menu

KEYAKINAN MANUSIA TENTANG KEESAAN ALLAH (TUHAN)

Kalau kita menengok ke belakang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari. Orang-orang Hindu -masa lampau juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang. Begitulah seterusnya.

Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab, "Allah." Tetapi dalam saat yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, disamping ratusan berhala lainnya.

Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakui bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjuk Nya. Kata "Allah" saja dalam Al-Quran terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi katakata semacamWahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalmiat yang menafikanadanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid.

Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-'Aql menegaskan bahwa, "Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, dan Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa" sehingga tidak perlu dijelaskan.
 
Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.

Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.
 
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Apabila Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara nurani, yang mengajak Anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha mutlak.

Suara itu mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Mahaagung itu. Suara yang Anda dengarkan itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali -karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya.

Di atas telah penulis katakan bahwa hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan tentang wujud Tuhan. Ini, karena harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-Quran yang dapat dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia yang ateis. Misalnya :

"Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'’(QS Al-Jatsiyah [45]: 24)

Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas,

"Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."

Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kehabisan akal dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu.

Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258), atau Fir'aun ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya, "Siapa Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).

Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini Al-Quran, menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada fitrah, namun sayang dia telah terlambat.

"... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia. 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telahdurhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-91).

Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman, tetapi kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih lama ditangguhkan daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.

Pengerttian Takdir Dalam Bahasa Al-Qur'an


Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV, Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan, "Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,

"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber  dari-Mu (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).

Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima olehkebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknya sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah sendiri menegaskan,

"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS Al-Shaffat [37]: 96).

Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).

Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.

Takdir dalam Bahasa Al-Quran

Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, 
"Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. Menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat Al-A'la (Sabihisma),

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).

Karena itu ditegaskannya bahwa:

"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).

Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di atas:

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan atasnya, "Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumber) nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).

Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir. Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut contoh, yakni rerumputan.

"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS Sabihisma [87]: 4-53)

Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS Al-Thalaq [65]: 3)

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisikejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.

Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."

Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran "sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.

Wawasan dan Keistimewaan Al-Qur'an

Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna" merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.

Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin. 

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.

Demikian
"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."

Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi –dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga.

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831).

Contoh Surat Permohonan Pemateri Seminar atau Acara Resmi


KULIAH KERJA NYATA (KKN) II
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA
DESA PANCUR KECAMATAN MAYONG
 

No       : 03/A/KKN-UNISNU/I/2015
Hal       : Permohonan Pemateri
Lamp   : -


Kepada Yth.
Bapak Drs. M. Yasin, M.Ag
Di_Tempat



Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita masih dalam keadaan sehat wal’afiat dan dapat melakukan aktifitas tanpa suatu halangan apapun. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rosululloh Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan orang-orang yang selalu istiqomah dijalan-Nya.

Sehubungan akan diselenggarakannya acara ”Sosialisasi Psikologi Perkembangan”Maka kami bermaksud mengajukan permohonan kepada Bapak/Sdr untuk menjadi pembicara dalam acara tersebut. Mengetahui waktu pelaksanaannya, menyesuaikan dengan pemateri.

Demikian permohonan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Sdr kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.





                                                                                                                     Jepara, 15 Januari 2015

 Kordes Pancur                                                                                                        Sekretaris


Nur  Mushonif                                                                                                M. Nasikul Khalim

