Syari’at islam pada
dasarnya adalah ketetapan-ketetapan allah SWT yang di berikan pada nabi
muhammad SAW yang menyangkut tiga aspek yaitu ahlak, akidah dan fiqh. Pada ilmu
fiqh sendiri dikalangan ulama’ dan ahli hukum islam terjadi perelisihn di
antara pendapat-pendapat mereka, sehingga di dalam ilmu fiqh terdapat berbagai
madzhab yang berbeda.
Setiap madzhap mempunyai
guru dan tokoh-tokoh yang mengembangkan nya. Berrkembangnya suatu madzhab di
sebuah wilayah sngat tergantung pada banyak hal, salah satunya dari keberadaan
pusat-pusat pengajaran madzhab itu sendiri.
Imam
maliki adalah salah satu madzhab yang akan kami bahas pada makalah kali ini.
Imam malki merupakan seorang ahli dalam bidang hadist dan dalam menentukan
hukum-hukum syara’ imam maliki mempunyai metode-metode tersendiri sebagai
rujukannya.
Al- Muwatta’ merupakan salah satu kitab yang sering di
gunakan untuk merujuk hukum-hukum islam terutama dalam bidang fikih. Al-Muwata’
merupakan salah sati kitab yang paling momental pada abad pertama setelah
generasi tabi’in.
Bahkan
imam syafi’i pernah mengatakan bahwasanya di dunia ini tidak ada kitab yang
paling sahhih setelah al-qur’an kecuali kiatab ini. Untuk mengetahui bagaimana
lebih jelasnya mengenai kitab ini dan pengarangnya untuk itu saya disini
mencoba untuk membahasnya.
B. Biografi Imam Malikili
Imam Maliki dilahirkan di
kota Madinah daerah Negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M) dan meninggal tahun
179 H (789 M). Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir
al- Asybahi al- ‘Arabiy al- Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik
al-Azdiyyah dari kabilah al- Yamaniyyah. Awalnya, salah seorang kakeknya datang
ke Madinah setelah Rasulullah SAW wafat. Kakeknya, Abu Amir, adalah seorang
sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi selain Perang Badar.
Kakeknya termasuk golongan Tabi’in yang banyak meriwayatkana al-Hadist dari
Umar bin Khathab, ‘Utsman bin Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau
tumbuh sebagai sosok ‘Ulama termuka dalam bidang ilmu Hadits dan fiqh.
Pada masa Imam Malik
dilahirkan, pemerintahan Islam ada di tangan kekuasaan Kepala Negara Sulaiman
bin Abdul Malik dari Bani Umayyah yang ketujuh. Kemudian, setelah beliau
menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana-mana, pada masa ini pula penyelidikan
beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum
Muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan
sebutan Madzhab Maliki.
Beliau mempelajari ilmu
pada ulama-ulama Madinah, diantara para tabi’in, para cerdik pandai dan para
ahli hukum agama. Guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman ibnu Hurmuz,
beliau dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai anak yang cerdas pikiran,
cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil, beliau membaca Al-Qur’an
dengan lancar di luar kepala dan mempelajaripula tentang Sunnah dan selanjutnya
setelah dewasa belia belajar kepada para ulama dan fuqoha. Beliau menghimpun
pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka,
mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka dan
mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semua itu.[1]
C. Pola
Pemikiran Imam Malik dalam Menetapkan Hukum Islam
Imam malik adalah seorang imam mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam
Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh
dengan cepat sebagai ‘ulama’kenamaan terutama dalam bidang ilmu al-hadits dan
fiqh.
Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah
dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya dan sudah mencapai tingkat
tinggi dalam bidang ilmu, maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga
wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan utama para ahli fiqh dan
al-Hadits, bahkan tidak sedikit dari kalangan muhadditsin yang mempelajarinya,
sebab susunannya telah diatur sistimatis menurut sistem fiqh.[2]Para
pengikut imam malik menganggap kitab imam mereka Muwatta’, sebagai karya yang
otoritatif.[3]
Imam Malik termasuk salah satu ulama yang sangat teguh dalam membela
kebenaran, bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah
diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid
memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong hadits tertentu, tetapi
tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan Al-Qur’an surat al-Baqarah 159,yang
artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka
akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk.
