BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum kewarisan islam yang dikalangan ulama’ terdahulu biasa
disebut “faraid” itu menurut umat islam menjadikannya dalam berbuat dalam
hal-hal yang berkenaan dengan kewarisan itu.[1]
Setelah indonesia merdeka pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah No. 45
taun 1957, tentang pembentukan mahkamah syari’ah dan mahkamah syar’iah provinsi
untuk seluruh indonesia, di luar jawa, madura dan kalimantan selatan-timur.
Dalam peraturan itu ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah
kewarisan.[2]
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebagian besar
warga negara RI menyatakan sebagai penganut agama islam. Maka umat islam
didorong untuk mentaati ajaran agama yang mereka yakini berrasal dari allah dan
rasul-Nya, termasuk menyangkut hukum kewarisan islam. Dengan demikian,
unifikasi hukum kewarisan nasional yang akan lahir itu harus memberi kesempatan
umat islam untuk mentaati ketentuan hukum kewarisan islam sebagaimana diajarkan
dalam al-qur’an dan suna rasul.[3]
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum
Islam yang terpenting. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa
saja orang yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi, bagian-bagian yang
diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.[4]
Akan tetapi dalam pelaksanaannya hukum kewarisan Islam perlu
mendapatkan perhatian yang besar, karena dalam pembagian warisan antara hak
ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain saling berkaitan. Pembagian
warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak jarang menimbulkan
perselisihan diantara anggota keluarga yang berkepanjangan, karena secara
naluriah manusia sangat mencintai harta
(QS. Al Imran ayat 14) yang tidak jarang memotivasi seseorang untuk
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta benda termasuk harta pewaris
itu sendiri.[5]
Melihat hal tersebut maka penting adanya rujukan yang mengatur
mengenai masalah-masalah tersbut. Dalam bukunya amir syarifudin, hukum
kewarisan islam menyebut kompilasi hukum islam juga mengatur kewarisan yang
terdiri dari 23 pasal, dari 171 sampai dengan pasal 193.[6] Sehingga
di dalam karya tulis ini penulis akan lebih membahas menganai salah satu
penghalang kewarisan, yang lebih tepatnya penganiayaan berat sebagai penghalang
waris, seperti yang tertera dalam KHI pasal 173 a.
B. Rumusan masalah
Penulis dapat menemukan masalah dari latar belakang di atas
sebagai pembahasan pada kesempatan kali ini, adalah sebagai berikut :
1. Tinjauan KHI pasal 173 a mengenai alasan penganiayaan berat
sebagai penghalang waris.
2. Dasar-dasar KHI pasal 173 a menjadikan penganiayaan berat
menjadi penghalang waris.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penghalang Mawaris (Mawani’ Al-Irs)
Faraidh (mawaris) ,
bentuk jamak dari faridhah. Kata ini diambil dari fardhu. Fardhu dalam istilah
ulama’ fiqh mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh syara’.[7]
Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah
waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban
serta harta kekayaan seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup.[8]
Istilah mawani’( الموانع) adalah bentuk jama’ dari kata maani’( المانع) yang bermakna sesuatu yang mencegah atau
menghalangi.[9]
Seorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli waris, bisa saja
kehilangan haknya untuk mendapat harta warisan, yaitu apabila pada dirinya
terdapat mawani'.[10]
Mawani’ al-irs dalam ilmu fara’id adalah tindakan atau
hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya
sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai. Para ahli waris yang kehilangan
hak-hak mempusakai yang disebabkan adanya mawani’ al-irs disebut mahrum dan halangannya diebut dengan hirman.[11]
B. Macam-macam Penghalang Waris
Para fuqaha’ menyepakati tiga penghalang warisan yakni
budak, membunuh dan perbedaan agama. Mereka berbeda pendapat tentang
penghalang-penghalang yang lain.[12]
Dalam buku “Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan
KUH Perdata” karya M. Idris Ramulyo, dikatakan bahwa yang menghalangi
mempusakai adalah: 1). Perbudakan 2). Pembunuhan 3). Berlainan Negara 4).
Murtad 5). Hilang tanpa berita.[13]
Menurut kesepatan ulama’, penghalang waris terdiri dari 3 hal
saja. Sedangkan berlainan negara masih menjadi perbedaan pendapat diantara
mereka.