materi wakaf uang tunai bank syari'ah mandiri

Trobosan Baru Instrumen Wakaf Uang.
Wakaf uang tunai sudah membudaya di tengah kehidupan umat. Hampir disetiap masjid dan mushalla selalu disediakan kotak amal jariah, bahkan di beberapa restoran dan rumah makan sederhana juga disediakan kotak amal yang sama. Setiap orang dengan mudah memasukkan uang ke dalam kotak amal yang tersedia tanpa diminta saat masuk masjid atau keluar dari restoran.
Masjid-masjid yang berada di area pemukiman baru, terutama pemukiman elit, berpotensi cukup besar menghimpun dana wakaf, khususnya pada tiap hari jumat. Di wilayah perkotaan, sekali resepsi pernikahan pada umumnya menghabiskan  biaya puluhan juta. Jika setiap orang yang berhajat mempunyai komitmen menyisihkan sekian persen untuk dana wakaf, maka  setiap tahunnya di suatu kecamatan  atau kelurahan selalu ada aktivitas penghimpunan dana wakaf. 
Fatwa Majelis Ulama Indonesia  bulan Mei 2002. telah menetapkan kebolehan Wakaf Uang Tunai (Cash Wakaf/ Waqf al-Nuqud), termasuk di dalamnya  surat-surat berharga. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Dengan demikian wakaf uang tunai boleh dikatakan sebagai dana abadi umat, dan merupakan potensi ekonomi umat jangka panjang.
Menghimpun dana wakaf uang tunai tidaklah sulit. Uang satu juta rupiah bagi kalangan tertentu dengan mudah dihabiskan dalam waktu satu hari. Jika uang sebesar itu diwakafkan oleh seratus orang, nilai nominalnya cukup besar.  Ir. Muhammad Syakir Sula dalam Jurnal al-Awqaf volume 04 berandai, jika  ada satu juta muslim mewakafkan  sebesar  Rp.100.000, maka akan  terkumpul Rp 100 milyar setiap bulan dan Rp.1,2 triliyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen pertahun maka setiap bulan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp.10 milyar atau Rp. 120 milyar/tahun.
Peranan Perbankan Syari’ah dalam implementasi Wakaf Uang menurut Mulya Siregar ikut menentukan terwujudnya semua pengandaian tersebut. Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama, adalah  Bank Muamalat Indonesia, Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Mega Syari’ah, insya Allah menyusul Bank Syari’ah lainnya.
Dana wakaf uang yang dihimpun melalui LKS PWU, dijamin  aman karena Bank-bank Syari’ah tersebut  dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mulya Siregar menambahkan, SDM Bank Syari’ah yang professional, diharapkan akan mampu mengelola dana yang terhimpun secara optimal, amanah, jujur dan transparan, melalui pembiayaan ke berbagai sektor riil yang halal.  Begitu juga dengan jaringan kantor Bank Syari’ah yang tersebar luas di wilayah tanah air, dengan fasilitas yang relativ lengkap seperti tersedianya jaringan ATM, SMS Banking, Internet Banking, Phone, dan fasilitas auto debet dari rekening nasabah.
Semua fasilitas perbankan yang tersedia, memudahkan masyarakat untuk melakukan setoran sejumlah uang tunai kepada nazhir yang dituju  melalui rekening giro atau tabungan wadi’ah pada Bank Syari’ah dimaksud. Para nazhir Wakaf Uang diharuskan membuka rekening  dalam bentuk tabungan atau deposito mudharabah pada LKS PWU, dengan nisbah bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Bagi hasil akan diterima oleh Nazhir dari bank syari’ah, setelah dikurangi biaya operasional dan bagian untuk nazhir. Selanjutnya bagi hasil bersih akan disalurkan kepada pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai penerima manfaat atas wakaf uang (mauquf ‘alaih).

Perbedaan Antara Wakaf Uang dan Wakaf Tunai
Realisasi penghimpunan dana wakaf di masyarakat masih ditemukan kerancuan antara wakaf uang dan wakaf tunai. Wakaf tunai sesungguhnya adalah wakaf barang melalui uang tunai. Sebagai contoh, seorang wakif menyetorkan sejumlah uang tunai ke rekening nazhir pada salah satu lembaga keuangan yang ditunjuk, baik swasta maupun pemerintah.
Namun pada umumnya secara tradisional  wakif membayar cash kepada lembaga atau panitia pembangunan yang menangani proyek tersebut. Selanjutnya dana yang terhimpun digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan, berupa tanah lahan, bahan bangunan, buku-buku perpustakaan, Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan Wakaf Uang, berdasarkan pasal 28 UU No.41 tahun 2004, Bab kesepuluh, Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang, wakaf uang hanya dapat disetorkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang (PWU). Wakif menyetorkan sejumlah uang tunai ke rekening nazhir yang  ada pada  LKS PWU dimaksud.
Dana yang terhimpun  kemudian dikelola secara produktif melalui investasi produk-produk LKS dan instrumen keuangan syari’ah lainnya baik disektor riil maupun finansial. Hasil pengelolaannya disalurkan sesuai dengan kehendak wakif kepada pihak-pihak yang berhak memanfaatkannya sebagai mauquf ‘alaih.
Lembaga Keuangan Syari’ah  Penerima Wakaf Uang yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama 31 Juli 2008 ialah (LKS-PWU), BNI Syari’ah, Bank Syari’ah Mandiri (BSM), Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank DKI Syari’ah, dan Bank Mega Syari’ah.