Imam Malik belajar Al-Qur’an, hadits dan fiqh dari para sahabat. Beliau
sangat hati-hati dlam memberikan fatwa, dan sebelum memutuskan fatwa, terlebih
dahulu beliau melakukan penelitian terutama dalam masalah hadits.[4]Hal ini
dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa: ‘aku tidak
pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu al-Hadits , selama 70 orang
ulama belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran akan fatwanya”.
D. Metode Istinbath Imam Maliki
Imam Maliki merumuskan
hukum islam mengacu dari sumber-sumber dibawah ini :
1.
Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam
lainnya, imam maliki menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar sumber hukum paling
utama dalam menetapkan hukum, beliau mendasarkannya pada “Dhahiri Nashi
Al-Qu’an” secara umum. Dan tetap memperhatikan pada illatnya.
2.
Al-Sunnah
Sunnah digunakan oleh
imam malik sebagai sumber pokok yang kedua hukum islam. Namun, sebagaimana imam
Abu Hanifah, ia juga memberi batasan dalam penerapannya. Jika terjadi
pertentangan antara makna dhahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam
Hadits, maka yang didahulukan adalah makna dhahir Alqur’an. Akan tetapi jika
makna yang terkandung dalam Hadits tersebut dikuatkan dengan Ijma’ Ahl Madinah,
maka yang diutamakan adalah makna yang terkandung dalam al-hadits.
3.
Ijma’ Ahl Madinah
Ijma’ Ahl Madinah disini
adalah ijma’ ahl madinah yang berasal dari Naql, yaitu : “kesepakatan bersama
yang berasal dari hasil mereka mencontoh Rasulullah saw, bukan dari hasil
ijtihad mereka sendiri”.
Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa ijma’ ahl madinah yang seperti itu, bisa dijadikan hujjah dan
kesepakatan seluruh kaum muslim.
Dan dikalangan madzhab
maliki menyatakan bahwa ijma’ ahl madinah lebih diutamakan dari pada khabar
ahad.
4.
Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat adalah
ketentuan hukum yang sudah ditetapkan atau diambil oleh para sahabat besar yang
berdasarkan pada Naql. Hal ini berarti
fatwa sahabat dijadikan dasar dalam
menentukan hukum , karena mereka tidak lah mungkin memberikan fatwa kecuali
atas dasar apa telah mereka fahami dari Rasulullah saw.
5.
Khabar Ahad
Imam malik mengakui dan
meyakini khabar ahad atau pemberitaan dari seseorang sebagai suatu yang datang
dari Rasulullah, jika keberadaannya benar-benar sudah populer dikalangan
masyarakat madinah. Dan sebaliknya dari hal itu maka khabar ahad tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum.[5]
6.
Al-Istislah atau Al-Istihsan
Istilah istihsan yang
dikembangkan oleh imam abu hanifah juga dikembangkan oleh imam malik dan
murid-muridnya. Hanya saja mereka menamakannya dengan sebutan istislah, yang
secara sederhana berarti mencari sesuatu yang lebih sesuai (maslahat). Istislah
sendiri berkaitan dengan hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia,
akan tetapi tidak ditujukan oleh syariah secara khusus.[6]
Menurut imam malik
istihsan adalah “menentukan hukum dengan mengambil maslahah sebagai bagian
dalil yang bersifat menyeluruh (kulli) dengan maksud mengutamakan istidlalul
mursah dari pada qiyas.Dari penertian tersebut , maka dalam istihsan lebih
mementingkan masalah juz’iyyah (dalil khusus) dari pada dengan dalil kulli
(dalil yang umum).
Dalam masalah ini, ibnu
al-araby berkomentar bahwa istihsan bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan
berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata. Tetapi berpindah dari satu
dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat dan kandungannya berbeda dari dalil
yang ditinggalkan.
