A.
PENDAHULUAN
Asal-usul anak merupakan dasar untuk
menunjukkan adanya hubungan nasab dengan ayahnya. Dalam hukum fiqih, ketentuan
nasab menjadi salah satu alasan untuk saling mewarisi. Anak yang tidak memiliki
status yang jelas akan bermasalah dalam kewarisan. Hukum waris menduduki tempat
penting dalam Islam. Al-Qur’an dan Hadits mengatur hukum waris dengan jelas dan
terperinci. Fiqih sebagai hasil ijtihad para fukaha masih diperlukan terhadap
hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul. Kewarisan baru
terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Serta tidak mengesampingkan
prinsip-prinsip hukum waris dalam Islam dan asas-asas kewarisan dalam Kompilasi
Hukum Islam.[1]
Hukum waris ialah hukum yang
mengatur peralihan kepemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan siapa saja
yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli
waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu
dilaksanakan. Secara umum, hukum kewarisan Islam pada dasarnya tetap berlaku di
hampir atau bahkan di seluruh dunia Islam. Baik yang mengatur hukum
kewarisannya dalam bentuk undang-undang maupun yang belum (tidak) mengaturnya
dalam bentuk undang-undang.
Diantara negara Islam atau negara
berpenduduk muslim yang telah mengatur hukum kewarisan Islam dalam bentuk
undang-undang ialah Indonesia, Mesir, Kuwait dan Yaman Utara. Di Indonesia,
hukum kewarisan Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sedangkan Mesir
diatur dalam al-Qanun Nomor 77 Tahun 1943 tentang kewarisan. Adapun Kuwait dan
Yaman Utara, masing-masing telah memiliki Inheritance Law Reform 1971
and Further Legislation dan Inheritance and Family Law 1976-1978.[2]
B.
Pengertian warisan anak zina
Anak zina adalah anak yang dikandung
dan lahir oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang
dibenarkan oleh syara’.[3]
Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan
kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang
sah (kecuali dalam bentuk syubhat) meskipun ia lahir dalam suatu
perkawinan yang sah; dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain,
dimana salah satu atau kedua-duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang
lain.[4]
Para ulama telah sepakat bahwa
seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak sah, kalau
anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan. Sebab
menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara
kelahiran anak dengan perkawinan ialah enam bulan. Ini berarti jika ada anak
yang lahir tiga bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak
dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.[5]
Meskipun anak zina mempunyai status
hukum yang sama dengan anak li’an yaitu sama-sama tidak sah, namun
perbedaan diantara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari
awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami, sedangkan anak li’an
lahir dari perempuan yang bersuami, namun tidak diakui anak tersebut oleh
suaminya dan menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup. Seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bila mana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat dari
perzinaan tersebut.[6]Untuk
mengelakkan hukum menuduh zina, suami harus disumpah li’an, istri akan
bebas dari hubungan zina apabila diapun menyatakan sumpah li’an. Sumpah li’an
di atur dalam al-Qur’an surah an-Nuur ayat enam sampai sembilan dan harus
dilakukan dihadapan hakim.
Apabila suami li’an telah
selesai dilakukan, suami istri wajib diceraikan tidak boleh rujuk untuk
selamanya dan anaknya tidak bernasab kepada suami, tetapi bernasab kepada
ibunya. Hal ini berakibat bahwa antara ibu dan anak terjadi waris mewarisi,
tetapi antara anak dan ayah tidak waris mewarisi karena terputusnya hubungan
nasab setelah sumpah li’an.[7]
Anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia
lahir. Ini pendapat jumhur. Dalam hal ini anak zina sama dengan anak li’an.[8]
Sebagaimana hadits:[9]
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى
عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ الْحَسَنِ قَالَ ابْنُ الْمُلَاعَنَةِ
مِثْلُ وَلَدِ الزِّنَا تَرِثُهُ أُمُّهُ وَوَرَثَتُهُ وَرَثَةُ أُمِّهِ
Anak seorang wanita yg terkena li'an sama dgn anak zina.