Nazhir Wakaf Profesional
Dokumen wakaf yang ditulis oleh Umar radhiyallahu anhu, mengisyaratkan beberapa unsur produksi, yaitu tanah, pengelola wakaf (nazhir) dan para penggarap  lahan pertanian. Tidak diragukan lagi bahwa unsur modal merupakan sesuatu yang sangat vital dibutuhkan, sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit. Sebab bekerja dalam pertanian membutuhkan alat bajak, benih, sapi, dan lain-lain yang masuk dalam kategori modal.
Sementara Nazhir wakaf dinilai sebagai unsur dasar dari beberapa unsur kegiatan ekonomi tersebut (wakaf). Karena itu keberadaan nazhir menjadi keharusan jika ditentukan oleh wakif. Jika tidak, pengawasan wakaf ditangan maukuf ‘alaih, atau langsung oleh pemerintah. Bahkan sebahagian Ulama berpendapat bahwa bila wakif mensyaratkan agar wakafnya sama sekali tidak dikelola oleh nazhir, maka syarat ini tidak bernilai.
Keberadaan Nazhir sebagai pihak yang diberi kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Sekalipun para Ulama sepakat tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun mereka sepakat bahwa wakif harus menunjukkan nazhir wakaf baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan (berbadan hukum). Nazhir diperlukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus serta tidak diterlantarkan.
Selain persyaratan nazhir sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab Fiqh, menurut Fathurrahman Jamil, ada tiga persyaratan utama nazhir wakaf yang professional. Pertama, syarat moral, meliputi pemahaman atau ilmu tentang hukum wakaf dan ZIS baik dalam tinjauan syar’iy maupun perundang-undangan, kejujuran, kecerdasan, kesungguhan, sabar dan  tahan godaan. Kedua, syarat manajemen, meliputi leadership, visioner, professional, dan ada masa bhakti nazhir. Ketiga, syarat bisnis meliputi adanya kemauan yang keras, kesiapan dan ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.

Penutup
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai sebuah lembaga independen yang dilahirkan oleh UU No.41 Tahun 2004, selain memilki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai amanah UU, juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf, sebagai realisasi visi dan misi BWI. Sekaligus BWI merupakan wadah kerjasama nazhir atau umat pengelola aset wakaf, baik nazhir perorangan, nazhir organisasi dan nazhir berbadan hukum.
Pencanangan “Gerakan Nasional Wakaf Uang” oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara Januari 2010 yang digagas oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat, perlu terus menerus digalakkan dengan beberapa langkah.
1.      melibatkan seluruh komponen bangsa, dan para pemangku kebijakan di negri ini baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun swasta, di pusat maupun di daerah, untuk berperan aktif mendorong mobilisasi dana wakaf uang. Meningkatkan budaya beramal jariah yang telah mengakar dalam masyarakat dan menggali potensi wakaf dalam tubuh umat.
2.      melakukan sosialisasi dan pembinaan nazhir secara terus menerus melalui lembaga-lembaga pendidikan, pesantren, masjid, ormas Islam, dan badan hukum pemilik aset wakaf.
3.      kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengembangkan proyek-proyek percontohan berskala kecil yang langsung menyentuh kehidupan  ekonomi umat di tingkat masyarakat kelas menengah ke bawah.
4.      memanfaatkan dana wakaf uang seoptimal mungkin untuk membantu kelompok usaha mikro kecil menengah kebawah.

Lirik Lagu Creed – One Last Breath


pada tahun 2009 creed meluncurkan album yang berjudul one last breath, lagu ini sangat enak di dengar. Jujur saja, saat saya mendengar lagu ini saya merasa kalau hidup itu memang indah. Jangan sia sai kan hidup kita dengan hal hal yang tidak berguna, hidup cuman sekali jadi manfaatkan lah dengan sebaik sebaik nya.
Creed – One Last Breath lyrics
Please come now I think I’m falling
I’m holding on to all I think is safe
It seems I found the road to nowhere
And I’m trying to escape
I yelled back when I heard thunder
But I’m down to one last breath
And with it let me say, let me say

Hold me now
I’m six feet from the edge and I’m thinkin’
Maybe six feet
Ain’t so far down

I’m looking down now that it’s over
Reflecting on all of my mistakes
I thought I found the road to somewhere
Somewhere in His grace
I cried out, ‘Heaven save me’
But I’m down to one last breath
And with it let me say, let me say