1) Pembunuhan
Menurut golongan hanafiyah pembunuhan yang dapat menghalangi hak
kewarisan adalah pembunuhan secara langsung (yang disengaja) karena dapat
mengakibatkan qishos atau pembunuhan yang serupa dengan sengaja
atau tidak sengaja yang semuanya diwajibkan membayar kaffart atau
diat apabila pembunuhan itu dilakukan tanpa alasan yang dapat
membenarkan perbuatan tersebut dan yang melakukan pembunuhan adalah orang yang
berakal dan cukup umur atau bukan orang gila. Jadi perbuatan yang tidak dikenai
sanksi qishos masih mempunyai hak untuk mewarisi seperti
pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil (dibawah umur) dan lain sebagainya.[14]
2) Beda Agama
Adapun yang dimaksud dengan berbeda agama disini adalah
agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud
dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling
mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak
mewarisi harta orang non muslim demikian juga dengan sebaliknya. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
ArtinyaR:
RDiriwayatkan daripada
Usamah bin Zaid r.a berkata : Nabi Saw bersabda: Orang muslim tidak mewarisi
non muslim dan non muslim tidak mewarisi seorang muslim”.[15]
3) Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formal sebagai hamba sahaya
(budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk mewarisi
karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.[16]
Adapun didalam Kompilasi hukum Islam tidak membahas tentang
perbudakan, karena hal tersebut tidak ada/dipakai dalam system hukum di
Indonesia.[17]
4) Berlainan Negara
Perbedaan Negara dapat dilihat dari segi ilmu waris adalah
perbedaan Negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut :
a. Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing dibawah
komando yang berbeda.
b. Kepala Negara yang berbeda
c. idak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada
kerjasama diplomatic yang terjalin antar keduanya.[18]
C. Analisa Pasal 173 A KHI.
Pasal 173 KHI yang berbunyi “Seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.[19]
Jadi dari pasal di atas dapat diambil penghalang waris
terdiri dari :
·
Pembunuhan
·
Mencoba membunuh
·
Penganiayaan berat
·
Fitnah
Sedangkan perbudakan dalam kompilasi hukum islam tidak
membicarakan masalah ini, tentu saja karena perbudakan tidak dikenal dalam
sistem hukum dan nilai-nilai hukum yang ada di indonesia.[20]
Kompilasi hukum islam tidak menegaskan secara eksplisit
perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mawaris.
Kompilasi hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam pada saat
meninggalnya pewaris. Pasal 171 huruf c [21]:
Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pembunuh sebagai
penghalang kewarisan dalam pasal 173 huruf a telah sesuai dengan fiqih. Namun
dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan berat dan memfitnah sebagai
halangan, tidak sejalan dengan fiqih. Di dalam fiqih hanya ada pembunuhan yang
menyebabkan kematian yang menjadi penghalang mewarisi. Di dalam kitab-kitab
fiqih dijelaskan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan oleh
al Qu’an dan tidak dapat dicabut kembali kecuali ada dalil yang kuat seperti hadist
Nabi. Amir Syaifuddin dalam bukunya hukum kewarisan Islam, dicabutnya hak
seseorang disebabkan karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat atau
memfitnah. Meskipun penganiayaan berat merupakan kejahatan namun tidak dapat
hak pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberi maaf.[22]
Di dalam Hukum Pidana Islam delik atau kejahatan dikenal dengan
istilah jarimah. Sedangkan yang dimaksud jarimah itu
sendiri, sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich bahwa Abu Hasan al-Mawardi
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah
dengan hukuman had atau ta’zir.[23]
a) Jarimah hudud
Adalah jarimah yang macam dan hukumnya sudah
ditentukan oleh syara’ tidak boleh ditambah ataupun dikurangi dan ia menjadi
hak Allah yang diancam dengan hukuman had.
b) Jarimah qisash-diyat
Adalah jarimah yang dihukum dengan hukuman qisaas dan
diyat, keduanya telah ditentuka oleh syara’ dan tidak mempunyai
batasan terndah dan tertinggi tetapi menjadi hak manusia.
c) Jarimah ta’zir
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (pengajaran
atau ta’dzib.[24]
Dari ketiga jarimah diatas, perbuatan penganiayaan sering
pula diterjemahkan dengan pelukaan termasuk didalam Jarimah Qisas-Diyat. Tindakan
penganiayaan itu bisa melukai, menghilangkan anggota badan, merusak kemampuan
telinga untuk mendengar dan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kumpulan dari berbagai
buku-buku islam, peraturan hukum islam atau pendapat ulama tentang hukum Islam
tersebut dibuat setelah melewati sejarah yang sangat panjang.