Ibunya dapat mewarisinya & ahli warisnya adl ahli waris ibunya. (HR. Darimi).
Adapun hadits status nasab anak zina adalah:[10]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ عُتْبَةُ عَهِدَ إِلَى أَخِيهِ سَعْدٍ أَنَّ ابْنَ
وَلِيدَةِ زَمْعَةَ مِنِّي فَاقْبِضْهُ إِلَيْكَ فَلَمَّا كَانَ عَامَ الْفَتْحِ
أَخَذَهُ سَعْدٌ فَقَالَ ابْنُ أَخِي عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ فَقَامَ عَبْدُ بْنُ
زَمْعَةَ فَقَالَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ
فَتَسَاوَقَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَعْدٌ
يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي قَدْ كَانَ عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ فَقَالَ عَبْدُ
بْنُ زَمْعَةَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ثُمَّ قَالَ لِسَوْدَةَ بِنْتِ
زَمْعَةَ احْتَجِبِي مِنْهُ لِمَا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ بِعُتْبَةَ فَمَا رَآهَا
حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ (أخرجه البخاري ومسلم وأبو داود والنسائي)
Daripada Aisyah r.a katanya: ‘Utbah (Utbah bin Abi Waqqash) berpesan kepada
saudaranya Saad (Saad bin Abi Waqqash r.a) : “Anak lelaki Zam’ah dengan
sahayanya adalah anakku maka engkaulah ambillah dia”. Pada tahun pembukaan
Makkah, Saad mengambil budak tersebut dan berkata: “dia ini anak saudaraku, dia
berpesan supaya aku menjaganya (budak tersebut iaitulah Abdul Rahman bin
Zam’ah)”. Kemudian berkata pula Abdun bin Zam’ah r.a: “Dia ini (Abdul Rahman)
adalah saudaraku, anak sahaya bapaku, dilahirkan atas hamparannya”. Maka Nabi shalallahu 'alaihi wasallam kemudian memtuskan hukum dengan sabda baginda: “sesungguhnya dia ini
adalah bagi kamuu wahai Abdun bin Zam’ah kerana anak itu milik hamparan
(wanita) dan bagi penzina adalah batu (tidak mendapat apa-apa hak)” kemudian
baginda bersabda pula kepada Saudah binti Zam’ah r.a (isteri baginda):
“Berhijablah kamu di hadapan dia (Abdul Rahman)” dan perkara ini berlaku Nabi
s.a.w melihat adanya persamaan (Abdul Rahman) dengan ‘Utbah, maka Saudah tidak
pernah berjumpa dengannya sehingga dia wafat. (Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, an-Nasai).
Hadits diatas menjelaskan bahwa anak yang
dilahirkan dari hasil zina, maka jalur nasabnya dihubungkan dengan pihak
perempuan. Dari uraian-uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan kewarisan
dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, akan tetapi mempunyai hubungan
kewarisan dengan ibunya saja.[11]
Mazhab empat sepakat bahwa anak zina
sama hukumnya dengan anak hasil mula’anah dalam kaitannya dengan masalah
hak waris mewarisi antara dirinya dengan ayahnya. Syi’ah Imamiyah mengatakan,
tidak ada hak waris mewarisi antara anak zina dengan ibu zinanya, sebagaimana
halnya dengan dia dan ayah zinanya. Sebab, faktor penyebab dari keduanya adalah
sama, yaitu perzinaan.[12]Akan tetapi jika anak li’an, menurut Syi’ah Imamiyyah masih
dapat memperoleh warisan dari ibunya, karena menurut mereka boleh jadi
pengakuan salah satu dari ayah atau ibunya adalah bohong, sehingga tindak
kriminal dalam hal ini pengakuan bohong menjadi penyebab peniadaan hubungan
nasab.[13]
Ada pendapat lain yang dikemukakan
sebagian ulama mazhab Hambali, termasuk Ibnu Taimiyah, yang mengatakan bahwa
anak zina apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan jelas diakuinya pula
berasal dari hubungan zina, tetapi ibunya tidak dalam ikatan perkawinan dengan
suami lain atau tidak dalam ‘iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi
ayahnya, dan terjadi hubungan waris mewarisi juga. Berbeda halnya apabila
ibunya dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau sedang menjalani ‘iddah
dari suami lain. Maka anak yang dilahirkan adalah anak sah dari bekas suami.[14]
C.
