menu

transfusi darah menurut pandangan hukum islam

Syari’at islam pada dasarnya adalah ketetapan-ketetapan allah SWT yang di berikan pada nabi muhammad SAW yang menyangkut tiga aspek yaitu ahlak, akidah dan fiqh. Pada ilmu fiqh sendiri dikalangan ulama’ dan ahli hukum islam terjadi perelisihn di antara pendapat-pendapat mereka, sehingga di dalam ilmu fiqh terdapat berbagai madzhab yang berbeda.
Setiap madzhap mempunyai guru dan tokoh-tokoh yang mengembangkan nya. Berrkembangnya suatu madzhab di sebuah wilayah sngat tergantung pada banyak hal, salah satunya dari keberadaan pusat-pusat pengajaran madzhab itu sendiri.
Imam maliki adalah salah satu madzhab yang akan kami bahas pada makalah kali ini. Imam malki merupakan seorang ahli dalam bidang hadist dan dalam menentukan hukum-hukum syara’ imam maliki mempunyai metode-metode tersendiri sebagai rujukannya.
Al- Muwatta’ merupakan salah satu kitab yang sering di gunakan untuk merujuk hukum-hukum islam terutama dalam bidang fikih. Al-Muwata’ merupakan salah sati kitab yang paling momental pada abad pertama setelah generasi tabi’in.
Bahkan imam syafi’i pernah mengatakan bahwasanya di dunia ini tidak ada kitab yang paling sahhih setelah al-qur’an kecuali kiatab ini. Untuk mengetahui bagaimana lebih jelasnya mengenai kitab ini dan pengarangnya untuk itu saya disini mencoba untuk membahasnya.

