungkan nasab anak li’an dengan ibunya memberikan suatu petunjuk bahwa hubungan warisan antara anak dan ibunya belum terputus, sedang nasab merupakan salah satu sebab dari sebab-sebab mempusakai. Dalam lafadz hadits yang diriwayatkan Abu Dawud diterangkan:
جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِيْراثَ ابْنِ الْملاَعَنَةِ لِاُمِّهِ وَلِوَرَثَتِهَامِنْ بَعْدِهَا
“Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallammenjadikan hak waris anak mula’anah kepada ibunya dan ahli waris ibu”.

            Anak zina dan anak li’an menurut hadits Abu Dawud tidak saja hanya boleh mewarisi kepada ibunya, tetapi juga kepada kerabat-kerabat ibunya.

D.    Kontekstualisasi Hadits Warisan Anak Zina

1.      Warisan Anak Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam 
Melalui pasal 99 Kompilasi Hukum Islam  menyatakan bahwaanak yang sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam merupakan pengembangan pasal 42 Undang-undang Tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Berdasarkan pasal 99 (a) jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi oleh orang yang menghamilinya seperti yang diatur dalam pasal 53 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam  adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan menurut pasal 186 Kompilasi Hukum Islam  hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.
2.      AntaraKompilasi Hukum Islamdan Kitab Fiqh
Seperti diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam berasal dari upaya untuk menghasilkan hukum tertulis dengan merujuk pada berbagai kitab fiqh yaitu 13 kitab fiqih. Sekalipun merujuk pada kitab-kitab fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status anak yang lahir dalam perkawinan, Kompilasi Hukum Islam tidak memberi batasan, sebagaimana fiqh. Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal enam bulan antara kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan Syafi’i  baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika kurang dari enam bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut. 
Dengan demikian jika pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur fiqh Malik dan Syafi’i, ukurannya yang enam bulan dari waktu kelahiran dihitung sesudah terjadinya persetubuhan yang dilakukan sesudah akad nikah, baru  tergolong anak sah. Sedang jika tolok ukur fiqh Abu Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika anak tersebut lahir minimal enam bulan setelah terjadinya akad nikah. Baik pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam, bertujuan antara lain untuk melindungi anak tersebut, maka tolok ukur  fiqh  Abu Hanifah lebih sejalan dengan tujuan tersebut.

3.      Test Deoxyribo Nucleic Acikahanid dan Hak Kewarisan Anak Zina
Fiqh secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu, sedang dengan bapak dan keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya indikasi bahwa ibu tersebutlah yang mengandungnya. Oleh karena itu mereka saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak,  kejelasan hubungan nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut, karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan.
Menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab) antara seorang anak dengan bapaknya melalui test DNA (Deoxyribo Nucleic Acikahanid). Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Berdasarkan paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui test DNA (Deoxyribo Nucleic Acikahanid), dan membawa konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya.
4.      Warisan Anak Zina Menurut Majelis Ulama Indonesia[17]
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya  yang dikeluarkan Sabtu 10 Maret 2012, memutuskan dan menetapkan:
Pertama: Ketentuan Hukum
1.      Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
2.      Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash.
3.      Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
4.      Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
1.      Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,  waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.      Anak hasil zina  hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3.      Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4.      Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5.      Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
a.       Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut.
b.      Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6.      Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengsahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

E.     Kesimpulan
Menurut fiqih anak zina dan anak li’an hanya bernasab kepada ibu yang mengandungnya dan saling mewarisi antara anak dengan ibunya dan kerabat dari ibunya. Menurut hukum positif di Indonesia status anak zina yang lahir setelah ibunya dinikah laki-laki penghamilnya adalah termasuk anak sah. Antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi. Walaupun bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat pendapat yang sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika dilengkapi dengan test DNA (Deoxyribo Nucleic Acikahanid) justru lebih prospektif, baik bagi status hukum anak tersebut maupun bagi kepentingan perlindungan hak-hak anak. Bahkan status dan perlindungan tersebut, juga berlaku bagi semua anak zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA (Deoxyribo Nucleic Acikahanid) membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan. Menurut keputusan Majelis Ulama Indonesia anak zina tetap bernasab kepada ibunya dan saling mewarisi. Mengenai hukuman kepada laki-laki yang telah menyebabkan kelahirannya, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir  dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
F.     Penutup
Terimakasih kepada semua yang telah membantu sehingga makalah dapat terselesaikan, khususnya kepada guru pembimmbing dan teman-teman kelompok kami. Kami memohon maaf apabila dalam makalah terdapat kata-kata yang tidak berkenan dan masih banya kekurangan. Kami harap para pembaca agar berkenan untuk memberikan kritik dan saran supaya dapat membuat makalah lebih baik. Semoga makalah yang kami buat dapat memberikan wawasan pendidikan kepada para pembaca sekalian.










DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam Dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo.
Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar. 2009. Fathul Baari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
As-Sidokare, Abu Ahmad. 2009.Hadits Sunan Ad-Darimi. Ebook. Web Hadits 9 Imam.
Az-Zuhaili, Wahhab. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Basyir, Ahmad Azhar.2001.  Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Uii Press.
Fatchurrahman. 1971. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al Ma’arif.
Hamidy, Miammal. 2001. Nailul Authar. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Kompilasi Hukum Islam. Pdf
Mahalli, Ahmad Muhjab dan Ahmad Rodli Hasbullah. 2004. Hadits Mutafaq ‘Alaih. Jakarta Timur: Prenada Media.
Mughniyah, Muhammad Jawab. 2001.  Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah. Bandung: PT. Alma’arif.
Satrio,J. 1992. Hukum Waris. Bandung: Alumni.
Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:  Prenada Media.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pdf.
Voa Islam. (2014). Fatwa Majelis Indonesia Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuannya. FromHttp://Www.VoaIslam.Com/Read/Indonesiana/2012/03/22/18307/Fatwa-Mui-Tentangkedudukan-Anak-Hasil-Zina-Dan-Perlakuan-Terhadapnya.Html, 09 Mei 2014.




[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hlm. 119-135
[2] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005), hlm. 193
[3]Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 252
[4] J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 173
[5] Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1971), hlm. 221
[6]Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan Bab IX Kedudukan Anak Pasal 44 Ayat 1
[7] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 96
[8] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:  Prenada Media, 2004), hlm. 148
[9] Abu Ahmad as-Sidokare, Hadits Sunan Ad-Darimi, (Ebook, Web Hadits 9 Imam, 2009), No. 2978
[10] Ahmad Muhjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits Mutafaq ‘Alaih Bagian Munakaha dan Muamalat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2004), hlm. 56-57
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT alma’arif, 1987), hlm. 312
[12] Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. LENTERA BASRITAMA, 2001), hml. 576
[13] Wahhab az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz X, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 489
[14] Ahmad Azhar Basyir, Loc Cit., hlm. 98
[15] Miammal Hamidy, Nailul Authar, Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), hlm. 2067-2068
[16] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 595
[17]Voa Islam, “Fatwa Majelis Indonesia”, Kedudukan Anak Zina dan Perlakuannya, Diakses dari http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentangkedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/#sthash.aO5lbLuF.dpbs, pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 13.00.