Teks-teks dan Kandungan Hukum Hadits Warisan Anak Zina
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " لَامُسَاعَاةَ فِي الْاِسْلَامِ, مَنْ سَاعَى فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ أَلْحَقْتُهُ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ
غَيْرِرِشْدَةٍ فَلَا يَرِثُ وَلَايُوْرَثُ(رَوَاهُ
أحْمَد وأبو
داود)
Dan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallambersabda, “Tidak ada perzinaan dalam
islam, barang siapa berzina dalam masa Jahiliyah maka kuhubungkan dia dengan
‘ashabahnya, dan barangsiapa mengakui seorang anak tanpa bukti maka anak
tersebut tidak dapat menjadi hak warisnya dan dia pun tidak dapat dijadikan hak
waris bagi anak tersebut”. (HR. Ahmad dan
Abu Dawud).
وَعَنْ
عَمْرِوبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ حَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " أَنَّهُ
جَعَلَ مِيْرَاثَ ابْنِ الْمُلَاعَنَةِ لِأُمِّهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بَعْدِهَا
( رواه الترمذي)
Dan dari ‘Amr bin
Syu’aib dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallambersabda, “Siapa saja laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan merdeka atau hamba sahaya, maka anaknya itu
adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi”. (HR. Tirmidzi).
Hadits-hadits di atas menunjukkan,
bahwa anak dari perempuan yang muala’anah (perempuan yang dilaknat oleh
suaminya karena dituduh berzina) itu
tidak dapat menjadi ahli waris dari laki-laki yang melaknat maupun kerabatnya.
Sebaliknya, mereka itu pun tidak dapat mewarisi dari anak yang ibunya dilaknat
itu. Hukumnya sama dengan hukum yang berlaku bagi anak zina. Ini sudah menjadi
ijma’. Warisannya jatuh ke tangan ibunya dan kerabat dari ibunya. Sedang ashabahnya
adalah ashabah ibunya.[15]
Terdapat sandaran jumhur ulama dalam
menetapkan terputusnya pertalian anak zina dan anak li’an dengan
bapaknya dan sekaligus mereka tidak boleh mewarisi bapaknya, ialah hadits:[16]
عَنِ
ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلاًلاَعَنَ امْرَأَتَهُ فِى زَمَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَافَفَرَّقَ
النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُمَاواَلْحَقَ الْوَلَدَبِالْمَرْأَةِ (رَوَهُ البخارى وَابودود)
“Warta dari Ibnu Umar r.a yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki
me-li’an istrinya pada zaman Nabi Muhammad shalallahu
'alaihi wasallamdan mengingkari anak istri tersebut, maka Nabi Muhammad
menceraikan antar keduanya dan mempertemukan nasabnya anak kepada ibunya”. (Rw. Bukhari dan Abu Dawud)
Jelas kiranya
bahwa tindakan Nabi shalallahu 'alaihi wasallammenghubungkan
nasab anak li’an dengan ibunya memberikan suatu petunjuk bahwa hubungan
warisan antara anak dan ibunya belum terputus, sedang nasab merupakan salah
satu sebab dari sebab-sebab mempusakai. Dalam lafadz hadits yang diriwayatkan
Abu Dawud diterangkan:
جَعَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِيْراثَ ابْنِ الْملاَعَنَةِ
لِاُمِّهِ وَلِوَرَثَتِهَامِنْ بَعْدِهَا
“Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallammenjadikan hak waris anak mula’anah kepada ibunya dan ahli waris
ibu”.
