menu

Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts

Norma Hukum Dalam Suatu Negara

A.    Pendahuluan
Hans nawiasky berpendapat bahwa, selain norma itu berlapi-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok, dan Norma Hukum Dalam Suatu Negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu:
1.      Kelompok I     : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),
2.      Kelompok II   : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara),
3.      Kelompok III  : Formel Gesetz (Undang-Undang ‘Formal’)
4.      Kelompok IV  : Verordnung & Autonome Satzung ( Aturan pelaksana & Aturan otonom).[1]
Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) merupakan norma hukum yang tertinggi dan merupan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara. Di dalam system norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara yang merupan norma hukum tertinggi, dan kemudian diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-Undang (Formel Gesetz)serta Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksana serta peraturan otonom lainnya.[2]
Secara berturut-turut penulis akan mencoba menerangkan apa yang dimaksudkan dalam hierarki norma hukum kelompok II  (Staatsgrundgesetz), kelompok III (Formel Gesetz), dan Kelompok IV (Verordnung & Autonome Satzung).

B.     Aturan dasar negara/aturan pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Aturan dasar negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum dibawah norma fundamental Negara. Norma-norma dari aturan dasar Negara/aturan pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.
Menurut hans nawiasky, suatu dasar Negara/aturan pokok Negara dapat dituangkan dalam suatu dokumen Negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan dalam dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah staatgrundgesetz.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubungan antara negaradengan warga negaranya, atau yang biasa kita sebut sebagai konstitusi.
Pada pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan organisasi negara, seperti apa yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih dulu ada daripada adanva pemerintahan, karena pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh karena itu, menurut Thomas Paine:
“A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government, and a government without a constitution is power without right”.
Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan.[3]
Di Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara ini tertuang dalam Batang  Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR serta hukum dasar tidak tertulis yang disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan dasar negara ini menjadi dasar bagi pembentukan undang–undang  (formell gesetz) atau aturan yang lebih rendah.

C.    Undang-undang formal (formell gesetz)
kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) adalah formell gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan undang-undang ‘formal’. Norma dasar Negara yaitu norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan norma hokum yang lebih konkrit dan rinci, serta sudah dapat lansung berlaku didalam masyarakat. Norma-norma hokum dalam undang-undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya, dengan demikian dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, bai itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu undang-undang (wet/gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena itu suatu undang-undang merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif.
Di Indonesia istilah formell gesetz atau formell wetten ini sayogjanya diartikan dengan undang-undang saja tampa menambah kata formal dibelakangnya. Oleh karena itu apabila formell gesetz diartikan undang-undang formal, hal itu tidak sesuai dengan penybutan jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang dapat diartikan secara arti luas maupun arti sempit, dalam arti luas Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat langsung setiap penduduk pada suatu daerah. Dengan demikian yang dimaksud dengan UU dalam arti luas adalah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang tinggi sampai tingkat yang rendah yang isinya mengikat setiap penduduk.
Sedangkan Undang-Undang dalam arti sempit berarti legislatif act atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Naskah hukum tertulis tersebut disebut dengan legislative act bukan executive act, karena dalam proses pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif sagat menentukan keabsahan materiel peraturan yang dimaksud.[4]


D.    Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung & autonome satzung)
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung) yang merupakan peraturan yang terletak dibawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedang peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet (undang-undang dasar) atau wet (undang-undang) kepada suatu lembaga pemerintahan/Negara. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.
Delegasi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan ialah pelimpaham kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perunang-undangan yang lebih rendah., baik pelimpahan dilakukan dengan tegas atau tindakan.
Berlainan dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan delegasi kewenagan tersebut tidak diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain itu kewenagan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat di selenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.


