menu

nilai-nilai budaya lokal masyarkat jawa

Nilai-nilai Budaya Lokal Masyarakat Jawa

Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.

Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.

Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan.

Di antara nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan dan dilestarikan masyarakat Jawa sampai saat ini antara lain:

             1. Sekaten
Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut ‘Srada Agung’ itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.

Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut Sekaten dari kata ‘Sekati’. Pendapat lainnya menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Inti dari acara perayaan ini adalah berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.

             2. Grebeg
Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam seahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal dari bahasa Jawa ‘Grebeg’ yang berarti ‘diiringi para pengikut’. Karena perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut Grebebg. Pengertian Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.

Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti:
a. Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
b. Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar (Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya Idul Adha (Qurban).
c. Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Mulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Pada setiap upacara grebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng besar) sehingga desebut gunungan. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan berkah dari gunungan itu.

             3. Labuhan
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan adalah labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat.

Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta berharap semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai sejahtera.

Di samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja sebelumnya terutama raja pendiri dinasti Mataram (Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu dianggap membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Kraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta.

             4. Slametan
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”

Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan, kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan.

Dengan pernyataan senada, Nurcholish Madjid mengatakan, kaum santri menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih dipertahankan kaum santri dan yang paling banyak menjadi target kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan selamatan di sini adalah acara makan-makan untuk mendoa’kan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun (pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan tersebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang meninggal ini bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat ‘laa ilaaha illallah,’ dengan maksud berdo’a untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang lebih controversial lagi (di mata kaum reformis) adalah ‘mengirimkan pahala wirid’ itu kepada arwah yang meninggal.

Tetap lestarinya slametan ini memberikan makna bahwa hubungan sosial masyarakat tetap kokoh. Masyarakat merasa diperlakukan sama satu dengan lainnya. Kalau mereka sudah duduk bersama, tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi. Slametan menimbulkan efek psikologi dalam bentuk keseimbangan emosional dan mereka meyakini bakal selamat, tidak terkena musibah atau tertimpa malapetaka setelah mereka melakukan kegiatan ini.

             5. Ruwatan
Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan membebaskan seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti upacara ini sebenarnya adalah do’a, memohon perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, juga do’a memohon pengampunan, dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan bencana. Upacara ini berasal dari ajaran budaya Jawa kuno yang bersifat sinkretis, namun sekarang diadaptasikan dengan ajaran agama. Ruwatan bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan orang atau barang atau desa dari ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini sebenarnya untuk tolak bala’. Upacara ini berasal dari cerita Batara Kala, yaitu raksasa yang suka makan manusia. Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat.

Lebih lanjut menurut Baedhowi, dalam ruwatan harus dilengkapi dengan berbagai sesajen yang dulunya masih sederhana dan hanya terdiri dari beberapa macam sesajen saja, namun sekarang sesajen itu sudah banyak macamnya. Sesajen-sesajen ini terdiri dari berbagai macam makanan, lauk pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan digantungkan sepanjang batang bamboo melintang di atas panggung bagian depan dan dengan layar di sisi atas. Sesajen ini sebenarnya merupakan perlambang antara harapan dan rasa syukur. Dari berbagai ragam ruwatan yang dilakukan orang Jawa tampak sekali pusaran tradisi pada pembebasan sukerta dari mangsa Batara Kala.

             6. Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.

Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).

Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.

             7. Tirakat
Salah satu tradisi atau budaya yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.

Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya.

Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.

             8. Ziarah makam
Kebiasaan datang ke makam-makam tertentu adalah umum sekali di kalangan Islam Santri yang masih terpengaruh dengan kejawen. Hanya saja menurut Nurcholish Madjid, hal ini tidak jelas, apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme atau jawanisme. Sebab, sebelum Islam datang, agama yang ada adalah Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Dan makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha dan lain-lain. Di Jombang, makam yang paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam Jum’at beratus orang berziarah, dan pada malam Jum’at Legi jumlah itu dapat mencapai ribuan.

             9. Wayang
Wayang merupakan salah sastu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sementara pembuatan wayang dari kulit kerbau,dimulai oleh Sunan Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan wayang yang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief Candi Panataran di daerah Blitar. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan syara. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah lukisan yang menghadap (Jawa: methok) menjadi miring. Selain itu, atas saran para wali yang lain, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan yang lucu.

Menurut Endraswara seperti yang dikutip oleh Purwadi, bahwa penamaan punakawan tersebut memiliki makna filosofis. Semar dari kata bahasa Arab Simaar atau ismarun artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni ismaya, yang memiliki makna kemantapan dan keteguhan. Karena itu ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar, Nala Gareng dari kata naala qorin yang artinya memperoleh banyak teman. Seuai dengan tujuan dakwah yaitu memperbanyak teman dan sahabat dalam beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek. Dan Bagong berasal dari kata bagho yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah.

Lebih lanjut, sebagai sarana dakwah, dalam wayng terdapat lakon Jimat Kalimasada yang merupakan lambang dari dua kalimah syahadat. Cerita Jimat Kalimasada tidak ada dalam epos asli Mahabarata. Lakon tersebut yang paling sering dipentaskan oleh Sunan Kalijaga. Haparannya untuk mengajak orang-orang Jawa di pedesaan maupun di kota kaprajan daerah mana pun untuk mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk masuk agama Islam.

Masih banyak lagi nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang tidak dicantumkan dalam makalah ini, namun dari contoh di atas semoga dapat mewakili nilai-nilai budaya lokal yang lain. Keragaman budaya tersebut merupakan bukti bahwa Jawa memiliki banyak budaya lokal. Sebagian tetap bertahan keasliannya dan sebagian telah berintegrasi dengan nilai-nilai keislaman.