B.       Biografi Imam Malikili
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah Negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M) dan meninggal tahun 179 H (789 M). Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al- Asybahi al- ‘Arabiy al- Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari kabilah al- Yamaniyyah. Awalnya, salah seorang kakeknya datang ke Madinah setelah Rasulullah SAW wafat. Kakeknya, Abu Amir, adalah seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi selain Perang Badar. Kakeknya termasuk golongan Tabi’in yang banyak meriwayatkana al-Hadist dari Umar bin Khathab, ‘Utsman bin Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok ‘Ulama termuka dalam bidang ilmu Hadits dan fiqh.
Pada masa Imam Malik dilahirkan, pemerintahan Islam ada di tangan kekuasaan Kepala Negara Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umayyah yang ketujuh. Kemudian, setelah beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana-mana, pada masa ini pula penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum Muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan Madzhab Maliki.
Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, diantara para tabi’in, para cerdik pandai dan para ahli hukum agama. Guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman ibnu Hurmuz, beliau dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil, beliau membaca Al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajaripula tentang Sunnah dan selanjutnya setelah dewasa belia belajar kepada para ulama dan fuqoha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semua itu.[1]
C.  Pola Pemikiran Imam Malik dalam Menetapkan Hukum Islam
Imam malik adalah seorang imam mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ‘ulama’kenamaan terutama dalam bidang ilmu al-hadits dan fiqh.
Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya dan sudah mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu, maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan utama para ahli fiqh dan al-Hadits, bahkan tidak sedikit dari kalangan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistimatis menurut sistem fiqh.[2]Para pengikut imam malik menganggap kitab imam mereka Muwatta’, sebagai karya yang otoritatif.[3]
Imam Malik termasuk salah satu ulama yang sangat teguh dalam membela kebenaran, bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong hadits tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan Al-Qur’an surat al-Baqarah 159,yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk.
Imam Malik belajar Al-Qur’an, hadits dan fiqh dari para sahabat. Beliau sangat hati-hati dlam memberikan fatwa, dan sebelum memutuskan fatwa, terlebih dahulu beliau melakukan penelitian terutama dalam masalah hadits.[4]Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa: ‘aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu al-Hadits , selama 70 orang ulama belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran akan fatwanya”.
D.  Metode Istinbath Imam Maliki
Imam Maliki merumuskan hukum­­ islam mengacu dari sumber-sumber dibawah ini :
1.         Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam lainnya, imam maliki menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar sumber hukum paling utama dalam menetapkan hukum, beliau mendasarkannya pada “Dhahiri Nashi Al-Qu’an” secara umum. Dan tetap memperhatikan pada illatnya.
2.         Al-Sunnah
Sunnah digunakan oleh imam malik sebagai sumber pokok yang kedua hukum islam. Namun, sebagaimana imam Abu Hanifah, ia juga memberi batasan dalam penerapannya. Jika terjadi pertentangan antara makna dhahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam Hadits, maka yang didahulukan adalah makna dhahir Alqur’an. Akan tetapi jika makna yang terkandung dalam Hadits tersebut dikuatkan dengan Ijma’ Ahl Madinah, maka yang diutamakan adalah makna yang terkandung dalam al-hadits.
3.         Ijma’ Ahl Madinah
Ijma’ Ahl Madinah disini adalah ijma’ ahl madinah yang berasal dari Naql, yaitu : “kesepakatan bersama yang berasal dari hasil mereka mencontoh Rasulullah saw, bukan dari hasil ijtihad mereka sendiri”.
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ijma’ ahl madinah yang seperti itu, bisa dijadikan hujjah dan kesepakatan seluruh kaum muslim.
Dan dikalangan madzhab maliki menyatakan bahwa ijma’ ahl madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad.
4.         Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat adalah ketentuan hukum yang sudah ditetapkan atau diambil oleh para sahabat besar yang berdasarkan pada Naql.  Hal ini berarti fatwa sahabat dijadikan dasar  dalam menentukan hukum , karena mereka tidak lah mungkin memberikan fatwa kecuali atas dasar apa telah mereka fahami dari Rasulullah saw.
5.         Khabar Ahad
Imam malik mengakui dan meyakini khabar ahad atau pemberitaan dari seseorang sebagai suatu yang datang dari Rasulullah, jika keberadaannya benar-benar sudah populer dikalangan masyarakat madinah. Dan sebaliknya dari hal itu maka khabar ahad tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum.[5]
6.         Al-Istislah atau Al-Istihsan
Istilah istihsan yang dikembangkan oleh imam abu hanifah juga dikembangkan oleh imam malik dan murid-muridnya. Hanya saja mereka menamakannya dengan sebutan istislah, yang secara sederhana berarti mencari sesuatu yang lebih sesuai (maslahat). Istislah sendiri berkaitan dengan hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia, akan tetapi tidak ditujukan oleh syariah secara khusus.[6]
Menurut imam malik istihsan adalah “menentukan hukum dengan mengambil maslahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh (kulli) dengan maksud mengutamakan istidlalul mursah dari pada qiyas.Dari penertian tersebut , maka dalam istihsan lebih mementingkan masalah juz’iyyah (dalil khusus) dari pada dengan dalil kulli (dalil yang umum).
Dalam masalah ini, ibnu al-araby berkomentar bahwa istihsan bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata. Tetapi berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat dan kandungannya berbeda dari dalil yang ditinggalkan.
7.         Al-Maslahah Al-Mursalah
Maslahah mursalah adalah “mashlahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada”. Dalam kalangan hanabilah disebut dengan istislah.
Para ulama’ sepakat bahwa mashlahah mursalah dapat dijadikan sumber hukum jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a)    Mashlahah tersebut harus benar-benar mashlahah yang pasti menurut penelitian.
b)   Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang-orang tertentu yang bersifat pribadi.
c)    Mashlahah tersebut harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan nash dan ijma’.
8.         Sadd Al-Zara’i
Sadd al-zara’i yaitu menutup suatu jalan atau sebab yang menuju pada hal-hal yang dilarang. Alasan imam maliki menggunakannya sebagai salah stu dasar pengambilan hukum, karena semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu apabila dilakukan hukumnya haram.
9.         Istishhab
Yang dimaksud istishhab adalah “tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau ang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada di masa lampau”. Maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah di yakini adanya tersebut, maka hukumnya tetap seperti hukum yang pertama.[7]