DAFTAR PUSTAKA
Indrati S. Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1, Yogyakarta: Kanisius.
ash Shiddiqie, Jimly.,____, Perihal Undang-Undang, [pdf], (http://www.jimlyschool.comdiakses tanggal 16 November 2014)


[1] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Hlm. 44-45
[2] Ibid., Hlm. 57-58
[3] Jimly ash shiddiqie perihal undang-undang hlm. 200
[4] Jimly ash shiddiqie perihal undang-undang hlm. 32-33

Proses Demokratisasi (Good Governance and Clean Governance) di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan dan pertanyaan mengenai kondisi dan prakondisi yang dibutuhkan telah diperdebatkan secara intensif selama beberapa abad, dan pemahaman mengenai bagaimana kondisi ekonomi, sosial dan budaya mempengaruhi kualitas demokrasi. Istilah demokrasi berasal bahasa yunani. “Demos” yang berarti rakyat dan “Kratos” pemerintah. Definisi pemerintahan oleh rakyat. Tetapi pengertian tersebut segera memunculkan sejumlah isu yang kompleks. Dapat terlihat bahwa pembicaraan mengenai demokrasi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisaikan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya, (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat dan pada waktu yang berbeda.
Banyak negara-negara telah menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya dan pembentukan demokrasi politik bagi Negara-negara tersebut ditentukan oleh kondisi yang kondusif. Sejumlah Negara telah memulai transisi menuju demokrasi dalam beberapa tahun terakhir. Model proses demokrasi menunjukkan bahwa adanya pergeseran dari pemerintah otoriter menuju pemerintah demokratis merupakan sebuah proses yang kompleks dan bersifat jangka panjang dan melibatkan sejumlah tahapan.
Indonesia telah mengalami pasang surut dalam menerapkan demokrasi. Sejak Indonesia merdeka, melalui UUD 1945 NKRI menganut sistem demokrasi, Yaitu demokrasi perwakilan (representative democracy) Indonesia pernah menerapkan sistem Demokrasi liberal (1950-1959), Demokrasi terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (Orba) (1966-1998), Demokrasi Reformasi (1998-Sekarang).
Dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia banyak terjadi penyimpangan, sehingga mengakibatkan kegagalan demokratisasi. Indonesia mengalami reformasi sebagai tonggak baru perjalanan pemerintahan Indonesia pada tahun 1998. Pada saat itulah rakyat Indonesia menuntut adanya perubahan kondisi dalam segala aspek. Dan sampai sekarangpun transisi politik Indonesia, masih merupakan suatu proses yang menghadapi sejumlah tantangan. Banyak orang harus diyakinkan bahwa demokrasi bisa memberikan keuntungan bagi mereka tidak hanya sekedar pemilu atau kebebasan berbicara. Apalagi dengan meningkatnya radikalisasi di kalangan orang, selain itu pemerintah juga harus memiliki peran dalam mewujudkan demokrasi dalam pemerintahan di Indonesia.
Masih banyaknya masalah pemerintahan seperti korupsi, tidak adanya transparasi, sistem perekrutan yang buruk dalam pengangkatan PNS. Hal-hal tersebut dapat menjadi penghambat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Oleh karena itu kami disini ingin membahas tentang bagaimana mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses demokratisasi di Indonesia ?
2.      Bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia ?
3.      Bagaimana proses penerapan Good Governance di Indonesia ?
4.       Bagaimana cara mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan bersih ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hykum Tata Negara.
2.      Untuk mengetahui proses demokratisasi di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui keberhasilan penerapan demokrasi di Indonesia.
4.      Untuk mengetahui proses penerapan Good Governance di Indonesia.
5.      Untuk mengetahui cara mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan bersih


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Demokrasi
Demokrasi menurut Joseph Schumpeter merupakam sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga Negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Dalam kalimat Schumpeter metode demokratis adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara. (George Sorensen, 1993: 14).
Demokrasi menurut C.F Strong adalah suatu sistem pemerintahan dimana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas tersebut.
Demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
Menurut Robert A. Dahl. Sebuah demokrasi idealnya memiliki : (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.

