menu

Peradilan Agama Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak zaman Rasulullah hidup sampai zaman kerajaan Islam di nusantara, Pangadilan Agama sudah ada dan mempunyai wewenang yang luas di segala bidang, baik yang bersifat perdata atau pidana. Walaupun hukum acara Pengadilan Agama yang berlaku saat itu tidak terlalu formal, tapi Nabi sudah memberikan arahan terhadap hukum acara yang berlaku.
Tapi, sejak kehadiran Belanda di bumi nusantara, kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya pada hal-hal yang bersifat perdata, sedangkan perkara pidana diserahkan kepada Pengadilan Negeri, dan saya kira hal tersebut menjadi “PR” kita bersama bagaimana caranya supaya bisa mengembalikan peran Pengadilan Agama agar mempunyai wewenang yang sangat luas, sehingga keberadaan Pengadilan Agama tidak lagi menjadi ranah perdata tetapi ranah pidanapun harus bisa dicapai, walaupun seandainya berhasil digolkan untuk sementara hanya dengan hak opsi bagi para pihak yang berperkara dalam masalah pidana dengan memilih apakah menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri, hal tersebut bisa menjadi awal yang baik untuk memasukkan perkara pidana ke dalam wewenang Pengadilan Agama.                      
B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana perkembangan peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan belanda?
2.      Bagaimana Posisi Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda?
3.      Seperti apa Susunan dan Struktur Peradilan pada masa Penjajahan Belanda?
4.      Bagaimana Kekuasaan Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda?
5.      Apa Produk Hukum dan bgaimana Tatacara Berperkara di Peradilan Islam pada masa Penjajahan Belanda?
6.      Bagaimana Perkembangan Teori Keberlakuan Hukum Islam dan Peradilan Agama Islam pada masa Penjajahan Belanda?

C.    Tujuan

1.      Sebagai tugas tugas kolektif yang diberikan oleh dosen pembimbing mata Peradilan Agama di Indonesia.
2.      Sebagai media untuk menambah pengetahuan, khususnya dalam hal sejarah perkembangan hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN
PERADILAN ISLAM PADA MASA AWAL PENJAJAHAN BELANDA

Pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam diajarkan dengan nama Mohammedaansch Recht, yang sempat diteruskan ketika Indonesia merdeka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman VOC. Adanya Regeerings Reglemen mulai tahun 1855 merupakan pengakuan tegas terhadap adanya Hukum Islam, tersebut.
Dalam tulisan H. Zaini Ahmad Noeh dan H. Abdul Basit Adnan di kemukakan beberapa pandangan tentang keadaan dan pandangan para ahli mengenai Peradilan Agama pada tahap awal pemerintahan Belanda. Menurut pendapat mereka dalam perpustakaan hukum adat diperoleh petunjuk, bahwa Pengadilan Agama memang sudah ada sebelum orang Portugis dan Belanda datang ke Indonesia. Prof. Dr. Snouck Hurgonye dalam tulisannya yang berjudul “Nederland en de Islam” menyebut Peradilan Agama sebagai suatu badan atau tatanan rakyat yang dalam bahasa Belanda disebut “Mohammedansch Volksintelling”. Namun ia berpendapat bahwa semestinya pemerintah Hindia Belanda tidak usah turut campur dengan urusan Peradilan Agama itu.
 Peradilan Agama pada Tahun 1882-1937
a.  Sekitar Lahirnya Staatsblad 1882
            Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Konnonklijk Besluit), yakni raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 152. Di mana ditetapkan suatu peraturan tentang Peradilan Agama dengan nama “piesterraden” untuk Jawa dan Madura. 12 Arti Priester tersebut sebenarnya adalah pendeta. Pihak penguasa waktu itu beranggapan bahwa di kalangan umat Islam juga dikenal ada semacam pendeta seperti dalam agama Kristen. 13 Badan peradilan ini (Piesterraden) yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terakhir dengan Pengadilan Agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Statsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882.14 Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda disebut “Bepalingen Betreffende de Priester raden op Java en Madoera”
            Staatsblad 1882 No. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan Agama terdiri atas; Penghulu yang diperbantukan kepada lanraad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur / Residen
Pasal 3
Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan , kecuali dihadiri sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasanya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan juga jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang di tandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.
Pasal 7
Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang / kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.
            Stattsblad 1882 No. 152 ini dalam naskah aslinya tidak merumuskan wewenang Pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang Pengadilan Agama dan wewenang Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan oleh Staatsblad 1882 No. 152 beranggapan bahwa wewenang Pengadilan Agama sudah ada dalam Staatsblad 1853 No. 58. Meskipun Staatsblad 1882 No. 152 ini telah mengatur tugas Pengadilan Agama sebagai badan peradilan, namun ketergantungan kepada bupati masih sangat besar. Hal ini seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgonye bahwa Staatsblad 1882 telah menyebabkan adanya perubahan. Dahulu para penghulu dalam melaksanakan tugas hukum merasa bergantung sekali pada bupati. Para bupati itu jelas menunjukkan kekuasaannya. Dalam peradilan agama, bahkan hingga sekarang para bupati masih harus diperingatkan akan kewajiban untuk tidak ikut mencampuri urusan dan banyak penghulu yang masih belum berani mengambil keputusan penting tanpa meminta nasihat terlebih dahulu dari bupati.
            Walaupun demikian, perubahan susunan Pengadilan Agama pada tahun 1882 yang sebetulnya tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, ternyata telah membawa perubahan penting. Reorganisasi ini pada dasarnya adalah membentuk pengadilan-pengadilan Agama yang baru di samping setiap landraad (pengadilan negeri) dengan daerah hukum yang sama, rata-rata seluas kabupaten, diakuinya Pengadilan Agama di bawah Undang-Undang Negara.
b. Pendapat-Pendapat Ahli Hukum Belanda
Christian Snouck Hurgonye adalah seorang ahli hokum Belanda yang kemudian melahirkan teori Receptie. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum adat ini memang ada masuk sedikit-sedikit pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum adat dan lahirlah dia sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam.
Atas desakan dan pengaruh Snouck Hurgonye dalam kedudukannya tersebut, dengan cara sistematis, halus dan berangsur-angsur, hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak menimbulkan kekecewaan dan reaksi dalam benak masyarakat Islam
Seperti halnya perubahan terjadi pada ketentuan pasal 134 I.S. 1925 (yang berbunyi sama dengan ketentuan dengan pasal 78 R.R. 1855, R.R. 1907 dan R.R. 1919 dulu)[10] karena ada pergantian nama UUDS Pemerintah Kenyataan di atas Hindia Belanda dari Regerings Reglement menjadi Indishe Staatsregeling26 yang antara lain bunyi ayatnya:
Kalau terjadi perselisihan perdata antara penduduk inlander atau penduduk yang dipersamakan dengan mereka, diputuskan oleh kepala agama atau kepala adat mereka menurut undang-undang agamanya atau adat aslinya.
Diubah menjadi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antar sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, keadaan tersebut telah diterima hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonantie”. Arti pasal ini bahwa hukum Islam yang berlaku hanyalah kalau telah direceptie oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 No. 221.