Hold me now
I’m six feet from the edge and I’m thinkin’
Maybe six feet
Ain’t so far down

Hold me now
I’m six feet from the edge and I’m thinkin’
Maybe six feet
Ain’t so far down

I’m so far down

Sad eyes follow me
But I still believe there’s something left for me
So please come stay with me
‘Cause I still believe there’s something left for you and me,
For you and me
For you and me

Hold me now
I’m six feet from the edge and I’m thinkin’

Hold me now
I’m six feet from the edge and I’m thinkin’
Maybe six feet
Ain’t so far down

Hold me now
I’m six feet from the edge and I’m thinkin’
Maybe six feet
Ain’t so far down

Please come now I think I’m falling
I’m holding on to what I think is safe

Trik Jitu Menemukan Keyword atau Kata Kunci Paling Terpopuler di Google

Bagaimana cara mengetahui kata kunci yang paling banyak di cari atau keyword yang sedang populer di Penelusuran Google ??

 keyword Ini sangat berguna  untuk membuat keputusan akan membuat artikel berita apa, atau kata kunci apa yang akan kita gunakan nantinya, keyword yang sering dicari atau sedang trend ini harus kita ketahui apa kata kunci atau keyword yang paling banyak atau sering dicari di google, karena keyword yang tepat pada sebuah website akan menjadi faktor keberuntungan kita yang dihasilkan oleh usaha kita agar blog kita banyak dikunjungi oleh orang lain.

Sebelum kita belajar caranya, lihat juga beberapa tips blog tentang cara membuat menu navigasi dropdown  dan baca juga cara meningkatkan traffik blog.

oke langsung saja dilihat cara mencari keyword dibawah ini :
  1. Kunjungi http://www.google.com/trends/explore
  2. Setelah anda masuk, maka sekarang anda sudah bisa melihat hasil-nya, seperti kata kunci teratas dan yang sedang naik daun.Untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik silahkan lakukan pengaturan terserah sesuai keinginan anda: Seluruh Dunia, 2004 - sekarang ganti dengan 2013, 90 hari, 30, hari, atau 7 hari terakhir.
  3. Tentukan kategori di menu Semua Kategori: Bisnis, Hobi, Internet, Kecantikan, Kesehatan, Komputer, Makanan, Olahraga, Permainan, dan lain sebagainya.
  4. Setelah semua telah anda atur sesuai keinginan maka tinggal lihat hasilnya dan pilih judul (kata kunci) yang anda kehendaki.
  5. Keunikan lainya disini juga anda dapat melihat apa yang sedang populer dan paling banyak dicari pada beberapa kategori tertentu
nah itu tadi cara menemukan keyword paling populer di google, selamat mencoba dan semoga sukses ...

Pengertian dan Syarat Wasiat Wajibah - Hadits Ahkam


A.    Pendahuluan
Ketika sesorang sudah merasa dekat ajalnya, biasanya ia baru menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya dan saat itulah ia baru insaf dan mempunyai keinginan untuk berbuat kebaikan. Oleh karena itulah islam mensyariatkan wasiat sebagai wadah untuk beramal shaleh walaupun ajalnya telah dekat.
Di awal permulaan islam, islam belum mengatur masalah syariat kemudian secara bertahap melakukan perubahan, yang awalnya perempuan tidak mempunyai hak waris bahkan bisa diwarisi kemudian menggantinya dengan syariat wasiatuntuk orang tua, kerabat dekat, istri (untuk nafkah  masa iddahnya  selama satu tahun). Kemudian menggantinya yang lebih baik lagi dengan adanya ayat mawaris dimana Allah teah menentukan secara terperinci jatah warisan untuk setiap orang. Di makalah kami ini kami akan membahas tentang hadits-hadits tentang wasiat dan kontekstualisasinya dalam hukum di indonesia.
B.     Pengertian wasiat
Wasiat dalam bahasa di ambil dari ْ وَصَيْتُ الشَّيْءَ, وَصَلْتُهُ وَأَوْصَيْتُ إِلَيْهِ بِمَالٍ جَعَلْتُهُ لَهُ. (saya mewasiatkan sesuatu, saya menyampaikan kepadanya dan saya berwasiat untuknya dengan darta yang saya jadikan untuknya. Kata wasiat juga lumrah digunakan untuk menyebut sesuatu yang diwasiatkan.