B.     Good Governance
Tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa warsa yang lalu, konsep Good Governance ini lebih dekat dipergunakan dalam Reformasi sektor publik. Menurut Saifuddin, Good Governance dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, Good Governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur Negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satupun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut.
Sejak reformasi politik 1998, peran demokrasi telah terbuka penuh. Partisipasi rakyat dalam persoalan politik berlangsung setiap saat. Indonesia pun sukses menggelar ritual pemilu dan pemilu kada di berbagai daerah. Bahkan, Indonesia menerima banyak pujian dari sejumlah lembaga internasional sebagai negara yang berhasil menjalankan demokrasi. Meski demikian, berbagai persoalan besar di negeri ini terus bermunculan. Belum tuntas kasus pengucuran dana triliunan rupiah kepada PT Bank Century, telah muncul kasus manipulasi pajak Gayus Tambunan yang melibatkan aparat penegak hukum, dan disinyalir segera terkuak kasus mafia pertambangan dan kehutanan. Belum lagi kasus dana Hambalang dan yang terbaru adalah kasus pencucian uang yang dilakukan oleh Ahmad Fathanah dalam impor daging sapi.
Kasus-kasus tersebut melengkapi banyak persoalan lain, seperti masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, pelayanan birokrasi yang tidak memuaskan, dan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah pusat dan daerah, anggota DPR dan DPRD. Berbagai persoalan tersebut menggambarkan ternyata setelah lebih 13 tahun berdemokrasi justru tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Yang menonjol saat ini, demokrasi lebih banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang buruk. Mereka tidak memiliki kompetensi yang memadai dan dapat dibanggakan. Demokrasi hanya menjadi sarana formalitas kekuasaan rezim dari waktu ke waktu, bukan sarana untuk memperbarui kontrak sosial. Demokrasi kita hanya berkualitas dalam prosedurnya, namun sangat buruk dalam substansinya. Pada akhirnya, demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi terciptanya good governance, pada kenyataannya justru mengarah pada bad governance.
Lantas, dengan kenyataan buruk yang terjadi dalam demokrasi kita, apakah demokrasi dianggap pilihan yang salah? Menurut kami, bukan demokrasinya yang salah, namun memang ada yang salah dalam cara kita berdemokrasi. Dalam demokrasi, tata pemerintahan dijalankan dengan terbuka, kompetitif, dan bebas. Namun, bagaimana cara menjalankannya akan menentukan apakah secara substansi kita sudah demokratis, atau baru sekadar secara prosedural demokratis.

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Proses Demokratisasi di Indonesia
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang berasas dari rakyat (secara langsung atau perwakilan) oleh rakyat (dilaksanakan oleh rakyat) dan untuk rakyat (segala kebijakannya dibuat atas dasar kepentingan rakyat). Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan Kratos “kekuasaan”. Dalam sebuah Negara yang menganut sistem ini, biasanya terdapat beberapa prinsip-prinsip umum. Prinsip-prinsip ini biasanya diambil dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal sebagai “Guru Demokrasi”. Prinsip tersebut ialah:
1.      Kedaulatan rakyat
2.      Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3.      Kekuasaan mayoritas
4.      Hak-hak minoritas
5.      Jaminan hak asasi manusia
6.      Pemilihan yang bebas dan jujur
7.      Persamaan di depan hokum
8.      Proses hukum yang wajar
9.      Pembatasan pemerintah secara konstitusional
10.  Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
11.  Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Di Indonesia sendiri, sistem ini berusaha untuk dilaksanakan secara sempurna selepas kejadian Reformasi 1998.  Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia sudah berlangsung selama 10 tahun lebih dan terus bertahan hingga saat ini. Anggapan beberapa orang yang berpikir bahwa demokrasi akan sangat singkat di Indonesia terbukti salah. Termasuk tanggapan Indonesia terlalu besar dan kompleks untuk melaksanakan demokrasi. Pemilihan presiden secara langsung yang sukses adalah bukti bahwa Indonesia sudah maju soal demokrasi ini.

B.     Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis.
Setiap bentuk pemerintahan pastilah memiliki ciri-ciri. Bagaimana ciri-ciri pemerintahan Demokrasi?
1.      Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan   keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2.      Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3.      Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
4.      Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Khusus di Indonesia, demokrasi didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Dan pada UUD 1945 juga disebutkan secara jelas:
Pertama: Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat). Kedua: Sistem Konstitusional. Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelas bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusional. Corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Lalu bagaimana contoh pelaksanaan Demokrasi di Indonesia? Selain berupa pemilihan Presiden secara langsung, Bangsa Indonesia sudah melaksanakan satu bentuk demokrasi sejak masa lampau, yakni berupa Musyawarah Mufakat dan Gotong Royong. Dua nilai inilah yang oleh bangsa Indonesia lakukan sejak dulu dan sangatlah kental dengan nilai-nilai demokrasi, dimana sebuah keputusan diambil berdasarkan pendapat orang banyak dan dilakukan secara bersama-sama.