Teori receptie yang dijadikan landasan kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap hukum Islam termasuk lembaga Peradilan Agama yang tercermin dalam pasal 134: (2) Indishe Staatsregeling (IS) dan Staatsblad 1882 no. 152. Kemudian didukung oleh Prof. Ter Haar dan beberapa sarjana hukum yang mendapat pendidikan Belanda, baik di Batavia maupun di negeri Belanda.
Dengan timbulnya aliran hukum adat di kalangan ahli hukum Belanda yang secara sistematis di pelopori oleh Van Vollenhoven dan diperjelas oleh Ter Haar, maka Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu panitia untuk merumuskan peraturan perbaikan Pengadilan Agama yaitu Commisie Voor Pristerrad pada tahun 1922-1924. Anggota baru terdiri dari :
1) 3 (tiga) orang bupati;
2) 5 (lima) orang penghulu;
3) 2 (dua) dari kalangan pergerakan Islam; dan
4) 1 (satu) ahli Hukum Belanda (Prof. Ter Haar).
            Hasil panitia atau komisi ini adalah dikeluarkannya Staatsblad tahun 1931 No. 53 yang memuat 3 (tiga) bagian yaitu
Bagian Pertama, Tentang perubahan “Peristerrad menjadi penghoeloeregecht” wewenang penghoeloeregecht dibatasi pada bidang munakahat saja, wewenang atas perkara waris dicabut. Bagian ini juga berisi perubahan / perbaikan dalam hokum acara dan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hooger Islami Aishe Zaken);
            Bagian Kedua, Tentang campur tangan Landraad dalam soal peradilan, harta bagi orang-orang Indonesia asli.
            Bagian Ketiga, tentang pembentukan balai harta peninggalan bagi orang Indonesia asli.
            Dari sudut pandangan inilah dapat dipahami, bahwa tujuan politik hukum adat sejak tahun seribu sembilan ratus sepuluhan adalah untuk menghambat dan mengehentikan meluasnya agama Islam yang mengandung “pembebasan” dengan membentuk semacam tandingan, yaitu dengan memelihara adat kebiasaan dan menghidupkan kembali lembaga kuno yang sudah hampir lenyap. Walaupun rapuh, Pengadilan Agama ternyata merupakan simbol dari kekuasaan hukum Islam, yang bagi para ahli adat dan golongan ningrat sudah lama ingin menghapuskannya bila mungkin. Masalah hukum waris dan bidang hukum keluarga oleh umat Islam dianggap sebagai inti dari hukum agama-hal mana merupakan pertanda dari perkembangan Islam.
Tapi, Staatsblad 1931 No. 53 ini tidak dapat berjalan, karena pemerintah Hindia Belanda merasa tidak cukup mempunyai anggaran belanja, yang dapat dilaksanakan dari Staatsblad ini adalah ketentuan mengenai pencabutan hak kekuasaan Peradilan Agama dalam urusan pengangkatan wali (Voogdij) dan dilimpahkan ke pengadilan Negeri. Terhadap penundaan ordonansi Staatsblad 1931 No. 53, Ter Haar mengajukan kecaman keras. Secara argumentatif Ter Haar mengajukan serangkaian pemikiran. Mengapa kompetensi Pengadilan Agama perlu disederhanakan, yakni:
1) Adanya dualisme peradilan (terutama dalam masalah waris) akan memakan waktu dan biaya;
2) Hukum waris Islam berhubungan dengan kenyataan masyarakat Jawa dan belim menjadi hokum adat.
3) Peradilan Agama berasal dari raja-raja feodal;
4) Keputusan Pengadilan Agama terasa asing dari cara waris mewaris yang menjadi kesadaran hukum rakyat.
Alasan-alasan Ter Haar kemudian mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kolonial Belanda yang sesuai dengan kemampuan politik terencana untuk membatasi sarta mengurangi kompetensi Peradilan Agama.
Alasan inilah yang kemudian melahirkan Staatsblad 1937 No. 116 yang mengubah kompetensi Peradilan Agama yaitu menambah pasal 2a ayat (1) dalam Staatsblad 1882 no. 152 sehingga menjadi sebagai berikut: Pengadilan agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, begitu juga perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perkara lain yang harus diputus oleh hakim agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan, pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang pengadilan biasa, kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan Agama.
Dalam penjelasan sejarah tercatat bahwa teori Receptie tadi diambil alih menjadi politik hukum Pemerintah Belanda yang ternyata dengan sistematis dan konsepsional digunakan untuk mempersempit ruang gerak hukum Islam. Hasilnya adalah dikeluarkannya beberapa peraturan yang menggeser eksitensi dan esensi pasal 75 dan 78 RR 1855, sehingga refleksi hukum Islam semakin memudar dan akhirnya hilang”.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dengan berbagai ragam pengadilan itu menunjukkan posisinya yang sama. Disampinbg itu pada dasranya batasan wewenang agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan kewarisan. dengan wewenang demikian, proses petumbuhan dan perkembangan pengadilan memiliki keunikan masing-masing. Pengintegrasian, atau hidup berdampingan antara adat dan syara’, merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara laten
Selanjutnya Peradilan Agama pada zaman Belanda yang mana para kolonialisme Belanda yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi. Awalnya mereka tau bahwa di tengah-tengah masyarakat indonesia itu berlaku hukum adat yang sudah terpengaruh oleh agama islam dan lebih condong pada unsur keagamaannya dari pada hukum adat itu sendiri.

  
DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Lubis, Sulaikin dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008.
Wahyudi, Abdullah Tri. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.

No comments:

Post a Comment