Adapun wasiat dengan harta secara istilah adalah
 تَمْلِيكٌ مُضَافٌ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ بِطَرِيقِ التَّبَرُّعِ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الأَْعْيَانِ أَوْ فِي الْمَنَافِع
Kepemilikan sesuatu dengan cara tabarru’ yang disandarkan atas kematian, baik berupa benda atau manfaat.[1]

C.     Istilah-istilah wasiat dalam bahasa arab

1.  al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat
2. al-musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3. al-musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu)
4. al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
5.  wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat.[2]
D.    syarat-syarat wasiat

perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah islam adalah sbb:

i. Syarat benda yang diwasiatkan

(a) wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga).
Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
(b) wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
(c) boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
(d) boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
(e) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

Ii. Syarat pewasiat / pemberi wasiat (al-washi)

(a) akil baligh,
(b) berakal sehat
(c) atas kemauan sendiri.
(d) boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.
[3]

E.     Dalil-dalil disyariatkannya wasiat

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. 
Kata خَيْرًا bermakna harta, maka para ulama berbeda pendapat tentang berapa kadarnya. Diriwayatkan dari abi malikah dari aisyah, abi malikah berkata pada aisyah “saya ingin berwasiat”, aisyah menjawab “berapa hartamu?” abi malikah menjawab “tiga ribu” aisyah: “berapa keluargamu?” jawabnya “empat” aisyah berkata “Allah berfirman  إِنْ تَرَكَ خَيْرًا dan hartamu ini sedikit, tinggalkanlah untuk keluargamu ini lebih utama bagimu.
Aban bin ibrahim an-nakha’i pernah berkata tentang إِنْ تَرَكَ خَيْرًا bahwa khair adalah 500 sampai 1000 dirham.Sesungguhnya ada seorang lelaki ingin berwasiat tetapi dia mempunyai banyak anak dan dia meninggalkan 400 dinar, aisyah berkata “saya tak melihatnya sebagai sebuah kelebihan (fadhl)”[4]
Para ulama berbeda pendapat  tentang ketentuan untuk membedakan harta yang banyak dan sedikit Ibnu Abbas berkata “jika meninggalkan 700 dirham maka jangan berwasiat, jika meninggalkan 800 dirham berwasiatlah”. Qatadah berkata “1000 dirham”. [5]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berwasiat dengan harta, jumhur ulama yaitu mazhab hanafi, maliki, syafii, dan hanbali berpendapat bahwa wasiat tidaklah wajib. Pendapat inilah yang juga dipakai oleh asy-sya’bi, an-nakha’i, dan ats-tsauri. Mereka beristidlal bahwa kebanyakan shahabat Rasulullah saw. Tidak diriwayatkan dari mereka pernah berwasiat, dan tidak pula ada riwayat yang menentang mereka. Andaikan wajib tentu tentu ada riwayat yang jelas. Wasiat adalah suatu pemberian sebagaimana pemberian yang lain yang pemberian itu tidak wajib disaat masih hidup, maka tidak wajib seetelah mati.

Kemudian mereka berkata bahwa wasiat itu disunnahkan dengan sebagian harta bagi orang yang meninggalkan harta yang banyak, karena allah berfirman (QS. Al-Baqarah:180)
Maka dinasakhlah kewajibannya dan yang masih tetap adalah kesunnahan wasiat untuk diberikan kepada orang yang tidak mendapat warisan.[6]