Anak zina dan anak
li’an menurut hadits Abu Dawud tidak saja hanya boleh mewarisi kepada
ibunya, tetapi juga kepada kerabat-kerabat ibunya.
D. Kontekstualisasi Hadits Warisan Anak
Zina
1.
Warisan
Anak Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam
Melalui pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwaanak yang sah adalah: (a) Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b) Hasil pembuahan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam merupakan pengembangan
pasal 42 Undang-undang Tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Berdasarkan pasal 99 (a) jelas bahwa anak zina yang
lahir setelah ibunya dinikahi oleh orang yang menghamilinya seperti yang diatur
dalam pasal 53 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang
sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar
perkawinan menurut pasal 186 Kompilasi Hukum Islam
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia
saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi
juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata
lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan
yang sah.
2. AntaraKompilasi
Hukum Islamdan Kitab Fiqh
Seperti diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam
berasal dari upaya untuk menghasilkan hukum tertulis dengan merujuk pada
berbagai kitab fiqh yaitu 13 kitab fiqih. Sekalipun merujuk pada kitab-kitab
fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status anak yang lahir dalam
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam tidak memberi batasan, sebagaimana fiqh.
Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal enam bulan antara
kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan
persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan Syafi’i
baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika kurang dari enam
bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut.
Dengan demikian jika pasal 99 (a) Kompilasi Hukum
Islam di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur fiqh Malik dan Syafi’i,
ukurannya yang enam bulan dari waktu kelahiran dihitung sesudah terjadinya
persetubuhan yang dilakukan sesudah akad nikah, baru tergolong anak sah.
Sedang jika tolok ukur fiqh Abu Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika
anak tersebut lahir minimal enam bulan setelah terjadinya akad nikah. Baik
pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99 (a) Kompilasi Hukum Islam, bertujuan antara lain
untuk melindungi anak tersebut, maka tolok ukur
fiqh Abu Hanifah lebih sejalan dengan tujuan tersebut.
3. Test Deoxyribo Nucleic Acikahanid
dan Hak Kewarisan Anak Zina
Fiqh secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat
saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu, sedang dengan bapak dan
keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh
ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya
indikasi bahwa ibu tersebutlah yang mengandungnya. Oleh karena itu mereka
saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak, kejelasan hubungan
nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut, karena tidak
ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan.
Menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan penggunaan
teknologi kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab)
antara seorang anak dengan bapaknya melalui test DNA (Deoxyribo Nucleic
Acikahanid). Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: hukum
berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Berdasarkan
paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat
ditentukan secara pasti melalui test DNA (Deoxyribo Nucleic Acikahanid),
dan membawa konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan
keluarga pihak bapaknya.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11 Tahun
2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya yang
dikeluarkan Sabtu 10 Maret 2012, memutuskan dan menetapkan:
Pertama:
Ketentuan Hukum
1.
Anak hasil zina
adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan
yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak
pidana kejahatan).
2.
Hadd adalah jenis
hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash.
3.
Ta’zir adalah
jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan
kepada ulil amri(pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
4.
Wasiat wajibah adalah
kebijakan ulil amri yang mengharuskan laki-laki yang
mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak
hasil zina sepeninggalnya.
Kedua:
Ketentuan Hukum
1.
Anak
hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah
dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.
Anak
hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
3.
Anak
hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang
mengakibatkan kelahirannya.
4.
Pezina
dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga
keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5.
Pemerintah
berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
a.
Mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut.
b.
Memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat
wajibah.
6.
Hukuman
sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengsahkan
hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya.
E.
Kesimpulan
Menurut fiqih anak zina dan anak li’an
hanya bernasab kepada ibu yang mengandungnya dan saling mewarisi antara anak
dengan ibunya dan kerabat dari ibunya. Menurut hukum positif di Indonesia
status anak zina yang lahir setelah ibunya dinikah laki-laki penghamilnya
adalah termasuk anak sah. Antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi.
