PERBEDAAN DALAM METODE IJTIHAD
A. Pendahuluan
Salah satu gejala yang melemahkan kekuatan umat Islam adalah masalah perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan, saling caci, saling tuduh dan saling mengatakan bahwa saudara muslim sendiri sebagai ahli bid’ah. Bahkan sudah sampai kepada klaim bahwa saudaranya itu adalah penghuni neraka.
Padahal pasalnya sederhana, kebetulan saudara muslim itu agak berbeda tata cara shalatnya dengan dirinya.Sementara ustadz yang mengajarkan shalat mengatakan bahwa yang paling benar dan memenuhi sunnah Nabi SAW hanyalah versi yang diajarkannya. Akibatnya benturan masalah khilafiyah ini tidak terhindarkan lagi. Hal ini umumnya berangkat dari kelemahan konsep dalam memahami syariat Islam secara lengkap.
Bila kita memperhatikan sejarah para sahabat dan generasi salaf tentu kita akan menemukan bahwa mereka juga berbeda pendapat.
Dalam makalah kami ini, kami akan membahas sekelumit tentang perbedaan diantara sahabat dan tabi’in serta sebab-sebabnya.
B. Ijtihad
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yaitu al-quran dan as-sunnah. Orang yang mempu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini disebut mujtahid.
Ijtihad telah diakui sebagai salah satu sumber hukum islam. Hanya islamlah yang mengakui prinsip ini, belum pernah dilakukan oleh sistem sebelum islam dan belum ada sistem lain yang menyamai pengakuan islam akan prinsip ini.
Masalah khilafiyah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di Antara masalah khilafah tersbut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarakan akal sehat. Akan tetapi di balik masalah khilafiyah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan ummat Islam karena sikap ta’asubbiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian [ijtihad], tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa menjadi dinamis penggalian hukum islam.
As-Suyuthi dalam kitabnya Al-jami’u ash shagir, sebuah kitab yang menghimpun hadits dengan sistem alfabetik, berkenaan dengan masalah ini, ia mengungkapkan hadits:
“Dari Ibn Umar, Perbedaan Pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”
Makna hadits ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Daruqutni dan di-hasan-kan oleh Nawawi:
إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيّعوها ، وحدّ حدودا فلا تعتدوها ، وحرّم أشياء فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء - رحمة لكم غير نسيان - فلا تبحثوا عنها
“Sesugguhnya Allah SWT. telah membuat ketentuan-ketentuan maka janganlah kalian melanggarnya, Nabi mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlab kamu abaikan; telah banyak mengharamkan hanya hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kaum, bukan karena lupa, maka janganlah, kamu mencarinya.?
Ada beragam bentuk ikhtilaf di tengah umat. Tentunya tidak semua bentuk ikhlitaf diterima dan ditolelir keberadannya. Ada beberapa jenis-jenis ikhtilaf yang diharamkan dan kita wajib menghindari diri dari sifat dan sikap itu.
Pertama, apabila sudah ada nash yang bersifat qath'i dan tidak ada multi-tafsir. Bahkan para ulama telah berijma' di dalamnya. Mengingkari ijma' adalah kufur.Seperti mengatakan bahwa semua agama sama, jelas bukan bagian dari ikhtilaf yang dibenarkan, karena tidak ada satu pun ulama yang membenarkan agama selain Islam.
Kedua, ikhtilaf yang diteruskan dengan kerasa kepala, sombong, takabbur, merasa benar sendiri dan semua orang yang tidak sama pendapatnya dengan dirinya dianggap salah, bodoh, ahli bid'ah, ahli neraka, murtad, keluar dari manhaj salaf, melawan sunnah, bahkan kafir.
Ketiga, ikhtilaf yang tidak pakai ilmu tetapi mengandalkan taqlid dari seseorang tokoh, padahal jauh dari disiplin ilmu yang benar. Berbeda pendapat bahkan berdebat sementara dirinya bukan ahli di bidang itu. Ini tentu kesalahan maha fatal dan kekonyolan maha konyol.
Bila memang umat Islam yang awam boleh memilih pendapat-pendapat yang ada di dalam tiap mazhab, apakah dibolehkan bila seseorang melakukan tatabu' arrukhash, yaitu mencari dan memilih hanya pendapat-pendapat yang paling ringan dari semua mazhab? Dan apakah dibenarkan meninggalkan sebuah pendapat dari siapapun, bila dianggapnya memberatkan?