7.
Al-Maslahah Al-Mursalah
Maslahah mursalah adalah
“mashlahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada”. Dalam kalangan
hanabilah disebut dengan istislah.
Para ulama’ sepakat bahwa
mashlahah mursalah dapat dijadikan sumber hukum jika memenuhi syarat sebagai
berikut :
a)
Mashlahah tersebut harus benar-benar mashlahah
yang pasti menurut penelitian.
b)
Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat
dan bukan hanya berlaku pada orang-orang tertentu yang bersifat pribadi.
c)
Mashlahah tersebut harus benar-benar yang tidak
bertentangan dengan nash dan ijma’.
8.
Sadd Al-Zara’i
Sadd al-zara’i yaitu
menutup suatu jalan atau sebab yang menuju pada hal-hal yang dilarang. Alasan
imam maliki menggunakannya sebagai salah stu dasar pengambilan hukum, karena
semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka
sesuatu itu apabila dilakukan hukumnya haram.
9.
Istishhab
Yang dimaksud istishhab
adalah “tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau ang akan datang
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada di masa
lampau”. Maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas
hilangnya sesuatu yang telah di yakini adanya tersebut, maka hukumnya tetap
seperti hukum yang pertama.[7]
E. Karya-karya Imam Malik dan Pengikutnya
Karya-karya Imam Malik
terbesar adalah:
1.
Kitab “Al-
Mudawanah al- Kubra”
2.
Kitab “Al-
Muwaththo’” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far
al-Manshur.
Kitab yang dinisbahkan
kepada Imam Malik adalah al-Muwatho yang merupakan kitab Hadits tapi juga
sekaligus kitab fiqh.[8]
Dari hasil penelitian
jumlah Atsar Rasulullah, sahabat da tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720
buah. Dan didalam pembahasannya ada dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadits
dan aspek al-Fiqh.
a)
Aspek al-Hadist
Dalam aspek al-hadist
ini, lebih disebabkan karena Al-Muwaththo’ banyak sekali yang mengandung
al-hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya
kebanyakan didapat dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah al-hadits yang
diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu:
Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany
dari Bashrah, dan Ibrohim bin Abi Ablah dari Syam.
Adapun orang-orang yang
meriwayat al-Hadist kepada Imam Malik, dengan jumlah besar seperti Ibnu Shihab
al-Zuhry, Nafi’, dan Yahya ibn Sa’id.
Sedangkan sanad yang ada
didalam kitab Muwaththo’, ada yang lengkap yang mursal, muttashil dan yang
munqithi’, bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat”, yaitu sanad yang
tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik
menerimanya.
Dalam pengumpulannya,
Imam Malik melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga
memakan waktu yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar.
b)
Aspek Fiqh
Yang dimaksud dengan
Aspek Fiqh adalah karena kitab al-Muwaththo’ ini disusun berdasarkan
sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat,
Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa
fasal, seperti dalam bab shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jamaah,
shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada didalam kitab
Muwatho’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh.
Sedangkan kitab
Al-Muwaththo’ al-Kubra itu merupakan kumpulan sebuah risalah yang didalamya
memuat tidak kurang dari 1.036 masalah fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan
oleh “ As’ad ibn al-Furat al-Naisabury” (salah satu muridnya dari Tunisia)
selama berada di Irak.
Ketika di Irak, As’ad
bertemu dengan Abu Yusuf dan Muhammad, murid Abu Hanifah. Ia banyak mendengar
masalah fiqh. Kemudian pergi ke Mesir dan bertemu murid Imam Malik bernama Ibnu
al-Qasim, kemudian masalah fiqh yang telah didapatnya dari murid Abu Hanifah
ditanyakan kepada murid Imam Malik, la;u jawabannya menjadi sebuah kitab yang
berjudul “Al-Mudawanah”.