Walaupun bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat pendapat yang
sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika dilengkapi dengan test DNA (Deoxyribo
Nucleic Acikahanid)
justru lebih prospektif, baik bagi status hukum anak tersebut maupun bagi
kepentingan perlindungan hak-hak anak. Bahkan status dan perlindungan tersebut,
juga berlaku bagi semua anak zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak
melakukan pernikahan, jika test DNA (Deoxyribo
Nucleic Acikahanid)
membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan. Menurut keputusan
Majelis Ulama Indonesia anak zina tetap bernasab kepada ibunya dan saling
mewarisi. Mengenai hukuman kepada laki-laki yang telah menyebabkan
kelahirannya, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir dengan mewajibkannya untuk mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
F.
Penutup
Terimakasih kepada semua yang telah
membantu sehingga makalah dapat terselesaikan, khususnya kepada guru
pembimmbing dan teman-teman kelompok kami. Kami memohon maaf apabila dalam
makalah terdapat kata-kata yang tidak berkenan dan masih banya kekurangan. Kami
harap para pembaca agar berkenan untuk memberikan kritik dan saran supaya dapat
membuat makalah lebih baik. Semoga makalah yang kami buat dapat memberikan
wawasan pendidikan kepada para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam Dan Peradilan Agama.
Jakarta: PT. Rajagrafindo.
Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar. 2009. Fathul Baari.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
As-Sidokare, Abu Ahmad. 2009.Hadits Sunan Ad-Darimi. Ebook.
Web Hadits 9 Imam.
Az-Zuhaili, Wahhab. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu.
Jakarta: Gema Insani.
Basyir, Ahmad Azhar.2001. Hukum
Waris Islam. Yogyakarta: Uii Press.
Fatchurrahman. 1971. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al Ma’arif.
Hamidy, Miammal. 2001. Nailul Authar. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.
Kompilasi Hukum Islam.
Pdf
Mahalli, Ahmad Muhjab dan Ahmad Rodli Hasbullah. 2004. Hadits
Mutafaq ‘Alaih. Jakarta Timur: Prenada Media.
Mughniyah, Muhammad Jawab. 2001.
Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah. Bandung: PT. Alma’arif.
Satrio,J. 1992. Hukum Waris. Bandung: Alumni.
Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam.
Jakarta: PT. Rajagrafindo.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam.
Jakarta: Prenada Media.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Pdf.
Voa
Islam. (2014). Fatwa Majelis Indonesia Kedudukan Anak Zina Dan Perlakuannya.
FromHttp://Www.VoaIslam.Com/Read/Indonesiana/2012/03/22/18307/Fatwa-Mui-Tentangkedudukan-Anak-Hasil-Zina-Dan-Perlakuan-Terhadapnya.Html,
09 Mei 2014.
[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hlm. 119-135
[2] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005), hlm. 193
[3]Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 252
[4] J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 173
[5] Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1971),
hlm. 221
[6]Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan Bab IX Kedudukan Anak Pasal 44 Ayat 1
[7] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 2001), hlm. 96
[8] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 148
[9] Abu Ahmad as-Sidokare, Hadits Sunan Ad-Darimi, (Ebook, Web
Hadits 9 Imam, 2009), No. 2978
[10] Ahmad Muhjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits Mutafaq
‘Alaih Bagian Munakaha dan Muamalat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2004),
hlm. 56-57
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT alma’arif, 1987),
hlm. 312
[12] Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT.
LENTERA BASRITAMA, 2001), hml. 576
[13] Wahhab az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz X,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 489
[14] Ahmad Azhar Basyir, Loc Cit., hlm. 98
[15] Miammal Hamidy, Nailul Authar, Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 2001), hlm. 2067-2068
[16] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 595
[17]Voa Islam, “Fatwa Majelis Indonesia”, Kedudukan Anak Zina dan
Perlakuannya, Diakses dari http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentangkedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/#sthash.aO5lbLuF.dpbs,
pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 13.00.