Menurut pendapat Asy-Syatibi: Seorang muqallid harus melakukan tarjih sebatas kemampuannya dan mengikuti dalil yang paling kuat. Sebab syariat dalam urusan nyata mengembalikan kepada satu perkataan, maka seorang muqallid tidak boleh memilih-milih di antara pendapat yang ada. Sebab jika ini terjadi berarti ia mengikuti pendapat sesuai dengan hawa nafsunya.
Asy-Syathibi melanjutkan, "ada beberapa hal-hal negatif akibat memilih pendapat-pendapat ringan:
1. Mengklaim bahwa perbedaan ulama adalah hujjah (alasan) untuk memilih yang boleh sehingga tersebar di antara manusia bahwa yang dilakukannya boleh padahal sebenarnya masalah itu masih diperdebatkan ulama.
2. Prinsip pembolehan ini menyeret seseorang untuk meninggalkan dalil dan mengikuti perbedaan. Padahal kita diperintahkan mengikuti dalil.
3. Memberikan kesan seakan agama Islam tidak disiplin seperti meninggalkan yang jelas dalilnya memilih sesuatu yang belum jelas dalilnya karena kebodohan dengan hukum-hukum madzhab lainnya.
4. Prinsip ini bisa menjerumuskan seseorang untuk menjauhkan seseorang dari hukum-hukum syariat secara keseluruhan, karena ia memilih yang ringanringan saja padahal beban-beban syariat secara umum itu berat.
C. Perbedaan dalam Memahami Al-Qur’an
Para ulama dengan sepakat menetapkan bahwa sumber asli yang tidak dapat ditinggalkan dalam perundang-undangan, kalau itu ada ialah qur’an. Sesudah itu sunnah Rasulullah saw. Imam-imam mujtahid manapun dengan sesungguh hati memeras tenaga dan pikirannya untuk sampai kepda apa yang ditunjukkan oleh qur’an atau oleh hadits atau oleh kedua-duanya. Sungguhpun demikian terjadi juga perbedaan pendapat antara para imam dalam memetik hukum dari sumber yang dua itu.
Bahasa Arab mempunyai beberapa keistimewaan , di antaranya:
1. Satu lafadh mempunyai dua arti atau lebih
2. Satu kata boleh dipakaikan kepada makna biasa dan boleh pula kepada makna majazi
3. Satu lafadh boleh pula dipakaikan kepada makna biasa dan boleh pula kepada makna istilah hukum agama
4. Satu jumlah (kalimat yang sudah ada artinya )mempunyai dua makna yang berbeda, disebabkan susunannya dengan kata-kata tertentu, seperti kata pengecualian dan dengan kata-kata penghubung seperti au او (atau) dan fa (maka).
Perbedaan pendapat yang disebabkan satu lafadh mempunyai dua makna atau lebih
1. Satu lafadh mempunyai dua makna, dan kedua-duanya hakiki (bukan makna kiasan). Contohnya lafadh qar’u yang tersebut dalam firman Allah menerangkan iddah wanita yang diceraikan, sedang dia masih dalam umur kedatangan darah kotor.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ (٢٢٨)
wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (QS. Al-Baqarah ayat 228)
Lafadh qar’u mempunyai dua arti haid, dan suci. Dan kedua arti itu sama terpakai dalam bahasa arab. Tentang itu tidak ada perbedaan pendapat, bahwa lafadh itu boleh dipakai antara satu dari kedua artinya dan boleh dipakai untuk kedua-duanya. Tetapi mereka berbeda pendapat mana dari kedua arti itu yang dimaksud dalam ayat tersebut.
2. Perbedaan pendapat tentang makna dari lafadh nikah dalam firman Allah :
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا (٢٢)
Dan Janganlah Kamu Kawini Wanita-Wanita Yang Telah Dikawini Oleh Ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa:22)
Artinya lafadh nikah ada dua yaitu perkawinan (akad) dan bersetubuh.
a. Abu Hanifah mengartikan nikah ayat itu dengan bersetubuh. Oleh sebab itu abu hanifah berpendapat bahwa wanita-wanita yang telah dicampuri oleh bapak dengan zina, haram bagi anak mengawininya.
b. Imam Syafii dan aliran-aliran lain berpendapat, bahwa nikah itu berarti akad (perkawinan). Maka wanita yang disetubuhi oleh bapak dengan perzinaan tidak haram dikawini oleh anaknya karena persetubuhan itu diluar perkawinan.