Nilai-nilai demokrasi juga ada pada pancasila, yakni sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat.
2. Republik.
3. Negara berdasar atas hukum.
4. Pemerintahan yang konstitusional.
5. Sistem perwakilan.
6. Prinsip musyawarah.
7. Prinsip ketuhanan.
8. Dominasi mayoritas atau minoritas..
Demokrasi di Indonesia juga menemui beberapa masalah dalam pelaksanaannya. Mulai dari adanya konflik antar golongan (karena satu golongan tidak menerima pendapat golongan lain), hingga hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintahan yang bisa berujung pada tidak dianggapnya lagi pemerintahan yang berkuasa, hingga akhirnya pada satu titik memicu hal yang paling tidak diinginkan di Negara manapun, Kudeta.
Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan demokratisasi yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat.

C.    Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama ini ternyata masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya, masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya dictator, apakah dictator ini bersifat perorangan partai ataupun militer.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam 4 masa, yaitu :
a.       Masa Republic Indonesia I (1945-1959) yaitu masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai. Namun pada masa ini ada masalah dimana partai-partai dalam koalisi dan barisan oposisi keduanya tidak dapat berperan sebagaimana mestinya. Pemilihan umum tahun1955 juga tidak dapat membawa stabilitas yang diharapkan. Disamping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik. Oleh karena hal tersebut demokrasi yang dijalankan tidak berhasil.
b.      Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional, seperti dominasi dari presiden. Terbatasnya peranan parpol, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik.
c.       Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Pada masa ini pemilu memang berhasil diselenggarakan secara teratur dan berkesinambungan namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut, tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu untuk memenangkan pemilu. Di bidang politik dominasi presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi atau lembaga yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan. Menjelang berakhirnya orba, elit politik semakin tidak perduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugikan negara serta rakyat. Akibatnya, semakin menguatkan kelompok yang menentang Soeharto yang memuncak pada bulan Mei 1998 dan menjadi langkah awal jatuhnya presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru.
d.      Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa republic Indonesia III. Banyak langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi pada masa ini, memang benar bahwa demokratisasi adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.

D.    Good Governance and Clean Governance
            Paling tidak ada empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good and clean governance yaitu (1) good government, (2) clean government, (3) good governance, (4) clean governance. Dari empat pembagian tersebut dilihat bahwa yang menjadi perhatian adalah good (baik), clean (bersih), government (pemerintah), dan governance (penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang akan dikembangkan adalah pemerintahan yang baik dan bersih yang juga di dukung oleh penyelenggara pemerintah yang baik dan bersih.
Keinginan menjadi good and clean governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan Orde Baru pada bulan Mei 1998.  Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (KKN).

E.     Penerapan Good Governance di Indonesia
              Praktek good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) merupakan salah satu upaya yang juga bisa membantu dalam pencegahan praktek korupsi. Didukung dengan ditetapkanya Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) maka pelaksanaan good governance merupakan salah satu kunci aksi yang harus dilakukan. Pemerintah daerah berhak membuat dan melaksanakan Perda sehubungan dengan praktek-praktek good governance sehingga pelaksanaan good governance dianggap lebih mudah dan sederhana apabila dimulai dari pemerintah kabupaten atau kota daripada pemerintah pusat.
              Dalam hal upaya menciptakan pelayanan publik yang prima disadari perlu sinergisitas yang komprehensif dan maksimal guna mencapai suatu titik konstan yang memuaskan masyarakat. Keterlibatan aktif pemerintah selaku pemain utama, masyarakat, aparat penegak hukum hingga KPK sebagai trigger mechanism mutlak dibutuhkan menuju terciptanya sistem birokrasi yang berkeadilan. Menurut T. Gayus Lumbuun, dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disistematisasi oleh para ahli terkemuka dan dianut di beberapa negara, antara lain seperti di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB), di Inggris dikenal “The Principle of Natural Justice”, di Perancis dikenal “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”, di Belgia dikenal “Aglemene Rechtsbeginselen”, di Jerman dikenal “Verfassung Sprinzipien” dan di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”(AUPB).[1] Untuk mengenal asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut pendapat ahli maupun yang berkembang di Peradilan Administrasi, akan diuraikan berikut ini:
1. Menurut sistematisasi van Wijk atau Konijnenbel yang dikutip oleh Indroharto dalam bukunya berjudul “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” tahun 1994, Asas-asas umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan:
a) Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi Asas kecermatan formal dan Asas “fair play”.
b)    Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan yang meliputi Asas Pertimbangan dan Asas kepastian Hukum formal.
c)    Asas-asas Meterial mengenai isi Keputusan yang meliputi Asas kepastian hukum material, Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan, Asas persamaan, Asas kecermatan material dan Asas keseimbangan.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, maka asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasanya yang dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari:
a.       Asas Kepastian Hukum Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
b.      Asas Tertib Penyelenggaraan Negara Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
c.       Asas Kepentingan Umum Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
d.      Asas Keterbukaan Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
e.       Asas Proporsionalitas Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
f.       Asas Profesionalitas Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g.      Asas Akuntabilitas Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Akuntabilitas meliputi: keuangan (financial), administartif (administrative), dan kebijakan publik (policy decision), hukum, dan politik. 

