menu

makalah Maqashid al-Syar’iyya

Maqashid al-Syar’iyya
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh 3
Fakultas  Syari’ah Semester 3b
Dengan dosen pengampu
Dr. H. Mashudi, M.Ag.

Oleh Kelompok 11 :
1.     M. Nasikul  Khalim
2.     Tsabit Khayyi

 

Institut Islam Nahdlatul Ulama’ (INISNU ) Jepara
Tahun Akademik 2011/2012
Jl. Taman Siswa Pekeng Jepara (0291) 53132


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tugas kolektif yang berbentuk makalah dengan judul “Maqashid al-Syar’iyya” dapat terselesaikan tepat waktu, meskipun dengan berbagai macam halangan. Dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke pangkuan Baginda Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah nanti, Amin.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata kuliah Ushul Fiqih.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam mempelajari Ushul Fiqh  dan memberikan manfaat bagi pembacanya. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kesalahan dan  kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah berikutnya.

Jepara, 05 Desember 2012
Penyusun

Kelompok 11 (sebelas)









BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia, tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang lain.
Tuhan mensyariatkan hukum-Nya bagi manusia tentunya bukan tanpa tujuan, melainkan demi kesejahteraan kemaslahatan umat itu sendiri. Perwujudan perintah Tuhan dapat dilihat lewat Al-Quran dan penjabarannya dapat tergambar dari hadis Nabi Muhammad saw, manusia luar biasa yang mempunyai hak khusus untuk menerangkan kembali maksud Tuhan dalam Al-Quran.
Jadi syariat Allah kepada manusia pasti mempunyai suatu tujuan, atau yang selalu disebut dengan maqashid al-syariah atau disebut juga maqashid al-ahkam. Maqashid syariah merupakan bagian dari falsafah tasyri` yaitu falsafah yang memancarkan hukum Islam dan atau menguatkan hukum Islam dan memelihara hukum Islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
·         Pengertian Maqashid al-Syar’iyyah
·         Klasifikasi dan Tujuan Maqashid al-Syar’iyyah
·         Masalah Ta’lil al-Ahkam




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Maqashid Al-Syari`ah
Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan. Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.
Dari segi bahasa Maqashid syariah berarti maksud dan tujuan disyariatkan hukum Islam, karena itu menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan illat ditetapkannya suatu hukum. Adapun menurut istilah syari’ah, Maqashid syar’iah adalah kemaslahatan yang ditujukan kepada manusia baik di dunia maupun di akhirat dengan cara mengambil manfaat dan menolak mudharat.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni


untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.[1]
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid al-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid al-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah maqashid al-syari’ah ini diidentik dengan filsafat hukum islam.
B.     Klasifikasi dan Tujuan Maqashid al-Syar’iyyah
Para ulama telah mengklasifikasikan masalih maqasid  secara luas kedalam tiga kategori, dimulai dengan essential masalih atau daruriyyat, diikuti dengan kategori complementary benefit atau hajiyyat, dan yang terakhir tahsiniyyat.
Ø  Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Ø  Hajiyyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
Ø  Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan.[2]
Menurut ulama’ ushul fiqh tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan dan baik ddidunia maupun di akhirat.  Berdasarkan penelitian ahli ushul fiqh, ada lima pokok unsur dalam rangka mewujudkan kemaslahatan, yaitu Agama (hifzh al-din); Jiwa (hifzh an-nafs); Akal, (hifzh al-`aql); Keturunan (hifzh an-nasb) dan ; Harta. (hifzh al-mal);.
Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a)  Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b)  Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c)  Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat.
Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat
a)  Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b)  Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c)  Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.
Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a)  Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan.
Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.[3]
C.    Masalah Ta’lil al-Ahkam
Penerimaan maslahah sebagai konsep yang tersendiri dalam usul al-fiqh secara umumnya ataupun maqasid al-shari‘ah  secara khususnya adalah hasil dari kewujudan konsep ta‘lilal-ahkam yang diungkapkan oleh para ulama Usul. Ini kerana ta‘lil al-ahkam merupakan persoalan yang mendasari kewujudan maslahah itu sendiri.
Dari sudut bahasa, ta‘lil al-ahkam bermaksud mendzahirkan sebab ataupun tujuan ke atas sesuatu (hukum). Dikatakan sesuatu itu mempunyai sebab-sebab tertentu, apabila sudah jelas sebabnya dan diperkuat dengan dalil. Dari sudut istilah perkataan ta‘lil al-ahkam tidak diketahui secara jelas, namun ulama’ ushul fiqh mengungpkannya sebagai hukum-hukum Allah diasaskan berdasarkan kemaslahatan manusia selama ada di dunia maupun akhirat.
Persoalan ta`lil al-ahkam nampaknya bukan hanya persoalan teologi belaka, melainkan juga merambah ke dalam persoalan Ushul Fiqh. Persoalan ini menjadi menarik dan sekaligus banyak melahirkan polemik, sebab berkaitan erat dengan keabadian dan relativitas sebuah ajaran. Suatu ajaran siap untuk dirubah atau dikonstruksi ulang bila aspek diterminatifnya (`illat atau sebab yang melatarbelakanginya) berubah.
Maka para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan ta`lil al-ahkam ini. Menurut al-Syathibi, syari`ah atau hukum-hukum syari`ah disyari`atkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Ungkapan bahwa syari`ah dicanangkan untuk kemaslahatan diulang berkali-kali dalam kitab Muwafaqatnya.[4]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Tidak diragukan lagi, bahwa maqasid al-syariah adalah akar dalam perintah tekstual Al-qur'an dan as-Sunnah, tetapi mereka melihat secara utama pada philosophi umum dan tujuan perintah ini sering melebihi bidang keahlian (the speciality) dari teks itu.
Fokusnya tidak banyak pada kata-kata dan kalimat dari nash itu sebagaimana dalam tujuan dan maksud yang disarankan dan ditegakan. Dengan perbandingan terhadap teori yang sah dari sumber-sumber, ushul fiqh, maqasid al-syariah tidak dibebaskan dengan dasar-dasar metodologi dan pemahaman para literalis dari suatu nash.
B.     KATA PENUTUP
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang sudi menelaah dan mengimplementasikan isi makalah ini. Saran kritik konstruktif tetap kami harapkan sebagai bahan perbaikan selanjutnya. Sekian.










DAFTAR PUSTAKA
v Hasbi Ash-Shidieqie, 1993. Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
v  Asafri Jaya, Bakri , Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996).
v  http//shvoong.com.28/sept/12.Ta’lil al-Ahkam.html




[1] Hasbi Ash-Shidieqie, 1993. Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
[3] Asafri Jaya, Bakri , Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996).
[4] http//shvoong.com.28/sept/12.Ta’lil al-Ahkam.html