Perbedaan pengertian yang timbul karena hubungan kalimat dengan kalimat yang lain
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٣٣)
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,( QS. Al-Maidah:33)
Kalimat-kalimat dalam ayat itu disusun dan dirangkaikan dengan lafadh au (atau). Dalam bahasa arab au digunakan untuk memberi pilih antara dua atau lebih. Juga au digunakan untuk menentukan beberapa macam dengan mengingat keadaan yang berbeda pula.
Dari karena itu timbullah perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih tentang hukuman orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya. Apakah hukuman itu dijatuhkan menurut hukuman yang diatur oleh Allah seimbang dengan kejahatan? Berdasar itu, tidaklah dibunuh melainkan yang melakukan pembunuhan dan tidak dipotong tangan melainkan yang mengambil harta dan diusir ialah yang ringan kesalahannya dan seterusnya. Hanya mereka menghendaki agar hakim dapat memilih berdasar tinjauannya, mana-mana hukum yang tepat, mana yang dapat menumpas kekacauan dan menciptakan ketentraman.
Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadits untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, QS At-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS Al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
D. Perbedaan dalam Memahami Sunnah
Sebab sebab perbedaan itu dapat di kembalikan kepada tiga segi :
a. Perbedaan pendapat sekitar riwayat
Perbuatan sekitar riwayat itu mungkin dapat disimpulkan sebagai di bawah ini :
1. Hadits itu sampai kepada seorang imam dan tidak sampai kepada imam yang lain.
2. Haditst itu sampai kepada dua orang imam, tetapi kepada yang satu melalui saluran yang diterima menjadi alasan, sedangkan kepada imam yang lain salurannya tidak dapat diambil menjadi alasan.
3. Haditst itu sampai kepada kedua imam itu melalui satu saluran, tetapi ada imam yang memandang bahwa dari antara berita berita ( Rawi ) hadits ada orang orang yang lemah.
4. Hadits itu sampai kedua imam yang mereka sepakat bahwa pemberita hadits itu di percayai, tetapi seorang menetapkan syarat syarat beramal dengan hadits tersebut.
أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ قال قلت من هي إلا أنت قال فضحكت (اخرجه ابو داود و الترميذي)
sesungguhnya Rasulullah saw. mencium salah seorang isri beliau, lalu beliaukeluar untuk shalat tanpa wudhu terlebih dahulu. saya (Urwah) mengatakan , ” siapa isteri nabi itu jika bukan anda ?” maka aisyah tertawa (HR. Abu Dawud Dan Tirmidzi)
Imam Malik menggunakan hadits ini sebagai dasar bahwa menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini imam syafii memberi komentar, “ jika hadits tentang mencium ini nyata dan shahih maka saya pun berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu”.
Tidak sampainya suatu hadits pada seseorang akan tetapi sampai pada orang yang lain sangat mungkin terjadi pada masa dahulu dimana para shahabat sudah berpencar ke berbagai kota, akan tetapi dimasa setelah hadits dibukukan, persoalan yang terjadi bukanlah sampai atau tidaknya suatu hadits tetapi permasalahannya adalah perbedaan dalam kesahihan suatu hadits.
Umar bin khathab sebelumnya tidak mengetahui bahwa seorang istri bisa mewarisi dari diyat suaminya. Akan tetapi umar dahulu berpendapat bahwa diyat hanya diwarisi oleh aqilah (keluarga dari bapak). Hingga dhahhak bin sufyan menulis suatu khabar bahwa rasulullah memberi bagian warisan istri dari diyat suaminya. Kemudian umar meninggalkan pendapatnya dan berkata, “andai saja kau tidak mendengar khabar ini, saya pasti akan memutuskan berlawanan dengannya”.
Dan demikian juga ketika umar tidak mengetahui bagaimana memperlakukan orang majusi dalam diyat, hingga abdurrahman bin auf membawakan hadits rasulullah, “perlakukanlah orang majusi sebagaimana ahli kitab”.
b. Perbedaan pendapat dari segi perbuatan
Mengingat perbuatan Rasulullah dan hubungannya terhadap umat, dapatlah di terangkan bahwa :
1. Ada perbuatan yang khusus untuk Rasuullah, seperti sholat dhuha wajib bagi Rasulullah, dan sholat tahajjud di malam hari juga wajib bagi Rasulullah. Tetapi ada lagi perbuatan yang menjadi lapangan perdebatan paham antara para ulama, apakah perbuatan itu wajib hanya bagi Rasulullah atau meliputi seluruh umatnya.