            Aktor dalam menjalankan Governance adalah (1) government, (2) swasta, dan (3) rakyat yang memiliki posisi sejajar, memiliki kesamaan, kohesi, keseimbangan peran serta yang saling mengontrol. Dalam konsep Government, aktornya tunggal atau terfokus hanya pada birokrasi pemerintahan yang mendominasi berbagai peran dan fungsi. Dalam pelaksanaaan konsep good governance harus di imbangi juga dengan adanya pertisipasi masyarakat, prinsip yang menjamin atau menuntut masyarakat harus diberdayakan, diberikan kesempatan dan dikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses birokrasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.[2]

Indikator Partisipasi :
1.      Ada jaminan hukum dari pemerintah mengenai partisipasi masyarakat (perda).
2.      Adanya forum untuk menampung aspirasi masyarakat yang representatif, jelas, dan terbuka.
3.      Kemampuan masyarakat terlibat dalam proses pembuatan, pelaksaan, dan pengawasan keputusan.
4.      Visi dan pengembangan berdasarkan pada konsensus antara pemerintah dan masyarakat.
5.      Terdapat akses bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat.




Alat Ukur Partisipasi
Contoh: pemerintah daerah
a)      Public Hearing (pemda-masyakarat, DPRD-masyarakat, atau bersama dengan kalangan swasta).
b)      Pertemuan kelompok masyarakat (stakeholders meeting).
c)      Jajak pendapat umum.
d)     Laporan penelitian dan kajian.
e)      Diskusi publik.
f)       Electronic participation (mail box telepon, email, website).
g)      Konferensi dan pertemuan meja bundar.              
Ø  Pemerintah berfungsi pembuat kebijakan, pengendalian, dan pengawasan.
Ø  Swasta berfungsi penggerak aktifitas ekonomi.
Ø  Rakyat merupakan obyek dan subyek berperan serta dalam sektor swasta dan pemerintahan.
Jika hal diatas dapat terlaksana dengan baik, maka kemungkinan yang dapat terjadi apabila dipersiapkan secara matang, maka akan diperoleh hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerintah tidak lagi mendominasi (otoriter), diimbangi oleh peran rakyat dan
    swasta yang saling melakukan kerja sama dan pengawasan.
2. Pemerintah lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel.
3. Pemerintah tidak hanya melayani tapi juga menjadi fasilitator yang baik.
4. Sistem pemerintahan lebih demokratis, rakyat lebih berdaulat.
5. Pencapaian tujuan bernegara dan bermasyarakat akan mudah dicapai karena
    ada persamaan persepsi, visi, dan misi.
Apabila tidak dipersiapkan secara matang, maka performance dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan tetap saja sama atau memburuk; tidak partisipatif, tidak akuntabel, tidak transparan, tidak efisien dan  efektif, lamban, a-demokratis, penuh KKN, tidak ada kontrol, dan lain-lain.



BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pada dasarnya konsep good governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara lembaga-lembaga Negara baik ditingkat pusat maupun daerah, sector swasta, dan masyarakat madani (civil society).
Pada satu sisi, konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak dapat dicapai tanpa melawan korupsi. Hal ini memerlukan satu serangkaian inisiatif, sarana dan institusi, dan hal ini tidak akan dapat dicapai kecuali aturan hukum, peradilan, dan pada kesamaan dalam proses-proses peradilan. Sistem pemerintahan yang demokratis dan bersih akan terwujud dengan perubahan sikap dari seluruh strata masyarakat untuk tidak mentolerir korupsi.
Cara untuk menumbuhkan etos good governance sebaiknya dimulai dari individu penyelenggara Negara (pemerintah). Pemerintah disini tidak hanya diterjemahkan sebagai eksekutif saja, tetapi harus dilihat dari pengertian yang lebih luas yaitu semua pihak yang memperoleh amanah dari rakyat seperti legislatif, yudikatif, dan bahkan termasuk kalangan pengajar di perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Machmud. 1984. “Demokrasi, Undang-undang dan Peran Raakyat”,dalam Prisma No.8 LP3ES. Jakarta.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta ; Gramedia Pustaka tama.
Deliear Noer. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali, Jakarta, cet. 1, halaman 207
Hadiwinata, Bob Sugeng; Schuck, Christoph. 2010. DEMOKRASI DI INDONESIA : Teori dan praktik. Yogyakarta ; Graha Ilmu.
Hetifah Sj. Sumarto. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia.
Miftah, Thoha. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta ; Penerbit Raja Grafindo Persada.
Sorensen, George. 1993. Demokrasi dan Demokratisasi.  Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Thompson, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia.
T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baikhttp://www.kormonev.menpan.go.id.
  




[1] T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik,
[2] Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik di Indonesia. 2003. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Analisis Putusan MA no.371 K/Pdt.Sus/2010

Analisis Putusan MA no.371 K/Pdt.Sus/2010
A.    Identitas Perkara
Pemohon  : Pt. Kurnia Beton Lestari
Termohon : Pardomuan Limbong
Alamat : Di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang,
Alamat : Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang
Sebagai Pemohon Kasasi
Sebagai Termohon Kasasi
Dahulu Sebagai Tergugat
Dahulu Sebagai Penggugat
Kuasa Kepada:
Sugiarto, Sh.Mh. dan kawan.


Perkara yang penulis angkat dalam analisa kali ini adalah putusan 371 K/Pdt.Sus/2010 tentang perkara perdata khusus (perselisihan hubungan industrial) yang diunduh dari direktori putusan Mahkamah Agung dengan URL http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ba26b6ec54f7396b61414028bade1e98. keputusan Pengadilan Negeri Medan telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN. tanggal 23 Maret 2009.

B.     Kronologi Perkara
Pada awalnya PARDOMUAN LIMBONG melakukan gugatan terhadap PT. KURNIA BETON LESTARI, gugatan tersebut dilatar belakangi oleh adanya kecelakaan yang terjadi pada tanggal 10 Juli 2007 yang mengakibatkan tangan kanan PARDOMUAN LIMBONG putus hingga batas bahu, selain itu dia juga harus dirawat di rumah sakit semenjak 11 juli 2007 hingga 20 Oktober 2007. Selama perawatan di rumah sakit seluruh biaya yang timbul ditanggung oleh PT. KURNIA BETON LESTARI.

Setelah sembuh dan keluar dari rumah sakit, kemudian PARDOMUAN LIMBONG ingin bekerja kembali, di sinilah permasalahan dimulai. PT. KURNIA BETON LESTARI menolak keingingan tersebut dengan alasan tidak dapat memperkejakan pekerja difabel. Karena tidak dipekerjakan lagi maka PARDOMUAN LIMBONG meminta kepada PT. KURNIA BETON LESTARI untuk membayar gaji dan tunjangan Tergugat selama Penggugat mulai bekerja, mengalami kecelakaan kerja hingga Penggugat dirawat di rumah sakit serta Santunan Cacat, namun PT. KURNIA BETON LESTARI hanya menyanggupi untuk membayar santunan cacat sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah), tawaran santunan tersebut ditolak oleh PARDOMUAN LIMBONG.

