Kebudayaan Jawa dan kehidupan beragamanya
Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindu atau Budha, dan sebagian yang lain menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni (sering disebut Islam Santri) dan golongan yang menganut Islam Kejawen (sering disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam Abangan). Masyarakat Jawa yang menganut Islam Santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain, sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.
Dalam penelitiannya Clifford Geertz, seperti yang dikutip oleh Mark R. Woodwark, mengatakan bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan keratin. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.
Hasil temuan Geerstz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagaman masyarakat Jawa, khususnya masyarakat muslimnya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap keberagaman masyarakatnya. Sikap keberagaman seperti ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga di kalangan masyarakat kota, terutama di kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan Yogayakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.
Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi kejawen adalah ‘Manunggaling Kawulo Gusti’ (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam santri dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Mengenai sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.
Dalam tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan istilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.
Sedangkan berkaitan dengan budaya khas yang dimiliki masyarakat yang terkait dengan kehidupan beragamanya, menurut Simuh, ada tiga karakteristik:
1. Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
2. Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindu-Budha lebih mempersubur kepercayaan animism dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai ornag-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang mendapat gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animism-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.