2. Ada perbuatan Rasulullah yang berupa penjelasan dari tujuan qur`an, maka perbuatan ini adalah kesepakatan para ulama adalah undang undang umum bagi umat, hukum perbuatan Rasulullah adalah sama dengan perbuatan hukum dalam al-ur`an.
3. Ada perbuatan Rasulullah yang tidak pasti sebagai keistimewaan untuk dia dan tidak pula pasti sebagai penjelasan terhadap penjelasan yang ada terlebih dahulu. Tetapi sifatnya di ketahui sebagai syari`at. Seperti sunnah rawatib, di samping yang fardu baik sebelum atau sesudahnya hukum itu berlaku terhadap umat sama dengan terhadap rasul.
4. Ada semacam perbuatan Rasulullah yang tidak pasti sebagai yang telah terdahulu.
c. Perbedaan paham mengenai sunnah ( persetujuan Rasul )
Persetujuan rasul artinya Rasulullah berdiam diri dan tidak membantah terhadap sesuatu perbuatan yang di perbuat orang lain. Para ulama telah sepakat bahwa persetujuan itu menjunjukkan mubah karena Rasulullah tidak mungin membiarkan seseorang memperbuat yang mungkar menurut agama. Untuk itu para ulama yang berpendapat dan menetapkan syaratnya yaitu Rasulullah kuasa menegur yang belum di ketahui. Para ulama berpendapat pula “jika persetujuan itu di sertai pernyataan gembira terhadap perbuatan yang di lihatnya itu lebih menunjukkan kepada mubah. Oleh karena itu tinjauan yang demikian timbullah perbedaan di kalangan ulama apakah boleh di jadikan dalil. Imam malik dan syafi`iyah berpendapat boleh sedangkan aliran Hanafi membantah sebaliknya.
Makna suatu hadits juga menimbulkan perbedaaan, Hadits Nabi mengatakan, "لا نكاح الا بولي" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "لا" dalam hadits diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah" (لا النافية), haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" (لا النافية) itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
D. Ijtihad pada Masa Nabi
Terjadi perbedaaan pendapat apakah Nabi melakukan ijtihad atau tidak, maka ada tiga golongan ulama dalam hal ini:
1. Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak mungkin Nabi berijtihad, mereka adalah Asy’ariyyah, mayoritas Mu’tazilah, mereka beralasan:
a. Bahwa Nabi selalu dibimbing oleh Allah, dan perketaannya merupakan wahyu seperti dalam
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)
dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm:3-4)
b. Seringkali Nabi ditanya oleh sahabat tentang suatu kasus, Nabi menyuruh sahabatnya menunggu sampai jawaban wahyu turun, andaikan Nabi boleh berijtihad, untuk apa Nabi berlama-lama menunggu
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh melakukan ijtihad, argumennya adalah:
a. Nabi beberapa kali melakukan ijtihad, namun ijtihad Nabi ini kurang tepat hingga ditegur oleh Allah. Misalnya dalam peristiwa tawanan perang badar.
b. Ada hadits yang menebutkan
اذا امرتكم بشيء من دينكم فأخذوا به و اذا امرتكم بشيء من رأيي فانما انا بشر (رواه مسام)
3. Pendapat yang mengambil jalan tengah yakni, dapat saja Nabi berijtihad dalam masalah-masalah keduniaan seperti dalam menentukan taktik peperangan, serta keputusan-keputuan yang berhubungan dengan perselisihan dan persengketaan, tapi tidak dalam masalah hukum syara’.
Ijtihad sahabat di masa Nabi
Ada empat pendapat tentang hal ini:
1. Menurut jumhur ulama seperti Imam Al-Ghazali, Ar-Razi, Ibn Taimiyyah, Baidhawi, dan Qadhi Abd Jabar, mengatakan bahwa sahabat dimungkunkan melakukan ijtihad pada masa Rasulullah.
2. Ulama yang diwakili oleh Hasan Ahmad Mar’i mengtakan sahabat sama sekali tidak boleh berijtihad pada masa Rasulullah masih hidup. Alasannya, shabat yang dianggap mampu untuk berhubungan langsung dengan Rasulullah untuk mendapatkan keyakinan dengan adanya ketegasan nash dari Rasulullah. Dan selama ada yang yakin (mutlak), maka tidak boleh lari kepada yang relative.