E.  Karya-karya Imam Malik dan Pengikutnya
Karya-karya Imam Malik terbesar adalah:
1.      Kitab “Al- Mudawanah al- Kubra
2.      Kitab “Al- Muwaththo’” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur.
Kitab yang dinisbahkan kepada Imam Malik adalah al-Muwatho yang merupakan kitab Hadits tapi juga sekaligus kitab fiqh.[8]
Dari hasil penelitian jumlah Atsar Rasulullah, sahabat da tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah. Dan didalam pembahasannya ada dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadits dan aspek al-Fiqh.
a)        Aspek al-Hadist
Dalam aspek al-hadist ini, lebih disebabkan karena Al-Muwaththo’ banyak sekali yang mengandung al-hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah al-hadits yang diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, dan Ibrohim bin Abi Ablah dari Syam.
Adapun orang-orang yang meriwayat al-Hadist kepada Imam Malik, dengan jumlah besar seperti Ibnu Shihab al-Zuhry, Nafi’, dan Yahya ibn Sa’id.
Sedangkan sanad yang ada didalam kitab Muwaththo’, ada yang lengkap yang mursal, muttashil dan yang munqithi’, bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat”, yaitu sanad yang tidak menyebutkan  dari siapa Imam Malik menerimanya.
Dalam pengumpulannya, Imam Malik melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar.
b)        Aspek Fiqh
Yang dimaksud dengan Aspek Fiqh adalah karena kitab al-Muwaththo’ ini disusun berdasarkan sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat, Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa fasal, seperti dalam bab shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jamaah, shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada didalam kitab Muwatho’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh.
Sedangkan kitab Al-Muwaththo’ al-Kubra itu merupakan kumpulan sebuah risalah yang didalamya memuat tidak kurang dari 1.036 masalah fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh “ As’ad ibn al-Furat al-Naisabury” (salah satu muridnya dari Tunisia) selama berada di Irak.
Ketika di Irak, As’ad bertemu dengan Abu Yusuf dan Muhammad, murid Abu Hanifah. Ia banyak mendengar masalah fiqh. Kemudian pergi ke Mesir dan bertemu murid Imam Malik bernama Ibnu al-Qasim, kemudian masalah fiqh yang telah didapatnya dari murid Abu Hanifah ditanyakan kepada murid Imam Malik, la;u jawabannya menjadi sebuah kitab yang berjudul “Al-Mudawanah”.
Selanjutnya As’ad bi al-Furat pergi ke Qairawaaan, lalu bertemu dengan “Sahnuun” dengan membwa kitab al-Mudawanah dalam keadaan yang belum tersusun rapi dalam bentuk bab-bab, kemudian menyusun kembali dengan memberikan tambahan dalil-dalil dari Atsar menurut riwayat dari Ibnu Wahab dan lainnya yang termuat dalam kitab al- Mudawanah, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa kitab al-Mudawanah adalah kitab susunan “ Shanuun” menurut madzhab Imam Malik.
Dengan demikian, kitab-kitab karya ulama bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut:
a.         Al- Muwatho’ al-Shughra, Hadist koleks Imam Mlik,karya Imam alik
b.        Al- Muwatho’ al-Kubra, kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’ad bin al- Furat al-Naisabury
c.         Al- Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan Ibn al-Qasim, oleh As’ad bin Firat al- Naisabury
d.        Al- Asadiyah, hasil revisi Shanuu dari kitab al- Mudawwanah karya As’ad, oleh Shanuun menurut madzhab Imam Malik.[9]
Para sahabat dan murid Imam Maliki yang membantu mengembangkan madzhabnya
1.      Di mesir antara lain:
a.         Abu Hasan Ali bin Ziayad al- Thusiy (w. 183 H) sebagai pakar hukum islam di afrika
b.         Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Qurthubiy (w. 193 H) pembuka madzhab maliki di Andalusia
c.         Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (pakar hukum islam di Andalusiy. W.212 H)
2.      Di Hijaz dan Irak
a.         Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu Salamah al- Majishu (w. 212 H)
b.         Ahmad bin Mu’adl bin Ghailan al-‘Abdiy
c.         Abu Ishak Isma’il bin Ishak (w.282 H)

