menu

Analisis Pasal 173 a KHI (penganiayaan berat sebagai penghalang waris)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Hukum kewarisan islam yang dikalangan ulama’ terdahulu biasa disebut “faraid” itu menurut umat islam menjadikannya dalam berbuat dalam hal-hal yang berkenaan dengan kewarisan itu.[1] Setelah indonesia merdeka pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah No. 45 taun 1957, tentang pembentukan mahkamah syari’ah dan mahkamah syar’iah provinsi untuk seluruh indonesia, di luar jawa, madura dan kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan itu ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah kewarisan.[2]
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebagian besar warga negara RI menyatakan sebagai penganut agama islam. Maka umat islam didorong untuk mentaati ajaran agama yang mereka yakini berrasal dari allah dan rasul-Nya, termasuk menyangkut hukum kewarisan islam. Dengan demikian, unifikasi hukum kewarisan nasional yang akan lahir itu harus memberi kesempatan umat islam untuk mentaati ketentuan hukum kewarisan islam sebagaimana diajarkan dalam al-qur’an dan suna rasul.[3]
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam yang terpenting. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja orang yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi, bagian-bagian yang diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.[4]
Akan tetapi dalam pelaksanaannya hukum kewarisan Islam perlu mendapatkan perhatian yang besar, karena dalam pembagian warisan antara hak ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain saling berkaitan. Pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak jarang menimbulkan perselisihan diantara anggota keluarga yang berkepanjangan, karena secara


naluriah manusia sangat mencintai harta (QS. Al Imran ayat 14) yang tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta benda termasuk harta pewaris itu sendiri.[5]
Melihat hal tersebut maka penting adanya rujukan yang mengatur mengenai masalah-masalah tersbut. Dalam bukunya amir syarifudin, hukum kewarisan islam menyebut kompilasi hukum islam juga mengatur kewarisan yang terdiri dari 23 pasal, dari 171 sampai dengan pasal 193.[6] Sehingga di dalam karya tulis ini penulis akan lebih membahas menganai salah satu penghalang kewarisan, yang lebih tepatnya penganiayaan berat sebagai penghalang waris, seperti yang tertera dalam KHI pasal 173 a.
B.     Rumusan masalah
Penulis dapat menemukan masalah dari latar belakang di atas sebagai pembahasan pada kesempatan kali ini, adalah sebagai berikut :
1.      Tinjauan KHI pasal 173 a mengenai alasan penganiayaan berat sebagai penghalang waris.
2.      Dasar-dasar KHI pasal 173 a menjadikan penganiayaan berat menjadi penghalang waris.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Penghalang Mawaris (Mawani’ Al-Irs)
Faraidh (mawaris)  , bentuk jamak dari faridhah. Kata ini diambil dari fardhu. Fardhu dalam istilah ulama’ fiqh mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh syara’.[7] Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.[8]
Istilah mawani’( الموانع) adalah bentuk jama’ dari kata maani’( المانع) yang bermakna sesuatu yang mencegah atau menghalangi.[9] Seorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli waris, bisa saja kehilangan haknya untuk mendapat harta warisan, yaitu apabila pada dirinya terdapat mawani'.[10]
Mawani’ al-irs dalam ilmu fara’id adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai. Para ahli waris yang kehilangan hak-hak mempusakai yang disebabkan adanya mawani’ al-irs disebut mahrum  dan halangannya diebut dengan hirman.[11]
B.     Macam-macam Penghalang Waris
Para fuqaha’ menyepakati tiga penghalang warisan yakni budak, membunuh dan perbedaan agama. Mereka berbeda pendapat tentang penghalang-penghalang yang lain.[12]