3. Sahabat boleh berijtihad manakala mereka berjauhan dengan Rasulullah, dengan syarat ada penunjukan atas diri mereka sebagai qadhi atau wali, seperti Muaz bin Jabal yang diutus ke Yaman, sedangkan sahabat yang tidak diberi mandat, tidak boleh melakukan ijtihad.
4. Ulama yang diwakili Ibn Subki mengataan bahwa sahabat yang berjauhan dengan Rasul dibolehkan secara mutlak untuk melakukan ijtihad tanpa dibatasi dengan adanya penunjukkan sebagai qadhi atau wali.
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah dengan dicari nash-nya dalam al-Qur’an, apabila tidak ada, maka dicari dalam hadits, apabila tidak ditemukan maka berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma’ sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Jadi, pada masa sahabat sudah ada tiga sumber yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijtihad sahabat.ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardi dalam hal-hal yang bersifat pribadi. Untuk bentuk ijthad fardi adakemungkinan terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, sebab
1. Tidak semua ayat al-Qur’an dan sunnah itu qath’i dalalahnya atau penunjukannya kepada maksud tertentu, sehingga memberikan kemungkinan penafsiran-penafsiran yang berbeda.
2. Hadits belum terkumpul dalam satu kitab tertentu yang tidak semua sahabat hafal hadits.
3. Daerah dimana para sahabat berdomisili tidaklah sama. Keperluan-keperluannya berbeda dan penerapan kemaslahatan juga bisa berlainan.
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat yang memicu adanya ijtihad itu adalah:
1. Adanya hadits bahwa pada suatu hari Rasulullah bersabda kepada Amr bin Ash: “tolong adili kasus ini”. Mendengar perintah Rasulullah itu Amr bin Ash berkata: “apakah aku akan berijtihad padahal engkau ada disini?”. Lalu Rasulullah bersabda: “ya,jika engkau betul, maka engkau mendapat dua pahala dan jikaengkau salah, engkau dapat satu pahala.
2. Ketika dalam peperangan al-Ahdzab, Nabi memerintahkan para sahabat shalat asyar diperkampungan Bani Quraidhoh sabdanya: Barang siapa yang beriman kepad Allah dan hari akhir, maka janganlah mengerjakan shalat asyar kecuali diperkampungan Quraidhoh (HR Bukhari). Para sahabat berbda pendapat dalam memahami hadits ini. Golongan pertama melaksanakannya secara harfiyah, sehingga shalat asyar mereka laksanakan diperkampungan Quraidhoh, sedangkan yang lainnya menyimpulkan bahwa maksud dari hadits ini adalah agar mereka mempercepat perjalanan, bukan mengakhirkan waktu shalat asyar sampai diperkampungan tersebut.
Sebab-sebab para sahabat berbeda pendapat
1. Sebagaimana diketahui, adanya lafaz zhanni, sehingga para sahabat berbeda pendapat ketika menafsirkan atau menentukan makna yang cocok dengan permasalahan yang ada. Halini terjadi ketika shabat menetapkan lafaz yang musytarak, tsalatsatu quru’. Umar dan Ibnu Mas’ud memaknainya dengan haid dan Zaid bin Tsabit memaknainya dengan suci.
2. Ada dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan, yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang terkandung oleh bagian itu, sehingga seolah-olah ada perlawanan. Seperti tentang iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, yakni antara ayat yang menerangkan tentang iddah wafat (4 bulan 10 hari) dan iddah hamil smpai melahirkan anak.
3. Adanya perbedaan pengetahuan tentang sunnah, seperti warisan seorang nenek yang mendapat 1/6 (pada zaman Abu Bakar) dan apabila telah mengucap salam tiga kali, tapi tidak ada jawaban, maka tamu harus pulang (pada zaman Umar).
4. Karena memang beda pendapat dikalangan sahabat, misalnya tentang saluran air yang dibuat Dhahhak bin Khalifah yang melewati tanah Muhammad bin Maslamah, tapi Maslamah enggan memberikan tanahnya untuk dilewati air, maka Umar memerintahkan untuk membuat saluran itu walau harus melewati tanah Maslamah.