Selanjutnya As’ad bi
al-Furat pergi ke Qairawaaan, lalu bertemu dengan “Sahnuun” dengan membwa kitab
al-Mudawanah dalam keadaan yang belum tersusun rapi dalam bentuk bab-bab,
kemudian menyusun kembali dengan memberikan tambahan dalil-dalil dari Atsar
menurut riwayat dari Ibnu Wahab dan lainnya yang termuat dalam kitab al-
Mudawanah, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa kitab al-Mudawanah adalah
kitab susunan “ Shanuun” menurut madzhab Imam Malik.
Dengan demikian,
kitab-kitab karya ulama bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut:
a.
Al-
Muwatho’ al-Shughra, Hadist koleks Imam Mlik,karya Imam alik
b.
Al-
Muwatho’ al-Kubra, kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’ad bin al- Furat
al-Naisabury
c.
Al-
Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan Ibn al-Qasim, oleh As’ad
bin Firat al- Naisabury
d.
Al-
Asadiyah, hasil revisi Shanuu dari kitab al- Mudawwanah karya As’ad, oleh
Shanuun menurut madzhab Imam Malik.[9]
Para
sahabat dan murid Imam Maliki yang membantu mengembangkan madzhabnya
1.
Di mesir antara lain:
a.
Abu Hasan Ali bin Ziayad al- Thusiy (w. 183 H)
sebagai pakar hukum islam di afrika
b.
Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Qurthubiy
(w. 193 H) pembuka madzhab maliki di Andalusia
c.
Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (pakar
hukum islam di Andalusiy. W.212 H)
2.
Di Hijaz dan Irak
a.
Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu Salamah al-
Majishu (w. 212 H)
b.
Ahmad bin Mu’adl bin Ghailan al-‘Abdiy
c.
Abu Ishak Isma’il bin Ishak (w.282 H)
F. Perkembangan imam maliki
Pada awalnya madzab Imam
Maliki timbul dan berkembang di kota Madinah sebagai tempat kelahiran yang
sekaligus tempat domisili Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan
Mesir, sekalipun di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya
madzab Syafi’i. Sekalipun demikian, pada masa pemerintahan dipegang oleh
al-Ayyubi, sebagai pengikut Madzab Maliki mengalami kemajuan.
Selanjutnya dimasa
pemerintahan dipegang oleh Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzab Maliki, yang
mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara,
sehingga memberi dampak Madzab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat
pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor
kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran
Madzab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzab Maliki ke daerah Andalusia.
Madzab Maliki sampai
sekarang masih saja tetap menjadi madzab kaum muslimin hampir di seluruh
negara, bahkan Madzab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum
muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia dan Mesir. Begitu juga di
Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun
pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira
mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.
Malik bin Anas, hidup dan
mengembangkan pahamnya di madinah dimana banyak orang yang mengetahi sunnah
nabi. Oleh karena itu, malik banyak mempergunakan sunnah dalam memecahkan
persoalan hukum, malik sendiri menjadi pengumpul sunnah nabi. Ia menyusunnya
dalam kitab hadis yang dikenal dengan nama al-muwatta’ (al-muwaththak: jejak
langkah, perintis). Karena isi kitabnya itu, khalifah Harun Al-Rasyid pernah
menyatakan keinginannya agar buku himpunan hadis hukum yang dususun oleh malik bin
anas itu dijadikan buku resmi sumber hukum fiqh islam. Malik sendiri keberatan
atas maksud khalifah itu dengan bahwa disetiap tempat telah ada ahli hukum yang
mempunyai pandangan sendiri tentang sumber hukum fiqh islam, selain al-qur’an.
Penolakan ini berarti pula bahwa malik bin anas menghargai keanekaragamana
sumber hukum dalam pemecahan masalah situasi dan kondisi yang berbeda. Walaupun
demikian, al muwatta’ dipakai juga oleh para hakim dalam menyelesaikan suatu
perkara. Hakim Pengadlan Agama Jakarta, misalnya menggunakan al-muwatta’
sebagai sumber pengenal hukum islam dalam memutuskan perkawinan Megawati-Hasan
Gamal pada tanggal 17 Juli 1972. Kasus Megawati itu ramai dibicarakan oleh para
ahli hukum islam pada akhir tahun 1972 sampai awal tahun 1973.