F.   Perkembangan imam maliki
Pada awalnya madzab Imam Maliki timbul dan berkembang di kota Madinah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus tempat domisili Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzab Syafi’i. Sekalipun demikian, pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai pengikut Madzab Maliki mengalami kemajuan.
Selanjutnya dimasa pemerintahan dipegang oleh Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak Madzab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran Madzab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzab Maliki ke daerah Andalusia.
Madzab Maliki sampai sekarang masih saja tetap menjadi madzab kaum muslimin hampir di seluruh negara, bahkan Madzab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.
Malik bin Anas, hidup dan mengembangkan pahamnya di madinah dimana banyak orang yang mengetahi sunnah nabi. Oleh karena itu, malik banyak mempergunakan sunnah dalam memecahkan persoalan hukum, malik sendiri menjadi pengumpul sunnah nabi. Ia menyusunnya dalam kitab hadis yang dikenal dengan nama al-muwatta’ (al-muwaththak: jejak langkah, perintis). Karena isi kitabnya itu, khalifah Harun Al-Rasyid pernah menyatakan keinginannya agar buku himpunan hadis hukum yang dususun oleh malik bin anas itu dijadikan buku resmi sumber hukum fiqh islam. Malik sendiri keberatan atas maksud khalifah itu dengan bahwa disetiap tempat telah ada ahli hukum yang mempunyai pandangan sendiri tentang sumber hukum fiqh islam, selain al-qur’an. Penolakan ini berarti pula bahwa malik bin anas menghargai keanekaragamana sumber hukum dalam pemecahan masalah situasi dan kondisi yang berbeda. Walaupun demikian, al muwatta’ dipakai juga oleh para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim Pengadlan Agama Jakarta, misalnya menggunakan al-muwatta’ sebagai sumber pengenal hukum islam dalam memutuskan perkawinan Megawati-Hasan Gamal pada tanggal 17 Juli 1972. Kasus Megawati itu ramai dibicarakan oleh para ahli hukum islam pada akhir tahun 1972 sampai awal tahun 1973.
Madzhab maliki dianut sekarang di maroko, Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait. Sumber hukum adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi, dengan ijma’ penduduk madinah, qiyas dan Masalih al-Mursalah (kemaslahatan atau kepentingan umum) sebagai metodenya atau alat menemukan hukum untuk ditetapkan pada suatu kasus yang konkret.[10]
Masa menyusun hukum islam (perkembangan hukum islam)
Lahirnya madzhab ahlul sunnah wal jama’ah
1.      Imam Hanafi
2.      Imam Maliki
3.      Imam Maliki, dibangun oleh malik ibnu Anas ibnu malik ibnu abi amer. Beliau berasal dari yaman, salah seorang kakeknya datang ke madinah, lalu berdiam disana. Kakeknya abi amer salah seorang dari sahabat Rasulullah (tahun 92 H-179 H). madzhab ini dikembangkan oleh para pelajar (ulama) yang datang dari mesir dan maghribi (maroko) dan dari andalusia. Kemudian madzhab ini berkembang pula daari bashrah, baghdad, dan khurasandengan perantaraan ulama-ulama yang belajar kepadanya. diantara peengembang-pengembang madzhab dan ulama mesir diantara lain:
a)      Abu Muhammad Ibnu Wahab Ibnu Muslim Al-Quraisy (tahun 125 H-197 H)
b)      Abu Abdullah Abdur Rahman Ibnu Al-Quraisy Utaqiy, wafat di Mesir pada tahun 191 H
c)      Asyhab Ibnu Abdul Aziz Al-Qadsiy Al-Djidiy (tahu 140 H-204 H)
d)     Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abdul Hakam Ibnu A’yun (tahun 155 H-214 H)
e)      Ashbagh Ibnu Aljajd Al-Amawy, dll[11]



G.    Kesimpulan
Imam malik adalah seorang imam mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ‘ulama’kenamaan terutama dalam bidang ilmu al-hadits dan fiqh.
Imam Malik belajar Al-Qur’an, hadits dan fiqh dari para sahabat. Beliau sangat hati-hati dlam memberikan fatwa, dan sebelum memutuskan fatwa, terlebih dahulu beliau melakukan penelitian terutama dalam masalah hadits.
Kitab al-Muwatta’ adalah merupakan salah satu karya paling monumental yang dikarang oleh Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani atau yang lebih dikenal sebagai Imam malik.
















DAFTAR PUSTAKA
Abu Ameenah Bilal Philips,Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Gramata Publishing, 2010), hlm, 121.Historis Atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi ( Bandung:  Nusamedia, 2005).
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Imperium, 2012).
Mohammad Daud  Ali,Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).
Mohd Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Muhamad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang, Jawa Timur: Darul-Hikmah, 2008).
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2011).
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010)


[1]Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2011), hlm.52
[2]Muhamad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang, Jawa Timur: Darul-Hikmah, 2008), hlm.144.
[3]Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Imperium, 2012), hlm. 88.
[4]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm, 121.
[5] Muhamad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang, Jawa Timur: Darul-Hikmah, 2008), hlm. 145-147
[6]Abu Ameenah Bilal Philips,Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis Atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi ( Bandung:  Nusamedia, 2005), hlm. 98

[7] Op.cit, hlm. 147-149
[8]A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 129.
[9]Op.cit, hlm. 152-155
[10]Mohammad Daud  Ali,Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada),hlm. 187-188.
[11]Mohd Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 79.