F.     Hadits Dianjurkannya Berwasiat
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ibn umar (r.a), bahwa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “hak seorang muslim yang memiliki sesuatu lalu ingin berwasiat dan sudah berlalu dua malam, maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.”(muttafaq ‘alaihi).
     Allah telah bersedekah kepada orang-orang muslim di mana mereka diberikan hak untuk membelanjakan dan mewasiatkan 1/3 hartanya walaupun setelah mereka meninggal dunia, bahkan mereka diberi ganjaran pahala di atas kesediaannya berbuat demikian. [7]
Apakah wasiat mesti mempunyai saksi? Menurut sebahagian ulama mazhab syafi’i, saksi dikhususkan kepada wasiat, tetapi boleh berpegang dengan apa yang tertulis walaupun tanpa saksi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.
Menurut jumhur ulama, maksud “ditulis” dalam hadits ini adalah saksi. Dalilnya adalah firman Allah:
 wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang di antara kamu hampir mati, ketika (ia mahu) berwasiat, hendaklah wasiatnya itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang lain (yang bukan seagama) dengan kamu, jika kamu dalam pelayaran di muka bumi lalu kamu ditimpa bencana sakit yang membawa maut…” (Surah Al-Ma’idah: 106)
Ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah (s.a.w) pernah berwasiat? Pendapat yang benar menegaskan Rasulullah (s.a.w) pernah berwasiat dan ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah (s.a.w) tidak pernah  berwasiat, maka orang itu memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Rasulullah (s.a.w).
Dalam satu hadits sahih riwayat muslim dari ibn abbas bahwa Rasulullah (s.a.w) berwasiat dengan tiga perkara… dalam riwayat Imam Ahmad, Al-Nasa’i dan Ibn Sa’id dari hadits anas bahwa wasiat Rasulullah (s.a.w) ketika menjelang wafatnya adalah jagalah solat dan hamba kamu.[8]
G.      Hadits Tentang Bagian Dari Harta Yang Di Wasiatkan
َوَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ : قُلْتُ : ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari sa’ad bin abu waqqash (r.a), beliau berkata: “saya bertanya: wahai Rasulullah, saya seorang hartawan dan pewarisnya hanyalah seorang anak perempuan saya. Bolehkah saya menyedekahkan 2/3 harta saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/2 harta milik saya?” Rasulullah saw. Menjawab: “tidak boleh.” Saya bertanya: “bolehkah saya menyedekahkan 1/3?” Rasulullah saw. Menjawab: 1/3, dan itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu kaya raya lebih baik dari kamu tinggalkan mereka fakir miskin meminta-minta kepada orang lain.” (muttafaq alaihi: 986).[9]
     Ketika seseorang dibolehkan berwasiat, maka harus ditetapkan batas jumlah wasiat yang dibolehkan supaya hartanya tidak habis untuk orang lain. Selain itu, ia bertujuan agar tidak menjadikan ahli warisa terhalang dari menerima haknya, karena setiap orang memiliki hak yang sama termasuk ahli waris.
     Itulah sebabnya dalam hadits ini wasiat dibatasi hanya 1/3 dari jumlah keseluruhan harta, bahkan hadits ini menganjurkan bahwa apa yang terbaik adalah tidak sampai mengeluarkan wasiat 1/3 dari jumlah harta.
Diriwayatkan dari abu bakar as-shiddiq dan ali bin abi thalib sesungguhnya beliau berkata “saya lebih menyukai berwasiat adengan seperlima harta saya sebagaimana allah meridhai bagian tersebut untuk ghanimah”. Ibnu Qudamah berkata bahwa riwayat inilah yang merupakan mayoritas pendapat ulama salaf adan ulama bashrah. Ibnu abbas dan sebagian orang menyukai berwasiat dengan seperempat. Ishaq berkata “yang sunnah adalah seperempat, kecuali jika seseorang mengetahui hartanya tercampur dengan yang haram dan syubhat maka baginya sepertiga. Qadhi abu al-khattab dari hanabilah berkata “jika pewasiat kaya maka dianjurkan baginya sepertiga”
Sunnahnya berwasiat -menurut kesepakatan ulama- adalah jika para ahli waris adalah orang orang kaya dan harta peninggalan banyak. Adapun jika harta peninggalan sedikit sedangkan ahli waris membutuhkan, ulama hanafi dan hanabilah menjelaskan bahwa orang fakir yang mempunyai ahli waris yang membutuhkan tidak disunnahkan baginya berwasiat.
Ali bin abi thalib berkata pada seseorang yang hendak berwasiat “kamu tak meninggalkan harta banyak, kamu hanya meninggalkan harta yang sedikit maka tinggalkanlah untuk ahli warismu. Asy-sya’bi berkata ” tidak ada harta yang lebih besar pahalanya selain harta yang ditinggalkan seseorang untuk anaknya sehingga tidak membebani orang lain”. Wasiat dalam keadaan ini akan menyambung kerabat jauh tetapi meninggalkannya akan menyambung kerabat dekat, maka hal ini lebih utama. Jika harta seseorang banyak sedangkan para ahli warisnya miskin, maka yang lebih utama adalah berwasiat lebih sedikit dari sepertiga dan meninggalkan hartanya untuk ahli warisnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat itu hukumnya wajib. Diriwayatkan dari az-zuhri bahwa beliau berkata “allah menjadikan wasiat sebagian suatu hak baik dari harta yang sedikit maupun banyak. Dikatakan kepada abi mijlaz  “apakah setiap orang wajib berwasiat ?” Jawabnya “jika meninggalkan harta yang banyak (khair)”. Ibnu abu bakar berkata “wasiat itu wajib bagi kerabat yang tidak mendapat warisan”. Pendapat tentang wajibnya wasiat juga diriwayatkan dari masruq, thowus, iyas, qatadah, dan ibnu jarir. Dan mereka berhujjah dengan firman allah surat al baqarah ayat