Karena terjadi ketidaksepakatan tersebut maka PARDOMUAN LIMBONG melakukan negosiasi/perundingan terhadap PT. KURNIA BETON LESTARI tetapi menemui jalan buntu. PARDOMUAN LIMBONG mengirim surat kepada DISNAKER DELI SERDANG pada tanggal 13 Maret 2008 perihal keberatan untuk menyelesaikan masalah. Atas surat keberatan PARDOMUAN LIMBONG tersebut selanjutnya pada tanggal 18 Maret 2008 dan pada tanggal 25 Maret 2008 PARDOMUAN LIMBONG serta pihak PT. KURNIA BETON LESTARI  menerima panggilan dari DISNAKER DELI SERDANG guna Penyelesaian Hak Normatif dengan cara mediasi.

Selanjutnya pada tanggal 8 Mei 2008 DISNAKER DELI SERDANG mengirimkan surat kepada pihak PT. KURNIA BETON LESTARI dan PARDOMUAN LIMBONG perihal anjuran yang kesimpulannya menganjurkan kepada Tergugat tersebut untuk membayar santunan kecelakaan kerja, mempekerjakan kembali Penggugat dan membayar upah selama Penggugat tidak bekerja. Atas anjuran DISNAKER DELI SERDANG tersebut selanjutnya PT. KURNIA BETON LESTARI harus memberi jawaban paling lama 10 (sepuluh) hari, namun hingga sampai dengan sekarang jawaban dari PT. KURNIA BETON LESTARI tidak ada. Oleh karenanya PARDOMUAN LIMBONG mengajukan gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN. tanggal 23 Maret 2009 yang amarnya sebagai berikut:

Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN. tanggal 23 Maret 2009 yang amarnya sebagai berikut:
1.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2.      Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat sebagai akibat adanya PHK dan santunan cacat akibat kecelakaan kerja berupa:
·         Uang Pesangon 1 x Rp 805.000,- = Rp 805.000,-
·         Santunan Cacat 40% x 80 x Rp 805.000,- = Rp 25.760.000,-
·         Santunan karena tidak mampu bekerja selama 4 bulan = Rp 3.220.000,
Jumlah = Rp 29.785.000,- (dua puluh sembilan juta tujuh ratus delapan puluh lima ribu rupiah);
3.      Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar nihil;
4.      Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

C.    Analisa perkara
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tersebut telah dijatuhkan dengan tanpa hadirnya pihak PT. KURNIA BETON LESTARI selaku Tergugat pada tanggal 23 Maret 2009, kemudian pemberitahuan putusan tanpa hadir diterima pada tanggal 15 Juni 2009 dan terhadapnya oleh Tergugat/Pemohon Kasasi dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 25 Juni 2009 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 25 Juni 2009 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 44/Kas/PHI.G/2009/PN.Mdn. yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan, permohonan mana diikuti dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tersebut pada tanggal 07 Juli 2009; MA menjatuhkan Putusan Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. KURNIA BETON LESTARI tersebut; dan Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada Negara;

Pertimbangan MA adalah Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh PT. KURNIA BETON LESTARI dalam Pengajuan Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena :
 Putusan judex facti/Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan sudah benar dan adil yaitu tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, menimbang pekerja mengalami kecelakaan kerja dalam hubungan kerja (walaupun baru bekerja dalam masa percobaan), hal mana sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Lagi pula Pemohon/Pekerja menderita cacat tetap 100% (vide Surat Keterangan Dokter Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi tanggal 19 Desember 2007);
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, putusan judex facti/Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. KURNIA BETON LESTARI tersebut harus ditolak;

Sekalipun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Tergugat ditolak, akan tetapi oleh karena nilai gugatan di bawah Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), maka pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya dan berdasarkan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 biaya perkara dibebankan kepada Negara;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 13 Tahun2003, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

Berdasarkan kronologi dan informasi di atas maka secara yuridis bahwa MA tidak menemukan kesalahan penerapan hukum oleh pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yaitu putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN. oleh karenanya MA menolak pengajuan kasasi yang dilakukan oleh PT. KURNIA BETON LESTARI. Penyelesaian sengketa Hubungan Industrial merupakan Perkara Perdata khusus yang diatur dan terapkan dengan berbagai Undang-undang yang mengatur secara khusus, jadi tidak murni menggunakan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hal ini merujuk pada asas “Lex specialis derograt lex generali” yang artinya bahwa hal-hal yang diatur secara khusus maka mengabaikan hal-hal yang bersifat umum. Berdasarkan asas tersebut maka Putusan oleh pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yaitu putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN (judex facti) tidak salah menerapkan hukum dan menolak Permohonan Kasasi PT. KURNIA BETON LESTARI, hal ini berarti putusan oleh pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yaitu putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkrach).

Berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung dengan nomor putusan 371 K/Pdt.Sus/2010 tentang Perkara Perdata Khusus (Perselisihan Hubungan Industrial) dalam tingkat Kasasi dapat di analisis dari tiga pilar utama dalam hukum untuk mengukurnya, yaitu sisi nilai keadilan hukum, sisi nilai kegunaan atau kemanfaatan hukum dan sisi nilai kepastian hukumnya.

Keadilan Hukum :
Keadilan berhubungan dengan apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut suatu kesamaan proposional (merupakan keadilan umum, yakni mengikuti undang-undang). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung dengan nomor putusan 371 K/Pdt.Sus/2010 tentang Perkara Perdata Khusus (Perselisihan Hubungan Industrial) Makamah Agung Menolak permohonan kasasi dan menyatakan putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan keputusan yang memberikan rasa keadilan, karena PARDOMUAN LIMBONG yang telah bekerja kemudian mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan secara permanen sehingga terjadi gangguan atau hambatan dalam menjalankan pekerjaan dan menjalani kehidupan sehari-hari layak mendapatkan santunan kecacatan dan santunan karena tidak mampu bekerja selama empat bulan yang mengakibatkan kebutuhan rumah tangganya tidak dapat terpenuhi dengan baik. Dalam hal ini PT. KURNIA BETON LESTARI wajib memberikan santunan tersebut sebagai pengganti dari perubahan kemampuan karena keterbatasan yang timbul karena kecelakaan tersebut. Di samping itu pemberhentian bagi PARDOMUAN LIMBONG juga perlu diberikan haknya berupa pesangon mengingat bahwa dia akan kehilangan pekerjaan dan akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ke depan Sehingga PARDOMUAN LIMBONG membutuhkan modal dan pilihan usaha yang dapat dia jalani dengan keterbatasan tersebut dimana hal ini tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek melainkan melalui proses panjang. Lebih jauh lagi terkait dengan masalah santunan dan pesangon telah diatur oleh Undang-Undang sehingga pemberian hak santunan dan pesangon atas diri PARDOMUAN LIMBONG tersebut adalah perwujudan keadilan legal.

Manfaat :
Bahwa putusan Mahkamah Agung dengan nomor putusan 371 K/Pdt.Sus/2010 tentang Perkara Perdata Khusus (Perselisihan Hubungan Industrial) yang menguatkan putusan No. 137/G/2008/PHI.MDN Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang memutuskan pemberian Santunan Kecacatan dan Santunan tidak mampu bekerja selama satu tahun serta pesangon kepada PARDOMUAN LIMBONG sangat bermanfaat bagi dirinya yang saat ini mengalami untuk merencanakan masa depan diri dan keluarganya sehingga mereka dapat merencanakan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setidak-tidaknya jaminan pendidikan bagi anak-anaknya, di samping itu dapat digunakan sebagai modal usaha bagi mereka, sehingga mereka tidak menjadi penyandang masalah sosial di kemudian hari.

Kepastian Hukum :
Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Bahwa dalam Gugatan PARDOMUAN LIMBONG merupakan situasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Jamsostek yaitu bahwa pekerja mengalami kecelakaan kerja dalam hubungan kerja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan juga kewajiban Perusahaan memberikan pesangon bagi tenaga kerja yang diberhentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang tenaga kerja No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian bahwa penerapan hukum dalam kedua undang-undang tersebut di atas telah memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia terutama bagi PARDOMUAN LIMBONG. Undang- undang tersebut berlaku sesuai dengan peruntukannya dalam memberikan perlindungan bagi Tenaga Kerja.

Pasal 153 tentang larangan alasan pemutusan hubungan kerja yang berbunyi “ayat (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan : point (j) pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.” “ayat (2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.” Menurut hukumnya sebenarnya pemberhentian PARDOMUAN LIMBONG dari pekerjaannya adalah batal demi hukum dan PT. KURNIA BETON LESTARI wajib memperkerjakan kembali, dari uraian tersebut di atas maka sangatlah tidak adil pemberhentian PARDOMUAN LIMBONG dan merupakan perbuatan melawan hukum.