Dalam buku “Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan KUH Perdata” karya M. Idris Ramulyo, dikatakan bahwa yang menghalangi mempusakai adalah: 1). Perbudakan 2). Pembunuhan 3). Berlainan Negara 4). Murtad 5). Hilang tanpa berita.[13]
Menurut kesepatan ulama’, penghalang waris terdiri dari 3 hal saja. Sedangkan berlainan negara masih menjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
1)      Pembunuhan
Menurut golongan hanafiyah pembunuhan yang dapat menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan secara langsung (yang disengaja) karena dapat mengakibatkan qishos atau pembunuhan yang serupa dengan sengaja atau tidak sengaja yang semuanya diwajibkan membayar kaffart atau diat apabila pembunuhan itu dilakukan tanpa alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut dan yang melakukan pembunuhan adalah orang yang berakal dan cukup umur atau bukan orang gila. Jadi perbuatan yang tidak dikenai sanksi qishos masih mempunyai hak untuk mewarisi seperti pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil (dibawah umur) dan lain sebagainya.[14]
2)      Beda Agama
Adapun yang dimaksud dengan berbeda agama disini adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non muslim demikian juga dengan sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
ArtinyaR: RDiriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a berkata : Nabi Saw bersabda: Orang muslim tidak mewarisi non muslim dan non muslim tidak mewarisi seorang muslim”.[15]
3)      Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formal sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk mewarisi karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.[16]
Adapun didalam Kompilasi hukum Islam tidak membahas tentang perbudakan, karena hal tersebut tidak ada/dipakai dalam system hukum di Indonesia.[17]
4)      Berlainan Negara
Perbedaan Negara dapat dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan Negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut :
a.       Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing dibawah komando yang berbeda.
b.      Kepala Negara yang berbeda
c.       idak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatic yang terjalin antar keduanya.[18]
C.    Analisa Pasal 173 A KHI.
Pasal 173 KHI yang berbunyi “Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena:
a.      Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.[19]
Jadi dari pasal di atas dapat diambil penghalang waris terdiri dari :
·         Pembunuhan
·         Mencoba membunuh
·         Penganiayaan berat
·         Fitnah
Sedangkan perbudakan dalam kompilasi hukum islam tidak membicarakan masalah ini, tentu saja karena perbudakan tidak dikenal dalam sistem hukum dan nilai-nilai hukum yang ada di indonesia.[20]
Kompilasi hukum islam tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mawaris. Kompilasi hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam pada saat meninggalnya pewaris. Pasal 171 huruf c [21]:
Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pembunuh sebagai penghalang kewarisan dalam pasal 173 huruf a telah sesuai dengan fiqih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan berat dan memfitnah sebagai halangan, tidak sejalan dengan fiqih. Di dalam fiqih hanya ada pembunuhan yang menyebabkan kematian yang menjadi penghalang mewarisi. Di dalam kitab-kitab fiqih dijelaskan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan oleh al Qu’an dan tidak dapat dicabut kembali kecuali ada dalil yang kuat seperti hadist Nabi. Amir Syaifuddin dalam bukunya hukum kewarisan Islam, dicabutnya hak seseorang disebabkan karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat atau memfitnah. Meskipun penganiayaan berat merupakan kejahatan namun tidak dapat hak pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberi maaf.[22]
Di dalam Hukum Pidana Islam delik atau kejahatan dikenal dengan istilah jarimah. Sedangkan yang dimaksud jarimah itu sendiri, sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich bahwa Abu Hasan al-Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.[23]
a)      Jarimah hudud
Adalah jarimah yang macam dan hukumnya sudah ditentukan oleh syara’ tidak boleh ditambah ataupun dikurangi dan ia menjadi hak Allah yang diancam dengan hukuman had.
b)      Jarimah qisash-diyat
Adalah jarimah yang dihukum dengan hukuman qisaas dan diyat, keduanya telah ditentuka oleh syara’ dan tidak mempunyai batasan terndah dan tertinggi tetapi menjadi hak manusia.
c)      Jarimah ta’zir
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (pengajaran atau ta’dzib.[24]
Dari ketiga jarimah diatas, perbuatan penganiayaan sering pula diterjemahkan dengan pelukaan termasuk didalam Jarimah Qisas-Diyat. Tindakan penganiayaan itu bisa melukai, menghilangkan anggota badan, merusak kemampuan telinga untuk mendengar dan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kumpulan dari berbagai buku-buku islam, peraturan hukum islam atau pendapat ulama tentang hukum Islam tersebut dibuat setelah melewati sejarah yang sangat panjang.
Pada awalnya hukum islam dimaksudkan adalah kitab-kitab fiqih yang didalamnya banyak terdapat perbedaan pendapat, kemudian dicoba di unifikasikan dalam bentuk kompilasi. Jadi da;lam hal ini Kompilasi Hukum Islam adalah perubahan bentuk dari kita-kitab menjaditerkodifikasi dan terunifikasi dalam kompilasi hukum islam yang subtansi muatannya tidak banyak mengalami perubahan.[25]
Jadi dapat disimpulkan bahwa dijadikannya penganiayaan berat sebagai penghalang waris merupakan sudah tepat dengan ajaran agama islam dan sesuai dengan sosio kultur di indonesia. Karena KHI sendiri disusun dari beberapa kitab fiqh, dan atas persetujuan ulama’-ulama’ besar di indonesia.