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Dari abu umamah al-bahili (r.a), beliau berkata: “saya pernah mendengar Rasulullah (s.a.w) bersabda: “sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap orang yang berhak ke atasnya. Oleh itu, tidak sah wasiat kepada ahli waris.” (diriwayatkan oleh imam ahmad dan al- arba’ah selain al-nasa’i, dinilai hasan oleh imam ahmad dan al-tirmidhi, dinilai kuat oleh ibn khuzaimah dan ibn al-jarud).[10]
َوَرَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- , وَزَادَ فِي آخِرِهِ : ( إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اَلْوَرَثَةُ )  وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
Hadits ini turut diriwayatkan oleh al-daruquthni dari hadits ibn abbas (r.a) dan pada bahagian akhir ditambahkan: “… kecuali ahli waris bersetuju dengannya (wasiat itu).” (sanadnya hasan).
Ketika Allah menetapkan setiap bahagian ahli waris, maka orang yang hendak meninggal dunia dilarang berwasiat dengan memberikan harta warisan kepada ahli warisnya. Di sini islam datang untuk menjelaskan permasalahan ini, di mana dilarang memberikan wasiat kepada ahli waris.
1. Dilarang berwasiat kepada ahli waris menurut jumhur ulama, meskipun ada sebahagian kecil yang mengingkari pendapat ini.
2. Dibolehkan berwasiat kepada ahli waris jika mereka mengizinkan berbuat demikian. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sementara imam al-syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini.
َوَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ ; زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ )  رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari mu’adz bin jabal (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) bersabda: [11]“sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu untuk menyedekahkan 1/3 dari hartamu ketika kamu hendak meninggal dunia untuk menambahkan lagi amal kebaikanmu.” (diriwayatkan oleh al-daruquthni).
     pada awal bab ini dianjurkan untuk berwasiat, maka di sini disebutkan pula mengenai keutamaannya.
1. Disyariatkan berwasiat 1/3 dari jumlah keseluruhan harta, baik hartanya itu sedikit mahupun banyak.
2. Pembayaran hutang hendaklah didahulukan, kemudian dikeluarkan 1/3 sisa hartanya sebagai wasiat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (s.a.w): “dengan 1/3 harta kamu.” Ini karena hutang tidak termasuk harta yang berwasiat. Ini disokong oleh hadits daif dari ali di mana al-tirmidhi berkata: “inilah pegangan ulama.”
Http://www.alkhoirot.net/2012/07/wasiat-dalam-islam.html
Dalil dasar dan hukum wasiat

1. Quran surah al-baqarah 2:180
كتِبَ عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيراً الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقاً على المتقين
Artinya:

2. Qs an-nisa' 4:11
3. Qs al-maidah 5:106





Hukum mencabut wasiat

menurut khi (kompilasi hukum islam) pewasiat dapat mencabut wasiatnya dengan cara sebagai berikut:

pasal 199
(1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
(4) bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte notaris.


Wasiat menurut khi (kompilasi hukum islam)

masalah wasiat dibahas secara khusus dalam khi buku ii bab v yang detailnya dapat dilihat di sini. Ringkasannya sebagai berikut:

pasal 194
(1) orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris.
(2) wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
Pasal 196
dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapasiapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Selengkapnya...



عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن الرجل


[1]  Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[4] Imam al-thabari, tafsir al-thabari, maktabah syamilah, tafsir surat al-baqarah ayat 180
[5] Syaikh wahbah zuhaili, tafsir al-munir, tafsir surat al-baqarah ayat 180
[6] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Maktabah Syamilah, Bab وصية
[7] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 316
[8] Ibid., hal. 318
[9] [9] Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 319
Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 321
Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam (Terjemah Oleh Aminuddin Basir Dan Nur Hasanuddin), (Kuala Lumpur:Al-Hidayah Publication,2010), Jilid 3 Hal. 322