Pada awalnya hukum islam dimaksudkan adalah kitab-kitab fiqih
yang didalamnya banyak terdapat perbedaan pendapat, kemudian dicoba di
unifikasikan dalam bentuk kompilasi. Jadi da;lam hal ini Kompilasi Hukum Islam
adalah perubahan bentuk dari kita-kitab menjaditerkodifikasi dan terunifikasi
dalam kompilasi hukum islam yang subtansi muatannya tidak banyak mengalami
perubahan.[25]
Jadi dapat disimpulkan bahwa dijadikannya penganiayaan berat
sebagai penghalang waris merupakan sudah tepat dengan ajaran agama islam dan
sesuai dengan sosio kultur di indonesia. Karena KHI sendiri disusun dari
beberapa kitab fiqh, dan atas persetujuan ulama’-ulama’ besar di indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Keimpulan
Dari uraian
diatas, dilihat mulai dari latar belakang, pembahasan serta analisis asal, maka
saya mendapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Tindakan
penganiayaan itu bisa melukai, menghilangkan anggota badan, merusak kemampuan
telinga untuk mendengar dan lainnya. Maka masuk pada jarimah qishas-diyat.
Selain itu penganiyaan berat sebagai penghalang waris sudah tepa dengan hukum
islam dan sosio kultur atau adat kebiasaan orang indonesia.
2.
Penghalang mewarisi menurut Kompilasi Hukum Islam
terdiri atas : perbedaan agama, membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan
berat dan memfitnah terhadap pewaris. Yang semunya tertera dalam pasal 171-173
KHI.
3.
Dasar hukum KHI merupakan hasil Ijma’ dari para ulama
yang mengambil dalil-dalil atau dasar hukum dari kitab-kitab fiqh yang ada di
Indonesia. Dengan demikian KHI tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadist,
karena bersumber dari kitab-kitab fiqh yang didalamnya.
B. Saran
Demikian diatas karya tulis ilmiah yang saya buat, tentu
masih banyak kekurangan serta kesalahan dari penulis dalam penyusunan karya
tulis ini. Maka perlu lah kritik dan saran dari teman-teman, khususnya para
pembaca sangat kami harapkan. Atas kerja sama dan perhatiannya saya ucapkan
terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
ü
Ahmad Azhar Basyir, Hukum
Waris Islam, Yogyakarta: UII Press,2001.
ü
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. IV,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
ü
Ahmad Rofiq,
Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2000.
ü
Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqh Kehidupan (15): Mawaris, Jakarta:
DU Publishing, 2011.
ü
Ahmad Wardi Muslih,
Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
ü
Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004.
ü
Amis Syaifuddin, Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta: Kencana, 2008.
ü
Az-Zuhaili, Fiqh Islam
Wa Adillatuhu, Jakarta: Darul Fikir, 2011.
ü
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Alm’arif.
ü
Hasbi as Shidiqi, Fiqhul Mawaris, Jakarta
: Bulan Bintang, hlm. 41.
ü
Idsris Ramulyo, Perbandingan
Hukum Kewarisan Islam dengan KUH Perdata, Jakarta Sinar Grafika, 2004.
ü
Marsum, Hukum
Pidana Islam, Yogyakarta, fakultas hukum UII.
ü
Muslih Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
ü
Suhrawardi K. Lubis,. Komis
Simanjuntak, Hukum Waris Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
ü
Teungku m. Hasbi ash
shiddieqy, fiqh mawaris, semarang: PT. Pustaka rizki putra, 2010.
ü
Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Ekonosia, 2002.
[1]
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hlm. 321.
[2]
Ibid., hlm.324
[3]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press,2001),
hlm. 152-153.
[5]
Ibid.
[6]
Amir Syarifuddin, Op,cit., hlm. 327.
[7]
Teungku m. Hasbi ash shiddieqy, fiqh mawaris, (semarang: PT. Pustaka rizki
putra, 2010), hlm. 5.
[9] Ahmad
Sarwat, Lc., Seri Fiqh Kehidupan (15):
Mawaris, (Jakarta: DU Publishing, 2011), hlm. 72.
[10]
Ibid., hlm. 73.
[11]
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung:
PT Alm’arif), hlm. 83.
[12]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011),
hlm. 351.
[13] Idsris
Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan KUH Perdata, (Jakarta
Sinar Grafika, 2004), hlm. 88-89
[17]
Ahmad rofiq, hukum islam di indonesia, Op,cit., hlm. 406.
[19]
Suhrawardi K. Lubis,. Komis Simanjuntak, Hukum Waris Lengkap, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), hlm. 195.
[20]
, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Op,cit., hlm. 406
[21]Ahmad
Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Op,cit., hlm. 403-404
[22]
Amir Syarifuddin, Op,cit., hlm. 329.
[25]
Ahmad Rofiq, Op,cit., Hlm. 25.
No comments:
Post a Comment