 

 
BAB III
PENUTUP
A.    Keimpulan
Dari uraian diatas, dilihat mulai dari latar belakang, pembahasan serta analisis asal, maka saya mendapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tindakan penganiayaan itu bisa melukai, menghilangkan anggota badan, merusak kemampuan telinga untuk mendengar dan lainnya. Maka masuk pada jarimah qishas-diyat. Selain itu penganiyaan berat sebagai penghalang waris sudah tepa dengan hukum islam dan sosio kultur atau adat kebiasaan orang indonesia.
2.      Penghalang mewarisi menurut Kompilasi Hukum Islam terdiri atas : perbedaan agama, membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat dan memfitnah terhadap pewaris. Yang semunya tertera dalam pasal 171-173 KHI.
3.      Dasar hukum KHI merupakan hasil Ijma’ dari para ulama yang mengambil dalil-dalil atau dasar hukum dari kitab-kitab fiqh yang ada di Indonesia. Dengan demikian KHI tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadist, karena bersumber dari kitab-kitab fiqh yang didalamnya.
B.     Saran
Demikian diatas karya tulis ilmiah yang saya buat, tentu masih banyak kekurangan serta kesalahan dari penulis dalam penyusunan karya tulis ini. Maka perlu lah kritik dan saran dari teman-teman, khususnya para pembaca sangat kami harapkan. Atas kerja sama dan perhatiannya saya ucapkan terima kasih.





DAFTAR PUSTAKA
ü  Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press,2001.
ü  Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
ü  Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
ü  Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqh Kehidupan (15): Mawaris, Jakarta: DU Publishing, 2011.
ü  Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
ü  Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004.
ü  Amis Syaifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
ü  Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Darul Fikir, 2011.
ü  Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Alm’arif.
ü  Hasbi as Shidiqi, Fiqhul Mawaris, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 41.
ü  Idsris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan KUH Perdata, Jakarta Sinar Grafika, 2004.
ü  Marsum, Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, fakultas hukum UII.
ü  Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
ü  Suhrawardi K. Lubis,. Komis Simanjuntak, Hukum Waris Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
ü  Teungku m. Hasbi ash shiddieqy, fiqh mawaris, semarang: PT. Pustaka rizki putra, 2010.
ü  Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonosia, 2002.


[1] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 321.
[2] Ibid., hlm.324
[3] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press,2001), hlm. 152-153.
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 356.
[5] Ibid.
[6] Amir Syarifuddin, Op,cit., hlm. 327.
[7] Teungku m. Hasbi ash shiddieqy, fiqh mawaris, (semarang: PT. Pustaka rizki putra, 2010), hlm. 5.
[8] Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 6.
[9] Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqh Kehidupan (15): Mawaris, (Jakarta: DU Publishing, 2011), hlm. 72.
[10] Ibid., hlm. 73.
[11] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alm’arif), hlm. 83.
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011), hlm. 351.
[13] Idsris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan KUH Perdata, (Jakarta Sinar Grafika, 2004), hlm. 88-89
[14] Hasbi as Shidiqi, Fiqhul Mawaris, (Jakarta : Bulan Bintang),  hlm. 41.
[15] Amis Syaifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 14.
[16] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 39.
[17] Ahmad rofiq, hukum islam di indonesia, Op,cit., hlm. 406.
[18] Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonosia, 2002), hlm. 35.
[19] Suhrawardi K. Lubis,. Komis Simanjuntak, Hukum Waris Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),  hlm. 195.
[20] , M.A., Hukum Islam di Indonesia, Op,cit., hlm. 406
[21]Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Op,cit., hlm. 403-404
[22] Amir Syarifuddin, Op,cit., hlm. 329.
[23] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005),  hlm. 9.
[24] Marsum, Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta, fakultas hukum UII), hlm. 6
[25] Ahmad Rofiq, Op,cit., Hlm. 25.

No comments:

Post a Comment