Madzhab maliki dianut
sekarang di maroko, Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait.
Sumber hukum adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi, dengan ijma’ penduduk madinah,
qiyas dan Masalih al-Mursalah (kemaslahatan atau kepentingan umum) sebagai metodenya
atau alat menemukan hukum untuk ditetapkan pada suatu kasus yang konkret.[10]
Masa menyusun hukum islam (perkembangan hukum islam)
Lahirnya madzhab ahlul
sunnah wal jama’ah
1.
Imam Hanafi
2.
Imam Maliki
3.
Imam Maliki, dibangun oleh malik ibnu Anas ibnu
malik ibnu abi amer. Beliau berasal dari yaman, salah seorang kakeknya datang
ke madinah, lalu berdiam disana. Kakeknya abi amer salah seorang dari sahabat
Rasulullah (tahun 92 H-179 H). madzhab ini dikembangkan oleh para pelajar
(ulama) yang datang dari mesir dan maghribi (maroko) dan dari andalusia.
Kemudian madzhab ini berkembang pula daari bashrah, baghdad, dan khurasandengan
perantaraan ulama-ulama yang belajar kepadanya. diantara peengembang-pengembang
madzhab dan ulama mesir diantara lain:
a)
Abu Muhammad Ibnu Wahab Ibnu Muslim Al-Quraisy
(tahun 125 H-197 H)
b)
Abu Abdullah Abdur Rahman Ibnu Al-Quraisy
Utaqiy, wafat di Mesir pada tahun 191 H
c)
Asyhab Ibnu Abdul Aziz Al-Qadsiy Al-Djidiy (tahu
140 H-204 H)
d)
Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abdul Hakam Ibnu
A’yun (tahun 155 H-214 H)
e) Ashbagh
Ibnu Aljajd Al-Amawy, dll[11]
G. Kesimpulan
Imam malik adalah seorang imam mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam
Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh
dengan cepat sebagai ‘ulama’kenamaan terutama dalam bidang ilmu al-hadits dan
fiqh.
Imam Malik belajar Al-Qur’an, hadits
dan fiqh dari para sahabat. Beliau sangat hati-hati dlam memberikan fatwa, dan
sebelum memutuskan fatwa, terlebih dahulu beliau melakukan penelitian terutama
dalam masalah hadits.
Kitab
al-Muwatta’ adalah merupakan salah satu karya paling monumental yang dikarang
oleh Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris
ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani atau yang lebih
dikenal sebagai Imam malik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ameenah Bilal Philips,Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Gramata Publishing, 2010), hlm, 121.Historis Atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi ( Bandung: Nusamedia, 2005).
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan
dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam,
(Yogyakarta: Imperium, 2012).
Mohammad Daud
Ali,Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).
Mohd
Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Muhamad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat
Madzab, (Jombang, Jawa Timur: Darul-Hikmah, 2008).
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: AR-Ruzz Media,
2011).
Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata
Publishing, 2010)
[1]Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2011), hlm.52
[2]Muhamad
Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang, Jawa Timur:
Darul-Hikmah, 2008), hlm.144.
[3]Joseph
Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Imperium, 2012), hlm. 88.
[4]Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hlm, 121.
[5]
Muhamad
Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang, Jawa Timur:
Darul-Hikmah, 2008), hlm. 145-147
[6]Abu
Ameenah Bilal Philips,Asal-usul dan
Perkembangan Fiqh: Analisis Historis Atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi (
Bandung: Nusamedia, 2005), hlm. 98
[7]
Op.cit, hlm. 147-149
[8]A.
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 129.
[9]Op.cit,
hlm. 152-155
[10]Mohammad
Daud Ali,Hukum Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada),hlm. 187-188.
[11]Mohd
Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hlm. 79.
No comments:
Post a Comment