5. Adanya perbedaan dalam melihat kekuatan (shahih-nya) sebuah hadits.
6. Perbedaan dalam menggunakan akal pikiran (ra’yu).
7. Berbeda dalam mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ashli.
E. Perbedaan Metode Ijtihad di Kalangan Tabi’in
Lahirnya dua madzhab pemikiran fiqih, yakni ahli hadits yang berpusat di Madinah dan ahli Ra’yu yang berpusat di Kufah. Ahli hadits adalah ulama yang lebih banyak menggunakan hadits dan sangat hati-hati serta selektif dalam menggunakan ra’yu, sedangkan ahli ra’yu adalah ulama yang banyak menggunakan nalar fikiran disbanding hadits.
Minimal ada dua factor penting di antaranya yang telah mendorong tumbuh dan berkembanganya ahl ar-ra’yi dan ahl al hadits, yaitu:
a. Kondisi geografis dan social ekonomis
b. Pengaruh para sahabat yang menjadi guru mereka
Alasan mereka yang berpegang pada hadits adalah:
a. Madinah adalah tempat syari’at (sunnah) ditirunkan dan merupakan “sumber mata air yang jernih” untuk hadits.
b. Kebiasaan menghafal merupakan tradisi yang dipegang teguh dan menjadi kbanggaan.
c. Persoalan yang muncul tidak terlalu banyak karena kehidupan di Madinah nyaris statis, terutama ketika ibukota dipndahkan ke Damaskus. Maka tidak heran apabila dalam madzhab Maliki sebagai madzhab yang dianut penduduk Madinah mengatakan bahwa tradisi peduduk Madinah (ijma’ penduduk Madinah) dijadikan hujjah yang wajib diikuti dan didahulukan dibandingkan dengan qiyas.
Sedangkan alasan ulama mengutamakan ra’yu adalah:
a. Karena Kufah jauh dari sumber sunnah (Madinah), sehingga para fuqaha harus memeras otak dan berusaha memahami pengertian nash dan illat penetapan suatu hukum dari syara’, agar pengertian hukum tersebut bisa mencakup apa yang tidak dimuat oleh kata-katany.
b. Problematika hidup yang dihadapi di Kufah lebih kompleks dan variatif dibanding dengan Madinah.
c. Dekat dengan pusat pengembangan kebudayaan Helenisme di Persia yang mengajarkan logika.
d. Banyak tokoh agama dan Siba’i yang menguasai filsafat Yunani kuno ini masuk islam.
e. Kufah merupakan pusat penggerakan politik, baik Syi’ah, khawarij maupun sunni.
F. Kesimpulan
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yaitu al-quran dan as-sunnah. Orang yang mempu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini disebut mujtahid. Masalah khilafiyah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Ada beragam bentuk ikhtilaf di tengah umat. Tentunya tidak semua bentuk ikhlitaf diterima dan ditolelir keberadannya.
Perbedaan dalam metode ijtihad dikarenakan beberapa hal, diantaranya
1. Perbedaan dalam memahami al-quran
2. Perbedaan mengenai sunnah baik yang berkaitan tentang riwayat, perbuatan Rasulullah maupun persetujuan beliau.
Dalam sejarah huga bisa dilihat bahwa para tabiin terpecah menjadi dua aliran, yaitu ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi, yang di sebabkan oleh beberapahal. Aliran itulah yang merupakan asal muasal dari adanya mazhab pada era selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan ,M. Ali. 1997. Perbandingan Mazhab Fiqh. Jakarta:Rajawali
Hasbiyallah.2012. Perbandingan Madzhab, Jakarta: Kemenag
Hosen, Nadirsyah. Mengapa Ulama Berbeda Pendapat? Http://Media.Isnet.Org/Isnet/Nadirsyah/Beda.Html Akses Tanggal 24 Maret 2014
Mudzhar, M. Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, Jakarta: Titian Ilahi Press
Al Khann, Mushthafa Said.1982. Atsar Al-Ikhtilaf Fi Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Fi Al-Ikhtilaf Al-Fuqaha, Beirut: Dar Muassasah
Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta Gema Insani
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid. Penerjemah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani
Sarwat, Ahmad.2007. Fiqh Ikhtilaf: Panduan Umat Di Tengah Belantara Perbedaan Pendapat. Jakarta: Yayasan Daarul-Uluum Al-Islamiyah
Syaltut, Mahmud.1985. Akidah Dan Syariah Islam. Jakarta: Bina Aksara
Yahya, Mukhtar Dan Fathurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: Al Maarif